Suara musik yang sangat kencang memekakkan telinga, seharusnya membuat siapa pun yang mendengarnya terganggu. Tapi, berbeda dengan tempat itu.
Tempat yang dipenuhi dengan orang-orang yang menari riang di dance floor, penuh asap rokok dan minuman beralkohol. Di sana semua orang berusaha untuk menghilangkan masalah hidup dengan menulikan telinga. Hanya mencari kesenangan belaka.
Olivia Wijaya. Dia adalah salah satu wanita penghibur di kelab itu. Sudah tiga tahun ini dia menjadi seorang pekerja seks komersial. Dengan bermodalkan wajah cantik wanita Asia dan tubuhnya yang seksi, Olivia menjadi primadona para pria hidung belang berdompet tebal. Kaki jenjangnya membuat banyak pria itu menginginkannya untuk menghangatkan ranjang mereka. Entah apa yang pria-pria itu pikirkan hingga mereka mau merogoh dompet lebih dalam untuk membayarnya.
Apa Olivia menikmatinya?
Tentu saja tidak. Siapa yang ingin melakukan pekerjaan hina seperti ini? Kalau bukan demi uang yang cukup banyak, Olivia sudah pasti tidak akan melakukan ini.
“Olive, kamu dapat kamar nomor 3004. Pak Halim sudah menunggu di sana."
Olivia tersenyum lebar. Dia harus bisa memuaskan pria itu. Dan, uang akan mengalir untuknya. Bahkan tidak sedikit yang menawarnya untuk menjadi seorang simpanan. Tapi, dia belum siap untuk memikirkan risikonya.
Olivia menghela napas dalam, lalu menarik sisi bibirnya untuk tersenyum dengan lebar.
“Selamat malam, Om,” sapa Olivia seraya berjalan memasuki ruangan itu. Seorang pria sekitar umur 35 tahun tersenyum membalasnya.
Pria itu berjalan mendekat, tanpa aba-aba cepat mencium bibir merah Olivia dengan menggebu. Pria bertubuh tinggi itu membawa Olivia menuju tempat tidur.
Oke, pekerjaannya dimulai. Memuaskan nafsu pria ini.
***
Bekerja menjadi seorang penghibur pun tidak selalu mulus. Selalu ada kendala. Ada saja para penyewa yang mengadu pada Angela jika mereka tidak merasa terpuaskan.
Seperti kali ini, salah satu partnernya membuat kesalahan. Wanita itu menolak saat pria yang sudah menyewanya meminta apa yang tidak bisa dia berikan.
"Sudah saya bilang berkali-kali, kalian harus melayani mereka dengan baik. Uang yang kalian terima itu dari mereka. Kalau sampai saya dengar ada masalah, kalian akan tahu akibatnya," ucap wanita tua itu dengan tegas.
Semua wanita cantik bertubuh seksi yang bediri berjajar di hadapannya hanya tertunduk dengan anggukan kecil. Mereka hanya bisa menurut, tidak ada pilihan lain, hanya untuk mendapatkan uang yang banyak dalam waktu singkat. Begitu pun Olivia.
"Olive, kamu sudah ditunggu. Layani Pak Bram dengan baik, dia pelanggan tetap di sini," titah Angela lamat-lamat, seolah menegaskan kalau Olivia tidak boleh membuat kesalahan apa pun.
"Siap, Mih." Dia berseru penuh semangat. Senyuman yang ia tunjukkan semuanya palsu, dia terpaksa melakukan ini. Ya, semua demi keluarganya. Dia mencari uang untuk kelangsungan hidup keluarganya.
Olivia berjalan dengan cepat, membelah kerumunan orang yang sedang menari melupakan dunia.
"Hai, Om Bram," sapanya dengan wajah menggoda, nada suaranya pun ia buat sesensual mungkin. Semua pria yang pernah bersamanya selalu tergoda, termasuk pria tua di hadapannya itu.
Wajah pria itu langsung memerah kala tangan lentik Olivia mulai bergerilya dengan nakal di daerah sensitifnya. Dia meremasnya dengan pelan dan menggoda, membuat pria tua itu melenguh tertahan.
Tanpa aba-aba pria tua itu menyambar bibir Olivia dengan kasar, penuh gairah.
Walau ia merasakan sakit di bibirnya, Olivia tetap membalas decapan itu. Seorang penjual kenikmatan memang sudah seharusnya menurut, mau pria itu memperlakukannya dengan kasar bagai binatang, ataupun dengan kelembutan penuh damba.
