Prolog
Titik-titik lampu di kejauhan, hingga yang jaraknya hanya beberepa meter dari tempatku berdiri, terasa menyilaukan. Aku merapatkan kelopak mata. Ketika membukanya lagi, punggung yang tadi membelakangiku membalik setelah sekian lama. Hal pertama yang kemudian kutangkap adalah emblem Manchester United yang melekat pada jaket berbahan denim yang sejajar dengan tinggi kepalaku. Baru kusadari bahwa sejak tadi aku tidak berdiri lurus di hadapan laki-laki itu, melainkan menyerong menghadap dadanya yang sebelah kiri. Dekat dengan tempat di mana jantungnya berdenyut.
Aku ingin mendekat, tetapi selangkah yang kuambil ke depan akan ia tukar dengan dua langkah ke belakang. Sia-sia.
“Timur, aku juga nggak mau semua jadi seperti ini,” kataku lirih. Seandainya jalan kompleks tempat kami berada sekarang tidak sedang benar-benar sepi, suaraku tidak akan sampai ke telinganya.
Laki-laki itu, yang kupanggil Timur, menyelipkan jemarinya yang panjang-panjang di antara helai rambut gondrongnya yang luruh ke kening. Sebagian menghalangi sorot matanya. Ketika disisihkan, kini aku tahu bagaimana cara Timur menatapku. Gabungan antara marah, jijik, dan putus asa.
“Walaupun aku bahkan nggak tau apa yang sebenernya terjadi, kalau dengan aku minta maaf akan membuat kamu lebih baik, aku akan lakukan.”
Aku akan meminta maaf karena sudah tak hadir pada detik-detik terakhir kepergian seseorang yang dicintainya—orang yang juga kucintai sebanyak aku mencintai Timur itu sendiri. Aku akan meminta maaf karena telah membiarkannya berkubang dalam kesepian beberapa hari terakhir, telah mengatakan apa-apa yang tak tepat hanya karena tak sanggup menekan keingintahuanku sendiri.
Tak apa-apa, Timur. Aku belum lelah mencintaimu, dengan atau tanpa rahasia-rahasia itu. Kamu boleh terus menyimpannya. Kamu juga boleh membaginya denganku—hanya jika kamu mau dan siap.
Apa saja. Apa pun itu akan aku lakukan. Asal binar yang kutemukan diam-diam saat menyusun maket-maket untuk tugas akhir semesternya, saat ia menyuapkan bubur untuk ibunya yang terserang demam berdarah waktu itu, saat ia bersorak di depan televisi yang menyiarkan pertandingan Barclays Premier League, kembali.
“Kamu enggak akan mengerti luka dari kehilangan, Lis.”
Kamu salah, Timur. Dari semua orang, akulah yang paling tahu seperti apa luka dari kehilangan. Aku menyaksikan ibuku pergi dalam tidur panjangnya. Aku melihat dengan kedua mataku detik-detik ayahku dijebloskan ke dalam mobil polisi yang sirenenya seolah menulikan telinga. Dan, rasa sakit dari kehilangan yang kini kamu emban juga melubangi hatiku sama dalamnya.
Jika harus ada yang hilang sekali lagi, maka tak boleh kamu, Timur.
“Pergi,” ucap Timur parau. Kepalanya berpaling ke arah lain. Apa keberadaanku menyakitinya terlalu banyak? Apa terlalu sakit untuk sekadar menatapku?
Aku menggeleng. Tak akan ada perpisahan malam ini. Tak akan ada luka kehilangan baru yang harus kutanggung dan kubawa ke mana-mana tanpa tahu bagaimana cara memulihkannya.
“Melihat kamu cuma akan membuat aku tambah sakit, Kalis. Tolong, kali ini saja, kita buat semuanya jadi lebih mudah.”
