"Jadi, siapa yang akan menuruti kemauan Mama untuk menikah tahun ini?"
Wanita paruh baya itu menatap ketiga anak lelakinya. Yang pertama Arjuna, lalu Arsal, dan si bungsu Adnan. Akhir-akhir ini dia mulai merasa lelah mengurus ketiga putranya.
Arjuna berumur tiga puluh dua tahun. Pendiam, tak banyak teman, dan menyukai kesendirian. Hidupnya hanya untuk bekerja. Tipikal anak pertama. Penanggung jawab kehidupan. Terlebih mereka ditinggal sang ayah sudah satu dasawarsa. Pantas saja sang ibu berharap memiliki teman satu pemikiran.
Anak kedua, Arsal, hampir berkepala tiga dan masih nyaman tidak berkomitmen serius. Terakhir memadu kasih lima tahun silam. Terkenal ketus, tidak suka basa-basi, dan yang paling sulit dihilangkan adalah sifat ingin tahunya yang terlalu dalam. Dia suka sekali mengurus masalah orang lain. Pantas saja Arsal dipilih oleh penduduk setempat untuk menjadi ketua Rukun Tetangga. Arsal memang suka bersosialisasi dengan khalayak ramai. Hampir semua tetangga kenal dengannya.
Terakhir, Adnan. Usianya sudah dua puluh lima tahun. Sedang semangat-semangatnya bekerja dan kencan demi mencari wanita idaman. Adnan masih penasaran dengan istilah cinta sejati. Omong kosong atau memang nyata? Sampai saat ini isi kepalanya selalu mengendalikan otaknya untuk tidak berhasil mencari cinta. Disyukuri atau tidak, sampai detik ini ia masih nyaman dengan rasa penasarannya.
"Masih belum ada yang mau tunjuk tangan?"
Teguran sang Mama membuat ketiga pria itu saling menatap. Tetap angkuh dengan pendirian masing-masing. Tidak ada yang bersedia. Mengalah untuk masalah ini terlalu berat.
"Arjuna?" tegur Lidia. Dia putra tertua dan paling berkemungkinan untuk menyerah.
"Ma, tiga bulan lagi aku harus pindah tugas ke luar kota." Sorot mata Arjuna yang teduh mampu membuat sang Mama tak berkutik. Sulung Hamada ini memiliki tatapan tenang, mungkin karena usia sudah bisa dikatakan dewasa, jadi setiap geraknya selalu terasa sopan. Ah, tapi tidak juga. Arjuna memang selalu bersikap tenang, lebih dominan menjadi sosok pria pendiam dengan senyum yang selalu indah. Hanya saja, perihal pasangan hidup, sampai saat ini kemunculan calonnya saja belum ada tanda-tanda.
Dan alasannya untuk menghindar selalu perihal pekerjaan. Lidia sangat paham sifat putranya itu.
"Kamu yang paling tua, Nak," kata Lidia lirih. Arsal dan Adnan ikut mengangguk, bahkan memasang wajah sedih sebagai penambah simpati. Arjuna tahu kedua adiknya sedang tertawa di dalam hati, menertawai posisinya sebagai anak sulung yang paling berisiko. Waktu terus bergulir, umur semakin berkurang, mau apa lagi?
"Maaf, Ma." Hanya itu yang bisa Arjuna kerahkan untuk dikatakan. Merasa bersalah kepada sang Mama.
"Kamu, Arsal?"
Giliran Arsal yang ditatap Lidia. Putra keduanya sangat bertolak belakang dengan si sulung Arjuna. Rahang wajahnya tegas, dengan alis tebal dan sorot mata yang selalu fokus, membuat siapa saja yang menatapnya kadang salah paham. Antara tegas dan sinis, sulit diterka untuk menilai sosok Arsal. Untung saja wajahnya bisa dikatakan tampan, kalau tidak? Dipastikan musuh Arsal itu tak terhitung hanya karena ditatap dengan cenderung sinis.
“Jangan kerutkan dahimu” tegur Lidia pada Arsal, yang sedang mencari-cari alasan untuk menolak permintaannya.
"Mendahului kakak tertua itu tidak baik, Ma."
Dan Lidia pun sudah tahu jawaban Arsal. Berkilah.
"Alasan," ucap Arjuna kesal. "Di antara kita bertiga, cuma kamu yang paling tepat segera menikah."
Arsal tahu jika dilanjutkan, Arjuna bisa membuat manuver paling ampuh untuk menyudutkannya. Tetapi tidak, dia masih belum mau berkomitmen. Mencari teman dekat saja susahnya minta ampun, apalagi teman mesra untuk dia halalkan. Sudah lima tahun berhenti menjalin asmara, membuat dirinya nyaman bahkan menikmati masa lajang. Ada, sih, saat-saat iri ingin memiliki pasangan, tapi sejauh ini masih bisa diatasi.
