"Iya, kalau sawahnya sudah laku katanya mau langsung daftar haji. Keburu uangnya kepake kemana-mana, kan?" ucap bu Wisma yang saat ini sibuk dengan belanjaannya.
"Hallah, utangnya aja di mana-mana. Mosok iya cukup buat naik haji." Bu Kades mencebik sewot, menggendong keranjang belanjaannya menuju motor.
"Ya kan bisa dicicil Bu, nabung. Daftar saja dulu, " kata Bu Wisma.
Sementara itu, Bu Kades memutar bola matanya. "Jangan percaya! Saya mah kalau mau naik haji ya tinggal pakai haji plus!"
"Lha, Bu Kades juga mau naik haji?"
"Lha iya, ini lagi nabung sama suami," kata wanita itu sombong.
"Haduh-haduh! Masih pagi udah ngomongin orang!" Nadia mengibas rambut panjangnya yang menguarkan semerbak sampo.
Bu Wisma dan Bu Kades mendelik tajam dengan perempuan sok cantik itu. "Apa sih kamu, Nadi!"
Nadi, perempuan itu menyengir, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Ibu-ibu apa ada melihat suaminya Nadi yang ganteng dan kaya raya itu, ndak?" tanyanya begitu percaya diri seraya tersenyum centil.
Bu Kades meringis melihat kelakuan wanita muda itu. "Pagi-pagi kok malah nyari suaminya toh? Bukannya masak, nyuci."
"Lha? Memang masih jaman masak sama nyuci?" tanya Nadi.
"Eh, mau tak jitak atau gimana nih? Ya pagi-pagi tuh masak toh, nyuci, jemur cucian, belanja ke pasar. Ini malah cari suami, memang kamu pikir suamimu itu ndak kerja apa?" Bu Kades mendumel. Lagi pula, ia sendiri pusing dengan Nadi. Pagi begini sudah membuat rusuh, mencari-cari suami ke pasar.
"Duh, suaminya Nadi mah ndak kerja gak papa, Bu. Ketimbang kerja terus kelilipan perawan desa? Duh, bahaya eksistensinya Nadi." Nadi mengelus kalung emasnya, bukan untuk menyombongkan diri melainkan kebiasaannya kalau sedang gusar. "Ya, Nadi tahu sih kalau di desa ini ndak ada yang secantik Nadi. Tapi kan, namanya juga laki-laki kan ...."
Bu Kades dan Bu Wisma menggeleng tak maklum. Terbentur apa Dama sampai bisa menikah dengan perempuan seheboh Nadi?
"Duh, aku mau pulang saja lah. Lama-lama di sini telingaku seperti berdengung!" seru Bu Kades, segera meminta Bu Wisma naik ke motor untuk berlalu meninggalkan Nadi.
"Eh! Eh! Bu, tapi suamiku beneran ndak lihat?"
"Kamu pelupa atau bagaimana? Suamimu kerja di lahan sawit kok carinya di pasar! Sinting emang istrinya Mas Dama ini!" Bu Kades segera menarik gas motornya, tidak tahan dengan Nadi dan sikap perempuan itu.
Nadi menggaruk tengkuknya, "Eh iya. Mas Dama kan lagi ngurus kelapa-kelapa manjanya. Duh! Lupa, pula!"
Nadi menyentak kakinya, memutar balik hendak ke kebun sawit suaminya, tempat di mana Dama menghabiskan separuh waktunya mengurus para pekerja.
Baru berjalan beberapa langkah, kakinya malah menyimpang ke arah lain. Matanya membulat takjub melihat daster-daster cantik digantung di salah satu lapak yang kebetulan berdiri di pinggir jalan. Astaga, Nadi baru mengingat kalau ia sudah lama tak berbelanja daster.
Nadi mendekat, tangannya yang gatal segera menyentuh kelembutan kain-kain pakaian itu. "Ih gemesin!"
"Dasternya, Mbak. Dua seratus!" Pedagang laki-laki pemilik lapak itu menghampiri Nadi.
"Dua seratus? Yang bener, Mas!" tanya Nadi tak percaya.
"Betul, Mbak."
Nadi memekik. "Ah! Aku pokoe harus beli!" Perempuan itu berjingkat senang. Memutari beberapa setelan daster dengan berbagai motif cantik. Di kepalanya sudah terbayang memakai daster baru. Pasalnya, kalau di rumah Nadi paling hanya mengenakan piyama dan daster.