"Ayo, Om, aku sudah menyiapkan kamar untuk kita hari ini," bisiknya di telinga pria tua itu. Pria itu kembali melenguh ketika Olivia dengan sengaja menggigit cuping telinganya.
Olivia menggelendot mesra di lengan sintal itu walaupun sesekali dia memutar matanya jengah.
Kapan ia bisa hidup dengan nyaman tanpa melakukan pekerjaan kotor ini? Kapan dia bisa menemukan pria yang bisa menanggung kehidupannya?
Pria itu mendorong tubuh Olivia hingga ia terjengkang ke ranjang.
Ada perasaan tak rela saat pria itu menjamah tubuhnya, mengisapnya, menjilat, dan juga memasukinya. Namun, inilah kehidupannya. Hanya dengan begini dia bisa menghidupi keluarganya.
Setelah pria itu beberapa kali mencapai puncak, Olivia hendak mengenakan pakaiannya. Tetapi, dengan cepat pria itu menariknya lagi ke dalam pelukan. Olivia ingin sekali menolak, tapi pria itu pasti akan marah dan komplain pada Angela.
"Sayang, apa kamu mau jadi simpananku? Akan kuberikan berapa pun uang yang kamu inginkan."
Tawaran yang amat menggiurkan untuknya. Kalau dia menerima kesempatan itu, hidupnya pasti terjamin, hidup keluarganya pasti juga terjamin.
Ketika ia hendak menjawab, suara dobrakan pintu membuat mereka terjengkit kaget.
"Brengsek!" Teriakan wanita itu menggema, membuat kedua orang yang berbaring di ranjang belingsatan mencari pakaian mereka.
Wanita itu meringsek masuk dengan wajah memerah penuh amarah.
"Wanita sialan! Jalang sialan kau, berani-beraninya ... mati saja kau!" Wanita itu menarik rambut panjang Olivia dengan kencang, pakaian yang tadinya sudah hampir ia kenakan kembali tercecer di lantai. Olivia memekik merasakan sakit di kepalanya—wanita itu tak hanya menarik rambutnya, tapi juga menghujani wajah jelitanya dengan pukulan dan tamparan kencang. Olivia tersungkur di lantai hotel dengan selimut tebal yang melilit tubuh rampingnya.
"Brengsek kamu, Mas! Laporkan wanita itu, atau kita CERAI!"
Dan, sialnya pria tua sialan itu benar-benar melaporkannya pada Angela. Kini Olivia hanya bisa tertunduk mendengarkan semua omelan wanita itu.
"Dasar bodoh. Sudah kubilang berapa kali, Olive. Dia pelanggan tetap kita, uang yang dia keluarkan tidak pernah sedikit. Dengan bodohnya kamu malah membuat kesalahan seperti ini. Sebagai gantinya kau kupecat, dan bayaranmu tadi tidak akan kaumiliki. PERGI!"
***
"PRIA TUA BRENGSEK. Awas saja kau!" geram Olivia, tangannya dengan kesal meremas-remas rambutnya. Bagaimana ia bisa dapat uang jika seperti ini sekarang? "Putar otak, Olive. Kamu harus secepatnya mendapatkan pekerjaan baru, mendapatkan uang yang banyak!" Olivia mengetukkan kaki kanannya di lantai.
Selama perjalanan pulang ia terus berpikir bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya jika tidak bekerja? Tak terasa kakinya sudah berjalan memasuki kosan kecil yang ia sewa bersama temannya.
"Via, kamu udah balik? Tumben cepet," sapa teman sekamarnya, Liana. Olivia hanya mengangguk menjawabnya. Dia menjatuhkan tubuhnya ke kasur tipis di atas lantai.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Liana penasaran. Olivia menoleh menatap temannya itu.
"Aku dipecat. Aku nggak tahu harus cari kerja di mana. Kamu tahu kan aku butuh kerjaan yang cepet menghasilkan uang banyak. Tapi ... di mana cari kerja yang bisa menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat?" Olivia mengerang frustrasi. Sedangkan Liana tersenyum mendengar keluhan temannya itu. Setidaknya wanita itu sudah meninggalkan pekerjaan kotornya.
Walaupun dia tahu Olivia tidak selalu menerima pelanggan yang akan memasukinya—Olivia bahkan selalu menolak jika ada kesempatan—tetap saja Liana sekarang bisa bernapas lega.