"Adnan saja, Ma. Koleksi teman kencannya banyak." Arsal melirik Adnan. Dia bahkan bisa punya manuver lebih kuat dibandingkan Arjuna jika ditujukan kepada adiknya. Adnan bisa menjadi tumbalnya. Adiknya itu selain giat bekerja, juga punya keahlian berteman dengan lawan jenis. Bukan playboy, lebih ke semacam peneliti jalinan asmara berbagai jenis wanita. "Mama kan tahu, Adnan punya pacar banyak."
"Benar juga. Hanya Adnan yang selalu berstatus in relationship di media sosialnya." Lidia tampak berpikir. "Kamu mau menikah, Nak? Mama tidak masalah kalau kamu yang menikah lebih dahulu. Biarkan saja dua kakakmu ini membujang sampai kiamat."
Adnan mendekati sang Mama. Memeluk erat wanita yang sangat dia hormati itu. Membuatnya menangis adalah pilihan yang tak akan pernah dia ambil. Si bungsu ini memang punya kelebihan dalam berurusan dengan kaum hawa. Jika dibandingkan dengan kedua kakaknya, Adnan masuk urutan akhir urusan paras tampan. Tidak semua orang bilang Adnan tampan, hanya saja wajahnya tak bosan untuk dipandang, karena itu para wanita tak pernah jenuh berdekatan dengannya.
"Ma, Adnan mau saja kalau itu bisa membuat Mama tersenyum. Tapi rasanya tidak etis. Terlebih Arsal kan ketua RT di sini. Apa kata tetangga kalau Pak RT jomlo dilangkahi oleh adiknya? Bisa berpengaruh bagi ketenteraman permukiman." Adnan mengecup pipi Lidia sambil terus memberikan penjelasan, yang bisa dibilang tidak masuk akal.
Apa hubungannya status jomlo dengan urusan rukun tetangga? Arsal ingin sekali menendang bokong adiknya itu.
"Atau begini saja. Bagaimana kalau kita mengundi nama kita, seperti arisan?"
Usulan Adnan membuat Arsal dan Arjuna saling menatap. Dasar adik bungsu yang licik.
"Ini demi Mama." Seolah sadar kedua kakaknya ingin menghunjamkan pedang tepat di jantungnya, Adnan segera berdalih. "Mama permata hati kita."
Lidia menatap bergantian ketiga putranya. "Mama kesepian," ucapnya sedih. Dia memang tidak kekurangan dalam hal materi. Hanya saja, ada bagian dalam dirinya yang sepi tanpa kehadiran anggota keluarga baru. Terlebih dia tidak memiliki seorang putri. Sanak keluarga juga memiliki tempat tinggal yang jauh dari rumahnya. Tidak setiap saat bisa ia kunjungi. Beliau, kan, juga mau memiliki waktu bersama anak perempuan di keseharian. Menantunya kelak akan dia anggap anak sendiri.
Lidia yang masih berperawakan ideal di usia yang sudah tak muda, mengidamkan teman bercengkerama di rumah. Anak perempuan yang tak pernah dia miliki. Rasanya sudah tak sabar menanti saat itu tiba. Berbelanja bersama, menguasai dapur bersama, atau sekalian me time di salon kecantikan. Selama ini, ketiga putranya tak bisa merealisasikan keinginan sederhananya itu. Adnan kadang antar dia ke salon, itu juga berujung ditinggalkan karena si bungsu itu mendapat kencan dadakan dengan kenalan barunya di salon itu, lalu akhirnya dirinya dijemput Arsal yang dimintai bantuan oleh si bungsu. Selalu seperti itu siklusnya.
"Ayo kita utamakan kebahagiaan Mama," ajak Adnan. “Kita undi saja nama kita.”
Mau tak mau, Arsal dan Arjuna mengangguk.
"Adil, ya? Nama yang keluar duluan harus segera menyetujui permintaan mulia Mama. Menikah." Adnan langsung menulis nama mereka bertiga dalam masing-masing secarik kertas, menggulungnya tanpa ada niat mengelabui kedua kakaknya. Adil, terbuka, dan tidak direkayasa.
"Mama yang pilih." Adnan menyodorkan gelas berisi tiga gulungan nama mereka kepada sang ibu.
"Janji, ya, nama yang keluar akan bersedia menikah?" Lidia bertanya memastikan.
"Aku janji, Ma." Arjuna langsung bersuara. Jika nanti namanya yang keluar, dia akan pasrah. Kebahagiaan orang tua adalah tujuan dia hidup.
"Aku juga, Ma," Arsal menimpali.
"Apalagi aku, Ma."
Mendengar ucapan Adnan, lagi-lagi Arsal dan Arjuna meliriknya jengkel. Ini idenya yang mau tak mau dituruti bersama.
"Bismillah."
Lidia mengambil satu gulungan kertas di dalam gelas. Dengan wajah bahagia dia membuka gulungan itu. Akhirnya permintaannya akan dikabulkan oleh nama yang akan dia baca.
Ketiga putranya harap-harap cemas, sama-sama memejamkan mata. Berharap nama mereka tidak disebut oleh sang Mama. Dan akhirnya seruan sang Mama membuat satu di antara mereka mengembuskan napas tak percaya. Terjebak dalam penghormatan kepada sang Mama.
