Bukan sesuatu yang mengherankan bagi Adam ketika menemukan gerbang sekolahnya telah terkunci rapat. Datang terlambat memang sudah menjadi kebiasaan barunya selama setahun terakhir ini. Alasan jarak rumah yang cukup jauh menjadi tameng ampuhnya untuk berkilah pada guru piket.
Namun kali ini, Adam enggan menerima konsekuensi dari perbuatannya. Hukuman menyapu halaman depan sekolah yang menjadi tugas langganannya terasa begitu malas ia lakukan. Tebersit ide lain dalam kepalanya untuk menghindari hukuman itu.
Baru saja ia membalikkan badan untuk beranjak pergi, nyaris saja Adam ditabrak oleh seorang siswa perempuan yang berlari cukup kencang menuju gerbang sekolah. Siswa perempuan itu mengguncang-guncang teralis besi gerbang sekolah seolah-olah gembok gerbang dapat terbuka dengan cara seperti itu.
Melihat bagian belakang siswa perempuan tersebut, Adam merasa familier dengan sosoknya. Tubuh mungil dan rambut pendek sebahu serta ransel biru toska yang menggelayuti punggungnya memunculkan satu nama dalam benak Adam.
“Heh, Deanna!” panggil Adam.
Mendengar namanya dipanggil, siswa perempuan itu membalikkan badan. Dengan mata sipitnya, gadis itu menatap Adam cukup lama.
“Aish!” Kedua kaki gadis berwajah oriental itu dientakkan ke tanah. “Berarti gue beneran telat!”
Adam mengerutkan dahi tak mengerti. “Maksud lo?”
“Kalau gue udah ketemu lo, itu berarti gue telat. Lo kan tolok ukur siswa terlambat.” Deanna melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Adam sinis.
Adam menghela napas berat. Gaya bicara gadis yang satu ini memang terkenal asal ceplos, bahkan sedikit sinis meski nada bicaranya tidak tinggi. Adam sudah terbiasa dengan itu setelah satu setengah tahun menjadi teman sekelasnya.
“Jadi,” Deanna kembali menatap gerbang sekolah dengan nanar, “kita bakal diam di sini sampai kapan? Sampai sore?”
Gadis ini memang belum berpengalaman datang terlambat. Mana mungkin siswa yang terlambat dibiarkan menunggu di depan gerbang sampai jam pulang sekolah nanti sore. Setidaknya mereka akan mendapatkan apresiasi dengan diperbolehkan masuk karena sudah berusaha tetap datang ke sekolah, meski pada akhirnya akan mendapatkan jackpot tak terduga, yakni hukuman.
“Kita masuk lewat jalan belakang aja,” kata Adam bersiap mengambil langkah untuk pergi.
Deanna hanya berdiri mematung, tidak mengerti ucapan Adam.
“Mau ikut nggak?” Adam menoleh lagi.
Tanpa pikir panjang, Deanna langsung mengikuti Adam.
*
Mulut Deanna menganga cukup lebar ketika melihat Adam memanjat pagar belakang sekolah dengan mudah. Tinggi pagar belakang sekolah memang tidak setinggi gerbang depan sekolah, namun tetap saja ini membuat Deanna terperangah.
“Nah, sekarang lemparin tas lo!” suruh Adam dari balik pagar.
Deanna tidak langsung menuruti perkataan Adam. “Heh! Lo pikir gue cewek apaan? Pakai rok gini disuruh loncat pagar!” omelnya seraya memandangi pagar belakang sekolah yang menurutnya memiliki ketinggian dua kali lipat tinggi badannya.
“Siapa juga yang suruh lo loncat? Gue cuma suruh lo buat ngelemparin tas lo. Biar gue tangkap dari dalam,” Adam menjelaskan, berusaha untuk tetap menstabilkan emosinya.
“Jadi tas gue doang, nih, yang selamat? Terus, gue gimana?”
Adam menarik napas panjang. “Gue bilang lemparin dulu tas lo!” teriaknya.
Mendengar suara Adam yang mulai meninggi, Deanna agak terkejut dan langsung terdiam. Tanpa banyak omong lagi, Deanna bersiap mengambil kuda-kuda untuk melemparkan ransel biru toskanya. Setelah Adam berhasil menangkap ransel Deanna, tangannya menunjuk ke arah kanan dari tempat Deanna berdiri. “Di balik semak-semak itu ada lubang kecil yang nembus pagar. Karena badan lo kecil, mungkin bisa muat.” Tanpa banyak komplain, Deanna menuruti apa yang Adam suruhkan.
Benar saja, tubuh mungil Deanna memang pas melewati lubang yang dibilang Adam. Ia berhasil masuk ke lingkungan sekolah.
“Wah, gue nggak nyangka bisa ngelakuin ini.” Deanna takjub dengan apa yang baru saja dilakukannya.
Adam melemparkan kembali ransel biru toska milik Deanna. Untung saja gadis itu cepat menangkap. Jika tidak, wajahnya pasti sudah dihantam ranselnya sendiri yang cukup berat.
“Heh, kasar banget sih lo!” Deanna mengomel lagi.
Adam berbalik dan meninggalkannya. Deanna berusaha mengejar langkah Adam. Namun tiba-tiba langkah Adam berhenti dan nyaris saja wajah Deanna menabrak punggungnya.