Timur merunduk menggapai lututnya. Punggungnya yang melengkung dengan tulang-tulang bertonjolan membuatnya tampak ringkih. Barangkali karena rasa tak tega, atau karena aku memang mencintainya lebih dalam dari yang kukira, kuturuti juga kemauannya. Pada akhirnya, tak ada yang lebih kuinginkan dari melihatnya melanjutkan hidup dengan baik-baik saja.
Aku bersikeras menyusun kalimat selamat tinggal di dalam benak. Berniat memberikan akhir yang layak untuk diri kami berdua.
Namun, semuanya buyar ketika ia kembali menyugar rambut panjangnya yang mulai lengket oleh keringat. Aku teringat wangi samponya. Dulu, aku selalu menganggap rambut gondrong laki-laki sebagai sesuatu yang jarang tersentuh air, tempat bau-bauan tak sedap mengendap, dan pasukan ketombe berkumpul. Tapi, Timur berbeda.
Timur selalu berbeda.
Aku mendongak untuk bersitatap dengan bola lampu yang menggantung di tiang jalan. Sekelompok serangga malam mengerubungi sinar membutakan yang terpancar dari sana, tetapi meski membuat mataku perih, lampu itu masih terasa lebih mudah dihadapi daripada kelam di kedua mata Timur.
Aku menghela napas berat, yang sia-sia saja karena sesak di rongga dadaku tak mau tereduksi. Sejak malam itu, di mataku, segala sesuatu tentang malam, hitam aspal, langit kusam yang memayungi kami, derik jangkrik di balik rerimbunan tanaman liar di tepi jalan, akan selalu membawa kenangan sedih.
Aku mencengkeram kesepuluh jari, kurasakan keringat dingin menetes dari ujung-ujungnya. Untuk pertama kali, udara Surabaya yang lembap dan bertekanan rendah membuat tubuhku menggigil.
“Selamat tinggal, Tim.”
Aku melihat bayanganku yang jatuh di atas aspal berputar, lalu ketika mendongak, Timur sudah tak ada. Berganti jalan panjang yang berselaput kabut tipis. Ah, bukan Timur yang menghilang. Aku yang membalikkan badan lebih dulu, aku yang bergerak meninggalkannya. Tapi, kenyataan bahwa ia yang memintaku melakukannya, selamanya tak akan pernah berubah.
1. Secarik Alamat
Waktuku habis.
Satu hal mengenai waktu yang kutahu adalah, bahwa ia justru berlari terlalu cepat pada saat kita mati-matian ingin mempertahankannya. Aku menghitung satu menit terakhir melalui jarum jam yang berdetak konstan di lenganku. Masih ada sepuluh detik tersisa ketika seorang sipir datang mengingatkan hal yang juga sudah kuketahui.
“Mari, Pak, waktu kunjungnya sudah habis.”
Bapak sama tahunya denganku, juga dengan sipir yang menantinya di sebelah kursinya dengan tak sabar.
“Makan yang banyak, nggak usah mikir yang macem-macem.”
Aku menyaksikan punggung Bapak yang bergerak menjauh, didampingi seorang sipir dengan gerak-gerik serba protokoler. Mereka memasuki lorong yang diapit barisan kamar-kamar yang menyerupai tempat indekos. Derit besi yang menyayat telinga terdengar ketika sipir membuka gembok di salah satu kamar dengan pintu berupa baris-baris besi. Di sanalah Bapak tinggal selama beberapa hari terakhir.
Aku tak pernah benar-benar menengok kamar berpintu jeruji itu, tetapi dari pengacara Bapak, aku mendengar bahwa para tahanan harus saling berbagi tempat. Masing-masing diberi jatah selembar kasur busa, sebuah bantal bersarung seragam, dan sehelai selimut tipis. Kamar mandi untuk para tahanan menyatu di dalam kamar, disekat tembok tanpa pintu dengan satu WC duduk dan keran air yang tidak bisa disetel dalam mode hangat.
Kursi besi panjang yang tadi ditempati Bapak kini ditimpa selajur cahaya yang menyeruak dari jendela. Sore sudah turun, dan sipir penjaga berdeham terlalu keras untuk menyuruhku pulang.