"Bosku sedang mencari pengasuh untuk anaknya. Mungkin gajinya tidak sebesar pekerjaanmu yang lama, tapi lumayan untuk menyambung hidup keluargamu," kata Liana, membuat spontan Olivia terbangun dari tidurnya.
Saking semangatnya, keningnya sampai menubruk kening Liana. Mereka berdua mengaduh kesakitan, tapi bibir Olivia tersenyum. "Thanks, Li. Ya Tuhan, kamu memang teman terbaikku!" pekiknya riang seraya mendekap erat tubuh Liana.
"Sama-sama. Jangan sungkan meminta bantuan padaku, ya, Via. Aku akan selalu ada saat kamu membutuhkan."
Hampir saja Olivia menangis. Liana adalah teman satu-satunya yang ia miliki saat ini. Walaupun Liana mengetahui pekerjaannya, wanita itu tidak menjauh. Dia tetap menerima Olivia sebagaimana mestinya.
***
Olivia melangkah santai memasuki kafe yang terletak cukup jauh dari tempat tinggalnya saat ini. Dia tersenyum tipis melihat seorang pria muda yang dengan cekatan membersihkan sebuah meja di ujung ruangan.
“Vier,” panggilnya pelan setelah kakinya berhenti melangkah, dan dia berdiri di belakang pria itu, Olivier Wijaya.
Mendengar suara yang terasa tidak asing, pria tinggi itu menoleh. Senyumnya terbit dengan begitu lebar. Tanpa banya berkata, pria itu memeluk erat Olivia, wanita yang sangat ia rindukan.
“Aku sangat merindukanmu.”
“Aku juga. Kutunggu sampai selesai bekerja, di sana,” ujar Olivia seraya menunjuk sebuah meja yang berada di pojok ruangan. Setelah melihat anggukan dari pria di hadapannya dengan segera Olivia menuju meja yang tadi ia tunjuk.
Olivia duduk dengan tenang seraya memesan satu minuman untuknya, sembari menunggu pria itu selesai dengan pekerjaannya. Sudah dua bulan yang lalu dia dan pria ini tidak bertemu, hubungan mereka hanya sebatas panggilan seluler.
Saat minuman yang ia pesan tandas, pria itu baru sampai di hadapannya dengan pakaian yang lebih kasual: jins biru dengan kaus hitam dan rambut yang tertata rapi. “Maaf lama. Kamu mau pesan lagi minumnya?”
“Nggak usah. Bagaimana kabarmu?”
“Baik. Kamu bagaimana? Aku lihat tubuhmu semakin kurus.”
“Aku baik-baik saja. Khawatirkan tubuhmu sendiri.”
Pria yang adalah saudara kembar Olivia itu tertawa pelan. Sang adik memang selalu mengkhawatirkannya tapi tidak mengurus dirinya sendiri.
“Kapan kamu mau lihat Mama?” tanya Olivier, dengan pandangan mata yang telihat memohon pada sang adik. Mendengarnya Olivia kembali menghela napas. Dia baru kehilangan pekerjaannya, tabungannya tidak banyak, sedangkan sang Ibu selalu memerlukan uang. Dia belum bisa menemuinya sekarang, walau rindu sudah sangat mencokol di hati.
“Belum bisa, Vier. Kamu tahu pekerjaanku banyak. Baru-baru ini ada masalah di tempat kerjaku. Setelah semua kembali normal, aku akan segera menemui Mama. Aku percaya kamu bisa jaga Mama.”
Tidak ada tindakan lain yang Olivier pikirkan selain mengangguk. Mendebat juga dia tidak akan menang, karena pada hakikatnya wanita tidak pernah salah. “Setelah ini mau langsung kerja lagi?” tanya Olivier, yang langsung diangguki oleh Olivia.
Hingga detik ini, sang kakak tidak pernah tahu pekerjaannya: pelacur. Ibunya akan mengalami serangan jantung kalau tahu, tapi tuntutan hidup yang besar membuatnya tidak memiliki jalan lain.
Sekarang pun, walau ada kelegaan dalam hatinya, Olivia tetap merasa berat. Uang yang ia hasilkan pasti akan jauh lebih sedikit dari sebelumnya. Tapi lagi-lagi Olivia hanya bisa bersyukur.
