“Apa kamu lihat-lihat? Mau ngatain aku dugong?”
Sejak satu bulan Adel pulang ke pelukannya, Rasyid tahu jika Adel masihlah sama. Adel yang sebelum menikah. Adel yang sudah menikah. Lalu, kini Adel yang sedang hamil empat bulan.
Adel tidak banyak berubah. Setiap hari, selama tiga puluh hari terakhir, Rasyid tetap dengar kalimat-kalimat random seperti di atas. Sekarang dia sudah lebih terlatih dalam menghadapi istrinya. Berbeda ketika awal menikah, dia tetap akan terjengkang di momen-momen tertentu.
“Aku ngelihatin kamu karena lahap banget makannya.” Rasyid mengusap-usap kepala Adel. Tadinya mau menggenggam tangannya, tapi tangan Adel sedang belepotan sambal ijo.
“Kenapa? Aku berantakan makannya?”
“Enggak.”
“Kamu mau ngatain aku dugong?”
“Enggak. Mau segede apa kamu sekarang dan besok, aku tetap cinta kok.”
“Oke. Aku bukan dugong. Cuma gede aja.” Ditekankan sekali lagi dengan mata melebar. “GEDE.”
Rasyid nyengir lalu diam. Menarik tangan dari kepala Adel dan membiarkan istrinya lanjut makan nasi padang—istrinya rikues sambal ijo dan rendang saja. Adel dan hormon kehamilan adalah kombo yang paling mematikan—menyenangkan!
Jaga pikiranmu, Rasyid! Perempuan ini bisa baca pikiran, hati-hati.
Namun, meski begitu, ada yang sedikit berbeda dari hidup mereka. Adel yang terlihat agak keibuan, lebih hati-hati dalam bertindak karena sadar sedang membawa calon bayi semakin hari semakin membesar seiring dengan angka di timbangan. Lalu Rasyid yang selalu pulang untuk makan siang dan tidak rela setiap harus kembali ke kantor. Sampai suatu hari Adel pernah bilang;
“Gimana kalau rukonya kukasih ke kamu aja.”
“Maksud kamu aku bantu jualin masker dan skincare kamu itu?”
“Loh, kenapa? Halal kok duitnya.”
“Bentar, konteks kalimat kamu tadi gimana? Kamu kasih ruko ke aku biar setelah resign aku nggak terlihat menyedihkan ya?”
Menjetikkan jari. “Tepat. Kamu masih pinter kayak biasa.”
“Jadi kamu mau biayain hidup aku ya?” Lalu Rasyid harus melepaskan jabatannya sebagai CEO di perusahaan retail milik keluarga?
Dengan bangga, Adel mangangguk.
“Enak aja. Nggak. Makasih. Ini pembunuhan karakter namanya.”
Untungnya, Adel tidak memaksa. Mungkin juga tahu kalau Rasyid tidak mungkin meninggalkan kantor. Atau sebenarnya Adel hanya ingin Rasyid lebih banyak waktu di apartemen, menemaninya. Atau yang barusan, Adel cuma iseng saja bicara begitu. Menjadi suami tidak menjamin Rasyid bisa membaca isi pikiran seorang Adel.
“Kalau kamu bosen, bisa aku antar ke rumah Mama atau Bunda. Gimana?” tawar Rasyid suatu hari saat mereka pillowtalk. “Atau di restoran tempat kerja Gina. Kan lumayan tuh, kamu bisa icip makanan di sana sepuasnya.”
“Udah kayak anak. Dititipin sana-sini. Nggak sekalian kamu anter aku ke Daycare.”
“Mau aku ajak ke kantor juga nggak mungkin. Kamu bukan anak-anak yang habis sekolah dijemput terus dibawa ke kantor sama bapaknya.”
“Dahlah. Diem. Aku lagi males bercanda.” Itu jurus kalau Adel sudah bete dan kalah. Rasyid tidak memperpanjang dan hanya memeluk Adel hingga mereka tertidur.