"Walah-walah! Ini aesthetic pol! Persis kayak yang dipakai orang-orang Korea di Youtube itu!" Sejak kapan orang Korea pakai daster? Nadi begitu terpukau, hilang sudah tujuannya untuk mencari sang suami, karena rupanya daster lebih menarik dari wajahnya Dama!
Perempuan itu memeriksa semua model dan motif, mencocokkan dengan tubuhnya sendiri. "Dilapis ya kantungnya, Mas. Nanti takutnya dilihat tetangga terus kepengen juga dasternya, eh malah beli di sini terus samaan. Kan ndak lucu ya Mas pakai daster samaan, sebentar dikira kembaran," cerocos perempuan itu panjang lebar, cerewet. Padahal kan bagus kalau banyak yang beli, pedagangnya juga bisa untung. Memang istrinya Dama ini aneh sekali.
"Iya, Mbak." Pria itu segera membungkus belanjaan Nadi.
"Berapa, Mas?"
"Tiga ratus, Mbak,” jawab si Pedagang sembari menyerahkan kantong berisi daster.
Nadi merogoh sakunya, mencari-cari uangnya, tapi tidak menemukan apa pun selain recehan lima ratus rupiah sisa membeli asam di warung. "Ealah, kelupaan. Mas nanti mampir ke rumah saja deh!" Nadi menyambar kantong belanjaannya dengan enteng, hendak pergi.
"Mbak, saya ndak tahu rumahnya di mana …." Pria itu menghentikan Nadi. Sudah ambil banyak, dihutang pula.
"Ya mosok Masnya ndak tahu sih! Masnya ndak tahu saya?" Nadi berlagak sok terkenal, lagi pula siapa sih yang tidak tahu dirinya di desa ini?
Pria itu menggeleng. Bagaimana mau tahu, dia saja hanya pedagang lepas dari kota. Membuka lapak berpindah-pindah tempat biar relasi dan pelanggannya lebih banyak.
Nadi berdecak lagi. "Duh, kampungan ih Masnya. Tanya saja rumahnya Mas Dama, yang paling besar sekampung halaman! Pasti ketemu deh." Nadi kembali mengibaskan rambutnya, ingin cepat-cepat pulang mencoba daster barunya.
Pria itu meringis, siapa pula itu Mas Dama?
"Mbak, saya ndak tahu. Apa Mbaknya pulang saja ambil dompetnya, nanti saya tunggu di sini," tawar pria itu, bersabar. Setiap pembeli punya karakter masing-masing. Mungkin yang ia sedang hadapi sekarang ialah pembeli dengan karakter banyak mau.
"Duh! Mas kalau begitu ambil di kebun sawit suami saya saja deh. Dekat sini kok. Mas lihat kebun sawit, kan?"
"Engh, iya …."
"Nah, minta sama Mas Dama ya. Bilang saja istrinya habis beli daster baru, nanti langsung dikasih kok."
"Mbaknya ambil dompetnya saja, belanjaannya biar dibawa pulang dulu tidak masalah." Pedagang itu mencari jalan lain, menolak titah Nadi.
"Ya masalahnya dompet saya ndak ada isinya, Mas!"
Pria itu kembali meringis. Duh, susah juga. Mau beli tidak ada uang!
Istrinya siapa sih ini? Merepotkan sekali!
***
"Ih! Ini tuh liptint kw! Kamu dapat di mana, Gemi?" Nadi mendelik jijik menemukan gincu merah menyala di meja rias putrinya.
"Masa sih, Ma?" Gemi baru selesai mengganti baju SMP-nya ketika sang mama yang begitu cerewet memeriksa meja riasnya.
"Iya, bener! Nih lihat, ndak ada BPOM-nya, iyuh! Nomor produksinya juga ndak terdaftar. Hitam lho bibir kamu kalau dipake," ujar Nadi seram.
Gemi menggaruk rambutnya, perkataan Nadi membuat kepalanya gatal. "Pantes murah ya, Ma. Dua puluh ribu, dibeli sama kakak kelasnya Gemi."
"Duh! Dari harganya saja sudah kelihatan, berapa duit itu modalnya! Kamu mah ada-ada aja deh. Merek terkenal ya mosok harganya merosot ke dua puluh ribu. Ya pasti kw!"
