Semarang, 2013
I literally hate this damn school. Suer. Setelah kamu menghabiskan hidupmu di luar negeri, kemudian kembali ke Indonesia, negeri sendiri yang rasanya seperti antah berantah, perasaan seperti itu wajar.
Ini hari pertama kepindahanku di sekolah, setelah seminggu aku sibuk mengurusi rumah yang kotornya naudzubillah. Kenapa Papa harus memilih rumah di daerah padat dan kumuh seperti Kauman? Aku yakin Papa sebenarnya mampu membeli rumah di daerah Banyumanik atau wilayah Atas, yang hawanya lebih sejuk. Please, setelah menghabiskan masa elementary school di Eropa lalu sekolah di sini, rasanya sudah seperti bumi dan langit.
Yeah, Papa bilang Indonesia nggak seburuk pikiranku. Fix, Papa pasti lupa kalo kamar mandi sekolah di Indonesia itu baunya minta ampun. Aku beneran mau muntah. Mungkin beda kalo sekolah swasta yang high class. Tapi Papa bersikeras memasukkanku ke sekolah negeri. Apa, sih, untungnya? Gengsi doang? Bukannya lebih bergengsi sekolah swasta yang mahal itu? Papa terlalu pelit untuk sekolahku.
Dan yang kubenci dari sekolah di sini adalah, tidak ada rooftop. Atau atap sekolah yang luas. Dulu aku biasa menghabiskan waktu di atap sekolah menunggu senja. Bagiku itu menyenangkan. Aku membaca buku tentang Sunset Rendezvous, yang tokoh utamanya bernama Kevin dan Kayana, bertualang melihat langit senja untuk mencari bintang utara. Itu sangat indah sehingga membuatku terobsesi dengan senja. Tetapi di sekolah ini, atapnya berupa genteng dengan rumbai segitiga yang mana bisa dipanjat dan ditongkrongi? Akhirnya aku hanya bisa menghabiskan waktu sepulang sekolah di sini, di koridor lantai dua tepat setelah tangga. Di sudut ini paling tidak aku bisa melihat langit dan mendapat sinar matahari yang cukup. Tapi tetap saja, mana asyik.
Aku suka berbaring di atas atap, meskipun itu mengotori bajuku, membaca buku Sunset Rendezvous sampai ketiduran, menunggu Papa menjemput. Di sini pun aku masih harus menunggu Papa menjemput, tapi tanpa ada tempat nongkrong yang menyenangkan.
Jam sekolah sudah usai dua jam yang lalu, sehingga sekolah cukup sepi. Hanya ada beberapa pengurus OSIS yang nongkrong di sekretariat atau siswa yang mengikuti kegiatan ekskul. Karena aku masih baru, aku belum mengikuti kegiatan apa pun. Lagi pula aku sama sekali tak tertarik.
Kubaringkan tubuh begitu saja di lantai, membaca buku kesayanganku, Blues untuk Bonnie. Orang-orang sering tak percaya—melihat tampangku—ketika kukatakan aku suka membaca karya-karya Rendra untuk menghabiskan waktu. Apalagi sekarang, membuang waktu demi dijemput Papa, yang baru bisa datang pukul tiga sore. Seragam putihku sudah tampak kotor dan kumal, tapi apa peduliku. Mama pasti akan mengomeliku karena seragam ini harus dipakai lagi besok, berbeda dengan saat elementary school saat aku bebas mengenakan apa pun.
Sekolah sudah cukup sepi, dengan angin yang berembus menerpa wajah. Baiklah, ini tidak buruk. Aku bisa merasakan kantuk menyerang, ditandai dengan kelopak mataku yang terasa berat. Akhirnya aku menyerah, membiarkan kantuk memelukku dengan buku yang menutupi wajah. Tak ada seorang pun yang akan ke sini kayaknya.
Kemudian aku merasa seperti bermimpi. Aku berdiri di ujung tangga, yang disinari oleh cahaya menyilaukan dan sempat membuatku terpejam sejenak. Setelah itu, kudengar langkah kaki yang menuruni tangga, satu per satu. Mendadak saja jantung ini berdebar, seakan menantikan sesuatu yang teramat penting.
Aku terkesiap, karena dari atas tampaklah siluet dengan cahaya berwarna putih. Sosok itu melangkah dengan anggun, bergerak dengan amat sangat lambat. Apakah dia bersayap? Karena ada sekelebat cahaya berwarna kuning mengelilinginya.