Sama seperti siang itu, Adel melepas Rasyid kembali ke kantor. Tidak seperti biasa, Adel mengantar hingga parkiran basemen. Bahkan mereka bergandengan tangan selama di lift hingga sampai di depan mobil. Rasyid senang-senang saja melihat kelakuan Adel yang kolokan tapi manis begini. Karena ini kejadian langka. Dalam waktu 24 jam Adel lebih banyak gesreknya.
“Yuk, ikut ke kantor.” Rasyid hendak memasang sabuk pengaman.
“Tadi katanya kayak anak kecil yang dijemput sekolah terus ikut bapaknya.”
Rasyid meringis.
Adel masih berdiri di samping pintu dan menumpukan telapak tangan di kaca yang terbuka sepenuhnya. “Aku besok ke ruko aja deh.”
“Boleh.” Rasyid menatap istrinya setelah selesai dengan sabuk pengaman.
“Biar deket kalau kamu nyamperin buat makan siang.”
Aduh. Rasyid gimana tidak cinta. Adel dengan muka merajuknya semakin membuat Rasyid berat kembali ke kantor. Maunya ndusel-ndusel saja.
“Baik-baik di apartemen ya. Nanti sore mau dibeliin apa?”
“Nggak lembur?”
“Enggak dong.” Lebih tepatnya tidak berani lagi. Rasyid pernah lembur dua hari berturut-turut dan sudah mendapat izin Adel. Istrinya memang tidak marah. Tapi ya namanya perempuan ya. Adel sendiri yang kasih izin, dia sendiri yang tersakiti. Jadi sepanjang dua hari itu Rasyid kena mental karena Adel lebih banyak diam. Apalagi kalau bukan ngambek tapi gengsi bilang.
Rasyid belajar dari kesalahan. Bahasa yang diterapkan Adel sama seperti perempuan kebanyakan. Iya artinya tidak. Dan tidak, berarti iya. Kalau terserah, berarti pikir aja sendiri.
“Cium kening dulu.”
Ah, oke. Rasyid memajukan tubuhnya ke pintu. Mengecup bibir istrinya.
“Aku kan bilang kening.”
“Ya udah, kamu agak ke sini.”
Adel merundukkan kepala. Setelah mendapat kecupan di kening, dia segera mundur dan menegakkan tubuh.
“Del, nggak sekalian pipi?” Rasyid tersenyum jail. “Nanti pipi kamu iri.”
“Nggak. Udah sana berangkat. Kerja, kerja. Katanya mau punya anak sepuluh. Nggak dikit itu biayanya.”
“Lima, Del, aku bilangnya lima. Kamu nih suka nambah-nambahin. Tapi kalau kamu sanggup ngelahirin anak sepuluh, ya aku seneng sih. Aku siap buat diajak kerjasama tiap malem kok.”
“Dih, mesum kan.”
Terkekeh hingga matanya menyipit. “Udah ya. Aku berangkat yaa.”
“Hmm. Kangen.”
“Ya Allah, baru juga nyalain mesin mobilnya, Del.”
Adel mencebikkan bibir.
“Mau aku puterin gedung sekali sebelum aku pergi?”
“Dikata bocah apa!”
***
“Mbak bawa apa sih?” Adel menjepit hidungnya saat membukakan pintu untuk kakaknya. Baru juga dia hendak rebahan setelah mengantar Rasyid ke basemen, pintunya diketuk setengah digedor. Coba kalau Adel tidur, itu pintu mungkin sudah rubuh.
“Gejang.” Tere nyelonong masuk. “Tadi gue ketemu Rasyid di depan. Habis nengok calon bayi kalian?”
“Eh? Ha? Maksudnya gimana tuh? Kami cuma makan siang doang, nggak iya-iya sih.”
Tere menaruh bungkusan yang dia bawa ke kitchen island. Sejak adiknya pulang ke sini dan hubungan di antara mereka mulai membaik, Tere akan menyempatkan mampir seminggu sekali. Tanpa mengabari dulu seperti sekarang. Membuka tutupnya dan Adel semakin ragu untuk mendekat.
“Lo pasti mikir jorok. Orang gue nggak tanya soal itu.”
Berdeham, Adel memilih duduk di sofa. “Beli apa sih, Mbak?”