Aku meluruskan belakang rokku yang kusut selagi berdiri. Lalu, keluar dari lorong-lorong yang menjadi bagian dari gedung tahanan ini. Di luar, aku melihat Pak Sadil—pengacara Bapak—sedang duduk di kursi besi yang sama persis seperti yang kutempati di dalam tadi. Dari caranya memandangi pintu keluar, yang seolah mengantisipasi kedatanganku, dan lambaian tangannya yang sarat urgensi, aku tahu ia sengaja menungguku.
Aku duduk di samping Pak Sadil dalam posisi menyerong sehingga kami berhadapan. Ujung sepatunya yang senantiasa mengilap bertemu dengan sepatu Converse-ku yang sudah seharusnya masuk laundry. Usia Pak Sadil hanya terpaut setahun dengan Bapak, tapi Pak Sadil memiliki ciri-ciri fisik yang membuat penuaannya seolah berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya; rambut tipis setengah botak, perut tambun, kacamata berlensa tebal, dan selera berpakaian yang tak berkembang sejak sepuluh tahun terakhir.
“Gimana, bapakmu baik-baik saja, kan? Kamu nggak perlu khawatir.”
Setiap kali bertemu, alih-alih membicarakan detail kasus yang sekarang menjerat Bapak—berapa nominal uang yang dituduhkan dalam kasus korupsi yang melilitnya dan siapa saja yang terlibat—Pak Sadil selalu lebih sibuk menenangkanku. Membesarkan hatiku dengan mengecilkan kasus Bapak. Yang aku tahu seluruhnya tak benar.
“Bapak udah dapet jadwal persidangan bapak saya?”
Pak Sadil memilah helai-helai kertas yang bertumpuk di dalam map plastik di pangkuannya. Kukira sidang perdana Bapak sudah terjadwal, Pak Sadil hanya sedang memastikan tanggal pada catatan kecil yang terselip di dalam map.
Tetapi, pada akhirnya gelengan penuh sesal adalah jawaban yang kuterima. “Kasus korupsi yang melibatkan bapak kamu ini rumit, Kalis. Penyidik KPK harus meng-cross check data dari banyak narasumber dan tidak semuanya mau kooperatif.”
Salah satu tersangka bahkan kabur ke luar negeri untuk menghindari panggilan pihak berwajib. Ketika penyidik KPK kemudian datang ke rumahnya untuk melakukan operasi tangkap tangan, mereka hanya menemukan ruang-ruang kosong dan pekerja rumah tangga yang ketakutan di balik pintu, mengaku tidak tahu apa-apa. Aku membaca berita itu tadi pagi di salah satu artikel di internet. Sejak Bapak resmi ditahan, aku jadi lebih sering membaca berita daripada berselancar di media sosial.
“Ah, iya, saya hampir lupa.” Pak Sadil berdecak. Ditariknya ritsleting tas yang ia sandarkan di kaki kursi. Dikeluarkannya kotak Tupperware indigo yang kemudian diserahkan padaku. “Tadi istri saya nitipin ini buat kamu.”
Tupperware itu tidak berat karena ketika tutupnya kubongkar hanya terdapat dua lembar roti lapis berselaput mayones berlebih. Sebagian bahkan menggenang di dasar kotak saking banyaknya. Aku tidak sedang lapar, tetapi tahu-tahu saja produksi liur di dalam mulutku mengalami percepatan gila-gilaan. Ah, apalah artinya makan siang dengan nasi dan telur dadar kebanyakan garam dan kecap manis dibandingkan roti lapis gemuk yang disedekahkan cuma-cuma begini.
Aku tergesa-gesa melepas ucapan terima kasih. Menggunakan sehelai tisu yang selalu tersedia di saku kemeja untuk mengambil sepotong roti. Rasanya masih seenak terakhir kali aku menyantap kudapan yang sama dari Bude Ratna—istri Pak Sadil. Ceritanya terlalu rumit untuk kututurkan sembari makan. Tapi, singkatnya, sewaktu muda, Pak Sadil, Bude Ratna, dan Bapak adalah mahasiswa di kampus dan fakultas yang sama. Pak Sadil memulai studi satu tahun lebih awal daripada Bude Ratna dan Bapak tetapi ketiganya lulus bersamaan.