Gemi mengedikkan bahunya. "Gemi mana tahu, mungkin udah harganya segitu kali Ma. Banyak kok liplip harga segitu yang asli, tapi bukan merek ini. "
"Makanya, beli yang asli tuh di sojiolla, kayak mama," sahut Nadi sombong.
"He'em. Iya deh, terserah Mama."
"Tenang, nanti mama carikan warna yang bagus buat kamu. Jangan yang merah menyala, nanti kayak onty—"
"Nadi!" teriak Dama dari luar, menghentikan cerocosan Nadia.
"Yes, Papi!" jawab Nadi, ikut berteriak agar sang suami tercinta mengakui keberadaannya di rumah ini.
"Tunggu ya, anak manis. Papa kamu udah pulang, hehe," pamitnya, sejurus kemudian sudah terbirit menghampiri sang suami.
Gemintang mencibir. Sepertinya mama sambungnya itu begitu kepincut dengan papanya. Tidak heran kalau berdandan setiap hari bisa membuat seisi rumah geger. Sudah persis beauty vlogger! Bedanya Nadia tidak punya kamera untuk mengabadikan dirinya.
Dama melepas topinya, badannya panas, kepalanya juga panas.
"Halo Mas! Tumben jam segini udah di rumah. Kangen ya?" Nadi memeluk lengan suaminya ketika keduanya bertemu di lorong rumah, menyapa dengan kegenitan.
Ingin sekali Dama menepuk kepalanya sekarang juga. Istrinya begitu PD! Namun, meski ingin, Dama tak melakukannya, melainkan mengusap wajahnya karena istrinya begitu sumringah, cerah tanpa dosa. Dama duduk di kursi, menggeleng melihat kelakuan Nadi yang menempelinya begitu rekat bagaikan lem.
"Kamu habis beli apa lagi sih, Nadi ... tadi ada dua pedagang dari pasar datang ke kebun. Satu minta uang tiga ratus ribu, satunya lagi minta uang tiga puluh ribu. Itu kenapa bisa begitu?" tanya Dama frustrasi, menuntut penjelasan.
Ia padahal sedang bekerja, otaknya sedang fresh sekali karena sawah yang baru dibelinya beberapa pekan lalu sedang disurvei dalam rangka pembuatan tempat rekreasi oleh pemerintah setempat. Belum lagi sawit-sawit hasil panennya bagus, sedang di puncak-puncaknya ketika ia harus didatangi seorang penjual daster dan tukang bakso karena istrinya mengutang.
Tsah! Yang benar saja! Istri seorang Dama bisa-bisanya ngutang bakso dan daster!
Wajah Dama ingin meleleh saja saat itu ketimbang ditatap lucu oleh para pekerjanya yang ikut menyaksikan kejadian konyol itu.
Bukan pelit, sungguh bukan tentang hal itu. Masalahnya Nadia membeberkan bahwa dompetnya di rumah tak ada isinya, mau ditaruh di mana wajahnya Dama yang tiap malam memberikan uang dengan sang istri. Sepagi itu sudah ludes saja isi dompetnya?
"Ish! Kamu kok suaranya gusar begitu, Mas. Aku bikinin kopi yah ... sek, sebentar!" Nadi baru saja mau kabur ketika Dama menahan tangannya. Dama butuh penjelasan.
Sekarang juga.
"Duduk, bilang dengan saya."
Nadi menggigit bibirnya, mau bilang apa coba?
"Ya itu, beli daster sama ... hehe. Tadi keterusan lihat tukang bakso pagi-pagi mangkal depan pos."
"Kenapa tidak dibayar?"
"Dompetnya ... lupa."
"Kalau tahu tidak bawa uang kenapa malah beli?"
"Ya takutnya keduluan orang, Mas. Mas kok ndak ngerti sih? Aku ndak mau dasterku samaan dengan tetangga. Masalah bakso, ya namanya juga pengen Mas. Ya mosok aku harus pulang dulu, keburu pergi tukang baksonya," kilah Nadi beralasan.
Dama membuang napas. "Tapi kan, kamu tidak harus bilang kalau dompetmu ndak ada isinya juga, kan?"
Masalah itu ... Nadi menggaruk tengkuk. "Ada sih Mas, tapi kan, mau ditabung. Heheh ... kan, ada Mas Dama yang bayar, aku kenapa harus pusing?" Perempuan itu tersenyum luwes, tanpa beban sama sekali.
Nadia yang berhutang malah Dama yang repot dan apa tadi?
Kan ada Mas Dama yang bayar, aku kenapa harus pusing?