“Gejang. Kepiting mentah fermentasi gitu. Ini gue pesen langsung dari Korea. Ada temen gue yang temennya orang Korea asli. Gila gue waiting list-nya hampir setengah tahun. Worth it sih tapi. Seenak ini. Lo beneran nggak mau nyicip?”
“Nggak. Bau banget.”
“Ini nggak bau, emang lo aja yang lagi sensitif.”
“Terus kenapa makannya harus ke sini coba?”
Tere mengangkat wajahnya, berbalik mengambil air mineral di kulkas dan duduk di kursi tinggi. Adiknya bilang bau, jadi daripada kena usir, dia makan di situ.
“Gue cuma mastiin aja lo nggak gabut.”
“Lo kali yang gabut, Mbak. Perusahaan main ditinggal aja, digondol orang gimana. Makan gaji buta lu.”
“Lo nggak bosen jadi manusia goa begini?”
Adel menyalakan televisi dengan suara rendah agar tetap bisa mengobrol dengan kakaknya. “Sejak nikah sama Rasyid juga udah terbiasa jadi penunggu apartemen.”
“Rasyid ngelarang lo kerja?”
“Nggak sih. Gue jungkir balik juga dia oke-oke aja. Cuma pas hamil mendadak males ngapa-ngapain. Males dandan juga. Jadi kalau mau pergi-pergi mikir dandannya udah males duluan.”
Tere berhenti menanggapi, menikmati kepiting yang dia makan, terasa segar di mulut. Adel menunggu.
“Duit gimana? Lo dinafkahi dengan baik, ‘kan?” Bukan bermaksud rese, Tere hanya memastikan anak ini tidak tiba-tiba pulang lagi ke rumah sambil membawa masalah.
“Duitnya Rasyid banyak banget, sampai bingung mau beli pulau apa jet pribadi.” Adel menjawab sekenanya.
Bukan itu maksudnya! Tere menghela napas. Menambah stok sabarnya yang tidak seberapa. “Bagus. Porotin aja suami lo sampai dia merasa nggak bisa selingkuh.”
“Rasyid nggak akan selingkuh, Mbak!”
Tere hampir tersedak. Satu tangannya terjulur ke udara, menyuruh adiknya untuk tenang. Giliran dibercandain, Adel ngegas. Curang sekali.
Adel mendelik keki. Kakaknya ini memang sudah seharusnya membina rumah tangga sendiri biar tidak rese ke adiknya. Tapi siapa ya yang bisa dijadikan umpan. Lalu, satu nama melintas. “Mbak mau kalau gue jodohin sama Malik?”
Tawaran yang terlalu tiba-tiba. “Malik?”
“Sohibnya Rasyid.”
“Seumuran dong sama lo?”
“Iya.”
“No. Makasih.”
“Emang kenapa sih? Beda umur nggak masalah, Mbak. Kalau boleh jujur, Malik lebih dewasa dari Rasyid. Dia juga dari keluarga baik-baik.”
“Gue nggak mau ambil risiko.”
Adel diam, berpikir sebentar. Kalau suaminya dengar ide ini, kira-kira ngamuk nggak ya? Tapi setahu Adel, Malik masih betah sendiri. “Lo pikirin dulu aja tawaran gue, Mbak.”
“Ganteng?”
“Cih. Fisik banget.”
“Loh, gue rasional.”
“Ganteng kok. Tapi masih gantengan Rasyid.”
“Serah.”
***
“Ras, Ras!” Adel setia mengikuti suaminya ke kamar. Dari membuka dasi, melepas kancing kemeja, lalu celana panjang, Adel masih mengekor hingga sekarang suaminya hanya mengenakan boxer dan singlet.
“Iya, kenapa? Aku mau mandi, kamu mau ikut?” Mengerling jail. “Boleh. Dengan senang hati.”
“Semenit aja,” tahan Adel di depan pintu kamar mandi. “Tadi Mbak Tere ke sini, terus aku impulsif nawarin buat nyomblangin dia sama Malik. Gimana menurut kamu?”