"Arsal Hamada."
Bagai mendengar panggilan hakim yang sedang memvonisnya, Arsal membuka mata. Hukuman paling nyata akan segera dia terima.
Akan bahagiakah dirinya? Menikah atas permintaan sang Mama. Setidaknya dia sudah mendapat restu surga, tetapi itu artinya dia harus mencari setangkai bunga indah di tengah tumpukan jerami. Bukan hanya jerami, bisa saja di dalam kandang macan betina. Atau sekalian saja seperti bercengkerama dengan ibu-ibu pemburu diskon, yang brutal dan tak pandang bulu. Kebanyakan wanita yang dikenal Arsal seperti itu. Kalem saat memulai dan beringas saat berpisah.
Belajar dari pengalaman, hampir semua mantan pacarnya berpisah dengannya dalam keadaan buruk. Bisa dibilang sampai detik ini tidak ada penyelesaian yang jelas. Semua karena mulut pedasnya yang memang sulit bermanis-manis. Membuat hampir setiap mantan kekasihnya sakit hati begitu dalam hingga hanya bisa memendam.
"Arsal Hamada."
Sekali lagi Lidia memanggil nama putra keduanya, sambil memamerkan nama yang tertera di kertas itu. Nama Arsal.
"Iya, Ma. Aku akan cari calon istri untuk kunikahi." Arsal mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi? Semua demi sang permata rumah ini.
"Yah, padahal aku berharap namaku yang keluar," ucap Adnan sok drama, pencetus ide sialan itu.
"Mau tukar?" sahut Arsal kesal. Adnan langsung menggeleng sambil tertawa. Kenekatannya membuahkan hasil. Padahal bisa saja tadi namanya yang keluar.
Arjuna menepuk pundak Arsal sambil berdiri. "Semoga berhasil. Ma, aku istirahat dulu." Arjuna lalu berjalan meninggalkan mereka. Hasil sudah jelas bahwa bukan dirinya yang terpilih, dan itu sudah cukup baginya.
"Arjuna, biarpun Arsal yang terpilih, Mama tetap akan mencari calon pendamping untuk kamu,” kata Lidia.
Arjuna hanya mengangguk sambil terus berjalan menuju kamarnya. Masih ada waktu, Arsal pasti akan membuatnya sibuk memilih-milih. Meski hanya untuk sementara, Arjuna bisa bernapas lega.
"Arsal, kapan kamu mau membawa calon menantu Mama?"
"Dicari dulu, Ma. Ini bukan restoran cepat saji," gerutu Arsal. Hidupnya akan berubah besok saat menyambut pagi. Sibuk mengurus restoran keluarga saja sudah membuat pusing. Dan sekarang ditambahi mencari calon istri?
Andai saja Nikita Willy masih lajang, atau Alyssa Soebandono masih berstatus sendiri, Arsal sudah pasti akan meminangnya apa pun yang terjadi.
"Mama tidur dulu. Mama percaya kamu bisa mendapatkan wanita idaman yang spesial. Kamu kan putra Mama yang paling tampan." Lidia sempat mengacak rambut Arsal sebelum berlalu.
Adnan sendiri juga ikut berdiri. Malamnya masih panjang dan ia cukup tahu diri untuk tidak terus memandang wajah kusut sang kakak. "Oke, gue cabut dulu. Malam Sabtu masih panjang." Riang sekali Adnan menapakkan kakinya.
"Eits." Adnan berhenti tepat di samping Arsal yang sedang menyandarkan tubuhnya di sofa. Seperti kebiasaannya setiap kali memiliki teman wanita baru, Adnan membutuhkan Arsal dan wawasan luasnya perihal hidup penduduk setempat.
"Gue mau jalan sama Sofi anak Pak Surya. Kalau nggak salah dia langganan restoran kita, kan? Menurut penerawangan lo, Sofi gimana?"
Arsal melirik Adnan. Sekesal-kesalnya dia pada adiknya, tetap tidak akan menghilangkan rasa sayangnya untuk saudara kandung. "Sofi itu baru putus sama Ardi, chef restoran kita. Kata Ardi, Sofi suka clubbing dan bergaya hidup kebarat-baratan." Pengetahuan Arsal memang luas dalam segala urusan, mulai dari yang penting hingga tak penting sekalipun, dan itu terkadang membantu Adnan memilah aneka pilihan wanitanya.
"Hmm, bukan pilihan yang tepat untuk dijadikan istri. Tapi boleh juga untuk menambah wawasan."
Arsal menepuk paha Adnan untuk segera enyah dari hadapannya. Dia tahu, adiknya itu pasti akan memasang wajah kemenangan karena dirinyalah yang mendapatkan titah wajib sang permata. Mencari pendamping.
"Oke, Arsal semangat. Cari calon pendamping yang memenuhi kriteria terbaik," ucap Arsal kepada dirinya sendiri.