***
Arcel melonggarkan dasinya seraya mengembuskan napas berat. Tiga hari sudah ia tidak bertemu dengan anaknya karena kesibukan di proyek terbaru pekerjaannya. Kini ia sudah menginjakkan kaki di ruang tamu rumah orangtuanya.
Dilangkahkannya kaki semakin masuk ke dalam—rumah ini adalah rumah masa kecilnya. Kini ia sudah memiliki tempat tinggal sendiri sehingga sangat jarang singgah ke rumah yang masih terasa nyaman ini.
"Arcel, kamu sudah pulang, Sayang?" sapa seorang wanita setengah baya yang masih sangat cantik walaupun rambutnya sudah sedikit memutih dan tampak beberapa kerutan di wajahnya. Dia tetaplah wanita tercantik dan sangat dicintai oleh keluarga ini. Aceline, ibu Arcel, dengan senyum tenang menyambut kedatangan sang putra.
"Malam, Mom," sapa Arcel seraya mengecup kedua pipi ibunya. Aceline mengelus sayang puncak kepala anak sulungnya itu.
"Mandi dulu sana. Audre dan Tania sedang membeli makanan untuk makan malam," kata ibunya. Arcel pun mengangguk patuh. Dia berjalan menaiki anak tangga.
"Grandmom, lihat, Tania bawa martabak. Ti Udre beliin buat Tania," ujar sebuah suara cempreng tak lama kemudian. Tania, gadis kecil berusia empat tahun itu bercerita tentang martabaknya pada sang nenek. Aceline tersenyum lebar melihat keceriaan Tania, gadis kecil pemberi semangat untuk mereka.
"Hah .... Tubuhku pegal, Mom. Dia aktif sekali. Kurasa Kak Arcel sangat benci Kak Alvin saat Tiana mengandung, hingga anaknya memiliki sifat yang sama dengan Alvin," gerutu Audre. Wanita muda berumur 25 tahun itu dengan lelah menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk yang terletak di ruang tamu.
"Papah!" pekik Tania ketika mata bulatnya melihat ayahnya melangkah menuruni tangga.
Pria tampan itu tersenyum lembut seraya berjongkok dengan tangan membentang, siap untuk memeluk putri kecilnya yang berlari riang ke arahnya. "Apa kamu tidak merindukan Papah, Sayang?" tanya Arcel dengan wajah memelasnya.
Tania tersenyum menatap ayahnya itu. "Tentu aku sangat merindukan Papah!" Gadis kecil itu mengecupi seluruh wajah sang ayah. Arcel terkekeh pelan merasakan geli di wajahnya.
"Kalau begitu, Tania mau kan pulang ke apartemen sama Papah?"
Gadis kecil itu menggeleng dengan pasti. "Enggak, Tania mau di sini aja sama Ti Udre," tolaknya, membuat Audre mendelik kesal. Entah bagaimana kelangsungan hidupnya nanti kalau gadis kecil superaktif itu kembali tidur bersamanya malam ini.
"Tania nggak kasihan sama Papah? Masa Papah tidur sendiri lagi?"
"Ya udah, Papah bobok sini aja sama aku. Udah, ya, aku mau makan es krim." Gadis kecil itu meronta pelan meminta diturunkan dari gendongan. Dengan pasrah Arcel menuruti putri kecilnya itu.
Aceline menghela napas berat. Dia sudah lama meminta putranya untuk mencari pengganti sang istri yang sudah meninggal dunia agar cucu satu-satunya itu tidak kesepian.
"Arcel, setidaknya kalau kamu belum siap menikah dengan Kate, carikan saja pengasuh agar dia tidak kesepian di apartemen," katanya.
Arcel hanya diam mendengar saran itu, tapi ibunya ada benarnya juga. Mungkin Tania tidak ingin pulang karena di apartemen terlalu sepi. Apalagi saat mereka sedang bersama Arcel lebih sering berkutat dengan laptop dan pekerjaannya dibandingkan bermain dengan Tania.
"Akan kucari secepatnya, Mom. Kukira itu cara terbaik. Sebelum Audre kembali ke Kanada, akan kuusahakan menemukan orang yang tepat untuk menjaga Tania."
Aceline tersenyum senang mendengar jawaban putranya itu. Arcel adalah putra pertamanya, dia memiliki sifat seperti dirinya. Supel dan ramah, bahkan sangat ramah hingga banyak wanita salah menerjemahkan keramahannya sebagai sebuah ketertarikan. Dan, Arcel tak memusingkan kesalahpahaman itu. Ia akan mengatakan dengan jujur apa yang ia rasakan. Lebih sering wanita-wanita itu menangis tidak terima.