Rasyid langsung memutar tubuh, memunggungi Adel. Menyugar rambut dengan kedua tangan. Sepertinya sedang mengumpat tapi tidak berani dilakukan di depan istrinya.
“Aku salah ya?”
Kembali menghadap istrinya dengan rambut yang berantakan. Wajah lelahnya mencoba tersenyum, alih-alih marah atau mengatai istrinya.
“Malik udah ada calon?”
Rasyid memegang kedua lengan Adel. “Sayang, kamu selama ini sebagai sahabat Gina ngapain aja? Kalian ngapain aja sampai kamu nggak sadar kalau dia sama Malik lagi kucing-kucingan?”
Adel mengerutkan dahi. Menggigit bibir bawah ragu. “Bukan anjing-anjingan?”
“Jangan digigit gitu. Jadi pengin ikutan.” Cengiran mesum muncul di wajah Rasyid.
“Udah sana. Mandi sana.” Adel memukul lengan suaminya. Buru-buru menghindar keluar kamar. “Aku tunggu di meja makan. Kita bahas nanti.”
“Oh, jadi, mau iya-iya di meja makan aja?”
Sebelum keluar dari kamar, Adel menoleh, manyun. “Ras, jangan banyak bercanda. Aku beneran laper. Kamu mandi bebek aja buruan.”
Ketika Rasyid sudah bergabung di meja makan dengan harum sabun yang semerbak sementara saat dipakai Adel wangi sabun itu cuma bertahan beberapa detik di dalam kamar mandi, mereka melanjutkan topik soal Malik dan statusnya yang perlu dipertanyakan.
“Lagi pula, aku rasa Malik nggak akan cocok buat Mbak Tere, Del.”
Adel menaruh sepiring nasi di depan Rasyid, kemudian menyusul duduk di kursi sebelahnya. “Malik pernah cerita ke kamu kalau dia suka Gina?”
“Belum.”
“Selama ini kupikir wajar aja deketnya. Gina emang gampang deket sama siapa aja. Jadi yang kulihat wajar, ternyata beda sama yang kamu lihat.”
“Iya, aku lihatnya dari sisi Malik-nya. Aku tahu kapan dia beneran naksir perempuan atau cuma main-main aja.”
“Kalau dia serius sama Gina, kenapa nggak dilamar-lamar coba itu?”
Rasyid belum menyentuh makan malamnya. Mengangkat bahu. “Gina ada trauma buat jalin hubungan nggak?”
“Sejauh ini dia masih suka cowok ganteng.”
“Ya kalau itu kamu juga suka.”
Adel nyengir. “Besok aku konfirmasi ke Gina deh.”
“Konfirmasi gimana?”
“Doyan Malik apa enggak, kalau enggak, mau aku kasih ke Mbak Tere.”
Di antara lelah dan penat pekerjaan hari ini, Rasyid selalu menemukan dirinya yang benar-benar pulang. Rasyid menaruh wajahnya di bahu Adel. Terkekeh geli. “Kamu kira Malik ikan asin apa, main kasih-kasih aja.”
“Kamu ngatain kakakku kucing?” Dengan tangan kirinya yang bersih, Adel menepuk-nepuk punggung suaminya. “Capek ya hari ini?”
“Capek. Tapi ini lagi charge energi.”
“Ternyata aku bukan dugong, aku Baymax.”
“Nyaman buat dipeluk.” Jari Rasyid menusuk-nusuk lengan Adel. “Empuk.”
“Aku habis lahiran bisa kurus lagi nggak ya, Ras?”
“Jangan maksain diri. Nanti kalau kurus, aku hamilin lagi, tetep gendutan lagi. Udah, intinya gimana pun bentuk tubuh kamu, nggak penting buatku. Asal kamu masih Adel, udah.”
Adel mulai berpikir untuk nego saja. “Dua atau tiga anak aja gimana? Lima kayaknya banyak.”
“Ya, lihat nanti. Tuhan kasihnya berapa.”
“Nyendernya udahan bisa? Mau nyuci tangan lagi, udah kering ini.”
Rasyid beranjak dari bahu Adel. “Kamu duduk aja, aku ambilin kobokan.”
***