Kepala Deanna mengintip dari balik punggung Adam untuk melihat keadaan di depan temannya itu. Mulut dan matanya sama-sama terbuka lebar. Sesosok pria bertubuh tambun dan berkumis lebat sedang berdiri satu meter di hadapan Adam. Pak Johan, guru olahraga mereka sekaligus guru BP SMA Dahuri Krana, menatap mereka tajam.
“Kalian berdua, ikut saya!” suruh Pak Johan.
*
Upacara bendera telah selesai sejak sepuluh menit yang lalu, namun barisan para siswa belum dapat dibubarkan. Pak Julian, kepala sekolah SMA Dahuri Krana, terus mencerocos penuh semangat dari balik microphone-nya sembari mengangkat-angkat piala yang terus ia elu-elukan. Pak Julian tak memedulikan para siswanya yang telah kelelahan dan kehausan. Di atas podium, ia menjelaskan bahwa SMA Dahuri Krana telah berhasil menyabet Juara 1 Lomba Pidato Bahasa Inggris.
“Dan marilah kita sambut siswa berprestasi yang telah menyumbangkan satu lagi piala bagi sekolah kita, Erika Paramitha Maeda!”
Tepuk tangan dan sorak-sorai membahana, namun sepertinya panggilan Pak Julian dan keriuhan lapangan belum juga menyadarkan Erika. Sedari tadi perhatian Erika terpaku pada barisan paling eye catching di sebelah podium: barisan para siswa yang melanggar peraturan. Bukan karena iseng atau sedang memandang rendah mereka, melainkan karena memperhatikan salah satu siswa yang wajahnya paling ia kenal.
“Erika, maju sana!” Hingga pada akhirnya, salah satu teman sekelasnya mendorongnya keluar dari barisan.
Erika mulanya terbengong-bengong. Tetapi ketika dirinya sudah ada di tengah lapangan, itu ditutupinya dengan langkah mantap menuju podium lapangan upacara. Sebelum menerima piala yang diserahkan oleh Pak Julian, Erika menyempatkan diri sejenak melirik barisan para pelanggar yang letaknya tak jauh dari podium. Erik, saudara kembarnya, berada di situ.
“Selamat, Erika!” Pak Julian menyalami Erika.
“Terima kasih, Pak!” balas Erika dengan senyum merekah. Lagi-lagi matanya melirik kepada Erik yang sama sekali tidak balas meliriknya. Tatapan Erik terus tertuju ke depan tanpa menoleh ke arah saudara kembarnya itu. Sebisa mungkin juga, Erika terus menebar senyum, berusaha tidak memedulikan Erik.
*
Dengan waktu tak lebih dari setengah jam, Adam dan Deanna selesai menyapu halaman depan sekolah. Napas mereka tersengal. Keringat bercucuran dan rasa haus yang terus mendera kerongkongan membuat kedua siswa itu kelelahan sejenak.
“Hah! Nggak lagi-lagi deh gue telat,” celetuk Deanna sembari melakukan peregangan tubuh. “Gue nggak habis pikir, kok lo seneng banget sih telat? Apa nggak bosen tiap hari dapat hukuman kayak gini?” Deanna membanting sapu lidi ke tanah, lalu melirik sinis pada Adam yang berjongkok di tanah. “Dari kelas satu sampai kelas dua, loh, Dam. Masih nggak ada perubahan aja lo.”
Adam menghela napas. Tubuhnya sudah dibanjiri keringat karena hukuman ini. Ditambah lagi sekarang ia harus mendengarkan ocehan teman sekelasnya. Ia sudah terlalu lelah untuk membalas apalagi melawan.
“Ya udah, gue duluan!” Deanna mulai melangkah pergi, meninggalkan Adam yang masih beristirahat sendirian.
Selepas kepergian Deanna, mata Adam menangkap sesosok siswa laki-laki yang berjalan ke arahnya sambil menenteng sapu lidi di tangan kanan. Adam gegas tersadar siapa siswa tersebut, mengingat siswa itu menempati satu rongga khusus di benak Adam. Erik, si penguasa kelas.
Erik berjalan mendekati Adam. Dilemparkannya sapu lidi yang tadi digenggamnya ke tanah. Tanpa izin, tangan kanan Erik tahu-tahu telah merangkul bahu kanan Adam.
“Lo ada di sini juga?” tanya Erik berbasa-basi. “Senangnya ada teman dihukum. Kita itu kan sekelas dan harus saling menolong. Gimana kalau lo bantuin gue menyelesaikan hukuman gue?”
Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Adam. Ia sudah memprediksi ke mana pembicaraan Erik akan bermuara. Sebenarnya ini bukan tawaran atau permintaan, melainkan cenderung ke sebuah paksaan. Itu terbukti saat rangkulan Erik di bahunya terus mengerat.
“Sori.” Tanpa diduga, Adam menyingkirkan tangan kanan Erik dari bahu kanannya. “Gue udah selesai.” Tanpa memedulikan reaksi Erik, Adam melangkah pergi.
Melihat mangsanya pergi tanpa memberinya keuntungan apa pun, amarah Erik sontak terpancing. Ditendangnya sapu lidi yang tadi ia banting ke tanah. “Awas lo!” ancam Erik, kedua tangannya terkepal tak menerima pemberontakan kecil Adam.