Prolog
Tiffany Embrace
“Oh My God. It’s so wonderful. Kita harus dapetin ini sebelum akhir tahun.”
Brit menyodorkan majalah yang tengah dibacanya ke hadapan kedua orang temannya. Amanda, yang sedang asyik menatap laptop, hanya melihat sekilas lalu kembali berpaling ke laptopnya. Tika, yang sejak tadi hanya memencet remot televisi mencari channel yang dikiranya bagus, sedikit lebih menunjukkan ketertarikan kepada Brit.
“Kalau itu baju baru lagi, gue harap lo mikirin tagihan lo yang mulai membengkak,” tukas Tika datar sambil kembali memencet remot.
Brit hanya tertawa dan meninju lengan Tika pelan. “Bukan baju, tapi cincin.”
“Ng….” Amanda hanya mendengung singkat. Pekerjaannya terasa sangat mendesak dan dia tidak ingin konsentrasinya buyar karena celetukan Brit.
“Cincinnya bagus banget Amanda, Tika!” Brit yang sudah kehilangan kesabaran mulai merebut remot dari tangan Tika dan menutup paksa laptop yang sedang dipelototi Amanda.
“Hei, what are you doing?” Amanda protes. Raut wajahnya yang sudah tegas menjadi semakin keras akibat tindakan lancang Brit. Namun Brit masih bersikap santai dan tidak memedulikan protes Amanda.
Brit menempatkan tubuh langsingnya di antara Amanda dan Tika. Sofa yang hanya mampu memuat dua orang itu terasa sempit akibat kedatangan Brit. Amanda masih mendecak kesal sedangkan Tika memilih untuk mengalah dan pindah ke sofa yang tadi diduduki Brit. Namun tangan Brit dengan sigap menahan langkahnya dan memaksanya kembali duduk.
Jemari Brit yang lentik menunjuk halaman majalah yang terbentang di pangkuannya. Ada banyak cincin tersebar di halaman itu. Cincin yang mampu menerbitkan air liur siapa pun yang melihatnya. Salah satunya Brit. Sejak pertama melihat sebuah cincin di halaman itu, dia langsung jatuh cinta. Sebuah cincin platinum dengan taburan serpihan berlian di sekelilingnya dan sebuah berlian berbentuk round di bagian tengah. Di bagian round itu ada prisma-prisma runcing yang memantulkan cahaya di sekitarnya sehingga terlihat sangat berkilau. Di bagian bawah cincin ada tulisan Tiffany Embrace serta harga yang mampu mencekik kantong.
“I want this.”
“Itu wedding ring, Brit.” Tika menyadarkan, meski dia juga menitikkan air liur menyaksikan keindahan cincin itu. Tika membayangkan cincin itu akan terlihat sangat mencolok di jarinya yang kurus dan panjang. Dia tersenyum getir karena berani membayangkan hal yang sangat tidak mungkin dimilikinya itu.
“Dan hanya freak yang membeli wedding ring untuk dipakai sendiri.” Amanda menambahkan, sebisa mungkin menahan matanya untuk tidak melirik ke majalah itu. Selama ini selera Brit selalu di atas rata-rata dan apa pun yang dia pilih selalu mengundang decak kagum. Jika Brit berkata bagus, maka barang yang dia sebut bagus itu memang sangat bagus. Brit tidak pernah salah. Matanya begitu jeli dalam menilai apa pun.
“Siapa bilang gue mau beli cincin ini dan memakainya sendiri?” Brit berjengit. Dia melepaskan tangannya dari majalah dan merangkul kedua temannya. “Kita harus mendapatkannya.”
“Lo tahu gaji gue, Brit. Enggak akan cukup,” sela Tika.
“Tika, darling, kan gue bilang kita harus dapetin cincin ini, bukan membelinya pake duit sendiri.”
Amanda dan Tika saling lirik sebelum akhrinya menancapkan tatapan mereka di wajah Brit yang bersemu merah.
“Kita sudah hampir tiga puluh tapi enggak ada cincin di jari manis kita.” Brit menggeleng dengan ekspresi yang dibuat semenyedihkan mungkin. “Sebelum ganti tahun, kita harus punya seorang pria yang siap diajak berkomitmen dan menyelipkan Tiffany Embrace di jari kita.”
“What?” Sontak Amanda dan Tika menyuarakan keterkejutan yang sama.
“Sinting,” omel Tika.
“You’re crazy, Brit,” sambung Amanda.
“Whatever.” Brit sama sekali tidak menunjukkan keberatan dengan tuduhan teman-temannya. “Gue udah bosan gonta-ganti pacar dan pengin menjalin hubungan serius. Dan lo Amanda…” Brit menatap Amanda tajam. “Kalau matematika gue enggak salah, lo udah lima tahun pacaran sama Lucas. Memangnya lo enggak mau nikah sama dia? Dan lo, Tika...” Brit tersenyum penuh maklum di hadapan Tika. “Stop being like a frigid bitch, darling. Udah enggak zaman jadi pihak yang gagal move on, apalagi dari mantan brengsek.”
Amanda melongo mendengar ucapan Brit dan mau tidak mau membenarkan ucapannya. Lima tahun sudah cukup untuk saling mengenal. Memang sudah waktunya bagi dirinya dan Lucas memikirkan masa depan yang lebih jelas bagi hubungan mereka.
Sementara Tika bergerak gelisah di kursinya. Dia selalu risi setiap kali ada yang menyinggung statusnya yang masih sendiri dan terjebak trauma karena kisah percintaannya yang tidak berjalan baik.
“So, what do you think?”
***