Mataku mengerjap beberapa kali, seakan menanti bidadari itu turun menghampiriku. Kemudian bidadari itu tergelincir dan menghilang, seiring dengan kakiku yang mendadak sakit. Aku terbangun, mengerang seraya bingung karena entah kenapa kakiku mendadak terasa sakit.
Lalu pandanganku bergerak ke depan, menangkap sosok yang mengenakan seragam sepertiku, sedang mengaduh dan membersihkan roknya dari debu. Aku terkejut. Aku berasumsi sepertinya dia jatuh.
"Matamu buta, ya?" semprotku begitu saja.
Gadis itu berbalik, alis wajahnya bertaut dengan kening berkerut. "Ngapain, sih, kamu tiduran di situ?"
"Aku tidur di sini kan terserah aku! Kamu masak nggak bisa liat aku di sini!" Aku bangkit dan menatap gusar ke arahnya.
"Aku buru-buru, ada yang ketinggalan!" Gadis itu berbalik dan segera berlari ke kelas tak jauh dari tempatku tadi berbaring—yang kusadari bahwa itu kelasku. Jadi dia ini teman sekelasku? Wajahnya memang tak asing. Tapi ... aku lupa namanya.
"Ken!" Kudengar suara cemprengnya memanggil. Berarti dia mengenalku. Aku tak memedulikannya. Kutenteng buku novel di tangan kanan, bersiap turun dan menunggu Papa di luar.
"Ken Jeong!" panggilnya lagi. Aku berdecak. Gadis itu menghampiriku. "Kamu tahu nggak buku pengantar manajemen yang di kolong meja?"
Aku mengangkat bahu dan melengos, bersiap untuk angkat kaki.
"Kalo ditanya jawab, dong! Bantuin cari!" Gadis itu menarik tanganku untuk mengikutinya ke kelas.
"Eh, apa-apaan, sih?" tanyaku dengan gusar. "Aku mau pulang!" Kuempaskan tangannya demi bisa menghentikan langkahnya yang gesit.
"Kowe kan dari tadi di sini! Pasti tahulah siapa yang keluar masuk kelas!" debatnya dengan nada tinggi.
Aku menggeleng. "Bukan urusanku juga."
Sebelum gadis itu berkata sesuatu, matanya bergerak ke arah buku yang kupegang. "Itu buku apa?"
“Yang jelas bukan buku manajemenmu yang ngebosenin!” sahutku, tak mau repot-repot menunjukkan bukuku padanya.
Gadis yang sampai sekarang aku lupa namanya itu merebut bukuku, kemudian membaca judulnya dan tergelak. "Blues untuk Bonnie? Wow, cowok playboy mana yang baca buku sastra! Pasti ini cuma lagakmu biar dapetin cewek, kan? Norak!"
Aku sama sekali tak tersinggung dengan ejekan noraknya. Tapi aku benci dikatai playboy oleh orang yang tak dikenal. Eh ya, dia kenal aku, tapi aku nggak ingat namanya.
"Aku bukan playboy, dasar cewek sok tahu!" Aku memelotot dan menggeram.
Gadis itu memutar bola matanya, kemudian mencebik. Saat itulah aku baru membaca label nama yang melekat di seragamnya: Kinandita. Ah ya, namanya Kinan.
"Baru seminggu sekolah, kamu udah macarin dua cewek di kelas ini. Kalo bukan playboy apa namanya?" Kinan mendengkus, seraya melempar buku itu tepat ke arahku. Sigap kutangkap buku itu, sebelum ia jatuh ke lantai. "Bawa aja buku norakmu ini! Nggak mempan rayuan gombalmu!"
Aku terbahak. "Nggak pernah ada dalam pikiranku buat ngerayu kamu. Cih! Cewek kayak kamu sih nggak bakal dapat pacar sampai kapan pun!"
Kinan mengibaskan rambut sembari mengentakkan kaki, tetapi ia sama sekali tidak mendebatku lagi. Ia kembali berkeliling melihat kolong meja. Sampai di meja ke sekian, ia mengambil sesuatu dari sana dan bersorak kegirangan. "Yesss! Ketemu!"
Tanpa menghiraukanku, ia berlari keluar kelas. Namun ia kembali lagi untuk menginjak kakiku, membuatku mengaduh kesakitan lagi.