Tapi, lagi-lagi Arcel tidak peduli karena sejak awal dia memang tidak pernah memberikan harapan pada wanita mana pun. Hatinya tetap diisi oleh Tiana sang istri tercinta meskipun sudah ada seseorang yang menyangkut di hatinya beberapa bulan ini.
"Malam," sapa sebuah suara. Semua orang yang ada di ruang makan seketika menoleh untuk melihat siapa pemilik suara itu.
"Grandad ...!" pekik Tania senang. Ia dengan segera berlari menghampiri sang kakek yang masih sangat tampan di usia senja, dan melupakan es krimnya.
"Uah .... Gadis kecilku yang paling cantik!" Arvin menggendong tubuh kecil itu.
"Huh. Jadi putrimu satu-satunya ini mulai dilupakan? Jadi aku sudah tidak cantik di mata Daddy?" rajuk Audre. Walaupun umurnya sudah menginjak 25 tahun, Audre masih sangat manja pada kedua orangtuanya, terlebih pada Arvin.
"Uhh .... Tentu saja kamu cantik, tapi ...."
"Cantikan aku!" sambar Tania. Audre mendelik kesal. Kenapa gadis kecil itu jadi menyebalkan?
"Ke mana Alvin?" tanya Aceline pada suaminya.
Pria itu mengecup puncak kepalanya dengan sayang sebelum menjawab, "Anak itu masih di kafenya. Kudengar dari Azka, kafenya itu lumayan ramai, jadi dia sangat sibuk sekarang."
Aceline mengangguk pasrah. Ia lantas membantu suaminya untuk mengambil nasi dan lauk-pauk ke piringnya.
Mereka selalu makan dengan formasi kurang lengkap. Di saat Alvin dan Arcel ada, Audre yang tidak ada. Sekarang, di saat Audre pulang dari Kanada, Alvin yang jarang pulang karena kesibukannya.
***
Tok ... tok
Suara ketukan pintu terdengar. Arcel mengerutkan kening seraya melirik jam di tangannya. “Masuk," perintahnya.
Seorang wanita muda masuk dengan entakan heels pelan. Pria itu menunggu sampai si wanita berdiri di hadapannya. "Pagi, Pak. Saya sudah menemukan pengasuh yang Bapak minta," lapor wanita itu.
Arcel mengangguk pelan. "Biarkan dia masuk."
Wanita itu mengangguk. Dia kembali melangkah ke luar ruangan untuk menemui wanita yang ia bicarakan tadi.
"Via, ayo masuk. Inget, Pak Arcel suka dengan orang yang ramah dan punya sopan santun. Dan, senyum. Jangan pasang wajah jutek andalanmu itu," pesannya.
Wanita itu mengangguk mengerti, lalu setelah menarik napas dalam, dia berjalan memasuki ruangan Arcel. Olivia meneguk salivanya dengan susah payah. Dia melangkah pelan menghampiri pria tampan yang sedang duduk manis di bangkunya itu.
"Pagi, Pak," sapa Olivia penuh basa-basi. Arcel tersenyum lalu menjulurkan tangannya, membuat wanita itu melirik tangan kekar yang terulur untuknya itu. Matanya kembali melirik wajah tampan pria yang sedang tersenyum di hadapannya.
"Kamu tidak ingin berjabat tangan dengan ...."
"Saya Olivia Wijaya. Senang bisa bertemu dengan Bapak," sambar Olivia sambil membalas jabat tangan Arcel. Pria itu lagi-lagi tersenyum. Entah kenapa senyuman itu membuat hatinya bergetar.
Mungkin karena wajah tampannya yang memesona, dia terlihat sangat ramah dengan senyumnya itu.
"Saya Arcel, semoga anak saya suka denganmu. Tapi, saya yakin Tania pasti menyukaimu karena saya pun menyukaimu," ujar Arcel masih dengan senyumnya yang sialan tampannya.
Seketika Olivia ingin menggelepar di lantai. Jantungnya berpacu dengan cepat—gemuruh jantungnya bahkan berdengung di telinganya.
Ya Tuhan, baru sekali bertemu dengannya jantungku sudah seperti ini, apalagi jika aku tinggal bersamanya nanti? Hilang sudah detak jantungku!