Aku tidak tahu bagaimana persisnya jalinan persahabatan mereka, yang jelas ketiganya masih cukup dekat hingga berpuluh tahun kemudian. Kedekatan yang membawa mereka rutin mengunjungi rumah satu sama lain pada libur-libur panjang, saling berdiskusi mengenai pendidikan anak masing-masing, hingga puncaknya Pak Sadil mendampingi Bapak menghadapi kasus pidana pertamanya ini.
Aku mengerang lirih tiap kali merasakan tekstur salmon yang matang sempurna, atau lelehan mayones yang berpadu dengan daun bawang, juga sentuhan lada yang menimbulkan rasa terbakar di mulut. Semenjak dua minggu terakhir rutin mengonsumsi telur ceplok dan tempe goreng tepung yang berminyak, roti lapis dari Bude Ratna tiba-tiba saja sebanding dengan menu restoran bintang lima.
Dua potong roti lapis asap salmon itu amblas ke perutku dalam waktu singkat. Aku menutup mulut dengan punggung tangan, menyembunyikan serdawa kecil. Pak Sadil dengan setia menungguiku selesai makan sambil menyibukkan diri membaca berkas-berkas. Ada setitik haru yang menyebar dan membesar begitu saja di hatiku.
“Udah selesai makannya?” Pak Sadil mengintip kotak di pangkuanku yang tinggal menyisakan jejak-jejak mayones dan serpihan daun bawang di bagian dasar.
Aku mengangguk sambil memberi pujian setulus hati.
“Ya sudah, sini masukkan ke keresek lagi Tupperware-nya.”
Nyatanya, Pak Sadil tidak menungguiku, ia menunggu Tupperware yang kugunakan untuk alas makan.
“Biar saya bawa pulang buat dicuci dulu, Pak.”
Aku tahu dia akan menolak. “Enggak, enggak. Saya nggak mau tiba-tiba dicemberutin cuma gara-gara Tupperware hilang.”
Sambil tersenyum geli, aku mengembalikan Tupperware yang sudah kukemasi ke dalam kantong plastik. Pak Sadil menyimpannya di dalam tas hitam dengan ritsleting yang sejak tadi dibiarkan membuka. Kuulangi lagi kata terima kasih, kali ini sambil menitipkan seuntai juga untuk Bude Ratna; wanita anggun yang selalu terlihat lebih muda dari usianya.
Saat kukira kami sudah selesai, Pak Sadil tiba-tiba menyodoriku secarik catatan yang kuterima dengan dahi berkerut. Tidak ada tanggal seperti yang kuminta sebelumnya, hanya ada selarik tulisan dengan tinta biru yang segera saja kuasumsikan sebagai alamat. Asing.
“Ini alamat siapa, Pak?”
“Teman lama Bapak kamu.” Air muka Pak Sadil berubah keruh. “Jadi, Kalis, rumahnya Agung, rumah kalian, akan disita KPK. Kamu punya waktu sampai lusa untuk berkemas. Selanjutnya kamu bisa tinggal sementara di alamat itu. Lestari akan menerima kamu,” lanjut Pak Sadil dengan nada berat. Sama beratnya denganku yang sedang berusaha mencerna informasi tersebut. Kata ‘mencerna’ pun rasanya terlalu muluk. Bahkan untuk sekadar memasukkannya ke kepala saja rasanya sudah teramat sulit.
Aku meraih tepi kursi yang terasa dingin untuk dicengkeram keras-keras. “Disita? Bapak baru tersangka yang bahkan belum diadili, mana bisa main sita-sita begitu?”
“KPK berhak menyita aset-aset yang disinyalir sebagai hasil tindak pidana, Lis.”