"Cewek resek!" makiku dengan tanganku meraih rambut panjangnya yang terkibas ketika ia hendak berlari lagi.
Gadis itu memekik kesakitan, kemudian ia berbalik dan menendang tulang keringku, berusaha membebaskan diri. "Kowe iku ancen playboy kurang ajar!" omelnya dengan bahasa Semarang yang medok.
"Berhenti manggil aku playboy, baru kulepasin!" Aku tidak berniat menjambaknya, sungguh. Tetapi sepertinya ada helai rambut yang terpuntir sehingga ia masih terlihat kesakitan.
"Oke, ampun! Lepasin dong, nggak fair kalo main jambak begini!" pintanya dengan wajah memelas.
"Fair-nya di mana ya, saat kamu nginjek kakiku?" Aku tersenyum mengejek. Setelah itu kulepaskan rambutnya, tak berniat memperpanjang perkelahian tak berfaedah ini.
Sudut mata gadis itu sedikit mengembun, tetapi ia mengangkat dagu ketika merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Aku segera berlalu dari kelas, menuruni tangga, tanpa mengindahkan gadis yang baru saja membuatku keki itu.
Saat menuruni tangga, kudengar kakinya berderap berlari di belakangku, kemudian kurasakan sesuatu menampar belakang kepala. "Sialan!" makiku saat kulihat Kinan tertawa jahil berlari menghindariku.
Namun karena terlalu lelah, aku hanya menghela napas dan berjalan dengan santai. Melihat penunjuk waktu yang melingkar di lengan kiriku, Papa pasti sudah berada di depan gerbang untuk menjemput.
Kinan berbalik lalu meledekku, "Dasar playboy norak!" Setelah itu tawanya memudar seiring dengan derap langkahnya yang menjauh dariku.
Cewek aneh. Mana ada cowok yang akan naksir dia. Sudah galak, suka berkelahi dan kasar. Ampun, deh. Aku berani menjamin tak ada orang tua yang mau mengambilnya sebagai menantu. Tidak dalam sejuta tahun yang akan datang.
Aku sudah berada di gerbang sekolah. Kulihat mobil Papa berada tak jauh dari sana. Yang membuatku terkejut adalah gadis resek itu ada di kursi belakang mobil Papa. Aku menganga. Apa-apaan itu?
Segera saja kuhampiri mobil Papa sambil berteriak, "Ngapain cewek resek ini di mobil, Pa?!"
Papa—yang kutahu jarang sekali tersenyum pada siapa pun—berkata dengan nada semringah, "Dia kan tetangga kita, Ken. Tadi ibunya minta tolong buat sekalian bareng. Dia juga katanya peringkat satu terus, jadi kamu bisa belajar bareng sama dia!"
"Ih, nggak sudi!" tolakku mentah-mentah. "Mau ngapain kamu? Pulang sendiri sana!" Aku berkata ke arah Kinan yang hanya mengangkat bahu. Dasar penyihir! Mungkin karena itu dia bisa memikat Papa. Dasar nggak tahu malu!
"Ken, nggak sopan ngomong kayak gitu. Udah ayo masuk! Udah sore!" tegur Papa dengan tajam padaku, kemudian wajahnya berubah ramah ketika menatap Kinan. "Maaf ya, Kinan, anak Om emang suka kasar mulutnya."
"Nggak pa-pa, Om. Mungkin karena masih baru pindah," Kinan menjawab dengan nada lembut.
Ih, dasar penjilat! Aku memperagakan aksi muntah di hadapannya ketika Papa tidak melihat ke arahku.
"Makasih, ya, udah pengertian. Kalo gini, mau deh Om ambil kamu jadi mantu," Papa berseloroh, seraya mengedik ke arahku yang masuk ke mobil dengan rasa tak rela.
"Ah, Om. Bisa aja. Saya masih mau sekolah dulu, Om." Kinan mengelak dengan sopan, tetapi ketika Papa tak melihat dia menatapku seraya pura-pura muntah.
Sumpah demi Tuhan Yang Maha Esa, aku nggak sudi dijodohkan dengan cewek penjilat super duper resek ini! Nggak sudi!
Saat mobil Papa melenggang ke jalan raya, aku sudah tahu aku takkan pernah berhubungan dengan cewek ini. Meskipun dunia kiamat, aku takkan mau harus semobil dengan Kinandita resek itu lagi! Catat kata-kataku!