Aku menolak mati-matian penjelasan tersebut. Jika tadi otakku bergerak selambat siput sampai kesulitan memahami penjelasan dari Pak Sadil, kini organ tubuh satu itu bekerja gila-gilaan, seperti pelari sprint yang memacu dirinya hingga melewati batas kekuatan. Hasilnya ia justru kelelahan sampai nyaris tak bisa berfungsi lagi.
“Berita acaranya sampai di tangan saya kemarin sore. Saya rasa memberi tahu kamu secepatnya adalah pilihan terbaik.”
Aku menelengkan kepala ke arah dinding kaca yang disemati logo KPK besar-besar. Memandang lemah meja informasi yang tampak dingin, lalu merambati lorong tempat orang-orang berbusana necis berlalu lalang tak putus-putus. Aku berharap bisa melihat lebih jauh, ke kamar para tahanan, melongok ke dalam salah satu pintu berjeruji yang menyembunyikan Bapak dari dunia luar. Meneriakkan bahwa rumah kami, tempatku tumbuh dan dibesarkan, tempat yang memerangkap kenangan bersama Ibu, akan disita.
Aku mengais berbagai penyangkalan. “Rumah itu udah ada dari saya kecil, Pak.”
Jauh sebelum Bapak terlilit skandal korupsi apa pun. Sedetik kemudian argumen itu pun patah oleh kesadaranku sendiri. Sebulan sebelum Bapak digelandang ke kantor KPK, rumah kami direnovasi besar-besaran, atap kerucutnya ditinggikan, dinding-dinding kusam dilapisi kertas baru. Sofa-sofa lusuh diangkut mobil bak terbuka, dibawa entah ke mana. Sebagai gantinya, seperangkat perabotan baru yang berkilat dan masih berlapis plastik didatangkan dari toko mebel ternama di tengah kota.
Baru tadi pagi aku berniat untuk menjual TV layar datar di ruang tengah yang baru berusia dua bulan, untuk kuganti dengan TV yang lebih kecil dan lebih murah, demi memastikan stok beras dan telur ayamku untuk sebulan ke depan aman terkendali. Kini, aku bahkan khawatir TV tersebut tidak sepenuhnya harta benda kami. Ah, pantas saja gambar di dalamnya seringkali berbintik-bintik hitam seperti dirayapi sepasukan semut bahkan saat cuaca sedang bagus-bagusnya. Aku menyesal telah membuang-buang tenaga untuk memutar-mutar tiang antena; sejak awal benda elektronik tersebut memang tidak berkah.
“Bapak saya sudah tahu?”
“Sudah. Tadi pagi, saya kasih tahu Agung. Alamat ini juga saya dapat dari dia, Bapak kamu sendiri yang memilihkan di mana kamu akan tinggal untuk sementara.”
Kertas berisi alamat itu melembap di tanganku. Aku memandang Pak Sadil dengan cara paling sedih yang kubisa. Pada satu titik paling tersembunyi di hatiku, aku berharap ialah yang akan mengulurkan tangan, yang membukakan pintu rumahnya untukku. Jika memang aku harus menumpang di rumah orang lain, setidak-tidaknya aku ingin berada di tempat di mana aku tidak akan menjadi alien yang tersesat.
“Maaf, Kalis.”
Aku mendengar Pak Sadil berpamitan. Kubiarkan teman lama ayahku itu berlalu ke tempat parkir. Bantuan yang ia berikan untukku dan Bapak memang sudah terlalu banyak.
Kertas yang sudah kusut di tepi-tepinya rebah di telapak tanganku, kupandangi lekat-lekat selepas kepergian Pak Sadil. Sebagian tintanya meleleh oleh bercak keringat tetapi masih terbaca dengan baik. Lama-lama mataku terasa pedih, tapi tetap tidak ada air mata yang mau menitik. Hidupku yang menyedihkan terasa makin menyedihkan ketika aku bahkan tidak bisa menangisinya.