PROLOG
Siang itu di kedai es krim yang hanya berjarak beberapa meter dari sekolah. Carissa duduk sembari memegang cone es krim rasa cokelat di tangan kanannya. Di hadapannya ada Kaiden. Sahabat laki-laki yang sedari kecil menemaninya. Carissa dan Kaiden sudah saling mengenal bahkan saat mereka masih berada di dalam kandungan ibu masing-masing.
Semua tentang Carissa pasti Kaiden tahu. Begitu pula dengan semua kartu As Kaiden, gadis itu mengetahuinya. Di mana ada Carissa, pasti di situ ada Kaiden dan sebaliknya. Ibu mereka berdua bahkan sedari dulu ingin menjodohkan keduanya. Kenapa? Karena ibu Carissa dan Kaiden juga bersahabat dari kecil.
Kedua wanita itu seperti mempunyai obsesi untuk menikahkan anak-anak mereka agar hubungan mereka dari hanya sahabat naik kasta menjadi besan. Such a cliche, but well yeah ... yang seperti itu, memang ada. Ibu Carissa dan Kaiden contoh nyatanya.
Lalu, bagaimana dengan Carissa dan Kaiden sendiri? Apa mereka berdua pacaran?
Sayangnya, pemirsa harus kecewa. Carissa dan Kaiden terlalu mengenal satu sama lain. Ibarat kalau perempuan lain mengenal Kaiden hanya dari kulit luarnya. Tampan, keren dan menggemaskan. Kaiden hanya perlu menampilkan senyum miringnya lalu semua siswi akan lemah tak berdaya dibuatnya.
Terkecuali Carissa ya, catat!
Jika yang lain ingin mengelus rahang tegas dan wajah tampan milik Kaiden, Carissa malah tak sungkan menempeleng lelaki itu ketika dengan seenak jidat Kaiden mengelap ingusnya di lengan baju seragam Carissa.
Intinya, Carissa dan Kaiden hanya teman dekat, sahabat. Tidak lebih. Kinda sweet but full of shit!
Seperti siang ini, kala matahari sedang terik-teriknya, kepala Carissa pun terasa panas karena Kaiden lagi-lagi memanfaatkannya. “Eh, curut!” serunya.
Kaiden yang berada di depannya pun mengangkat wajahnya, lalu menyahut, “Apaan!”
Nah, jadi si Curut ini Kaiden. Bukan Kai si tampan, kapten tim Futsal kebanggaan sekolah mereka. Tapi jangan salah! Hanya Carissa yang boleh memanggil Kaiden dengan panggilan “Curut”.
“Pokoknya ini yang terakhir kali gue bantuin lo putus sama pacar lo, yak!” Tegas Carissa sembari terus menjilat es krim cokelat yang dibelikan oleh Kaiden. Imbalan karena gadis itu sudah berperan dengan sangat baik menjadi pacar pura-pura lelaki itu dalam drama Kaiden dan pacar—entah keberapanya.
Carissa dengan mulut pedasnya yang memang spesial itu, selalu sukses membuat pacar-pacar Kaiden turun jabatan menjadi mantan pacar.
“Iya, bawel!” balas Kaiden.
Jika Carissa senang memakan es krim menggunakan cone, maka Kaiden senang memakai cup. Carissa suka rasa coklat, sedang Kaiden rasa vanila. Carissa senang minum air putih, sedang Kaiden senang minum Cola. Jadi, saat ini sudah ada satu gelas air putih dingin dan satu botol Cola dingin di atas meja mereka.
“Eh, tapi, Riss,” Kaiden menatap Carissa lekat. “Kalau nanti gue nggak nemu-nemu cewek yang cocok sama gue, terus lo juga nggak nemu-nemu cowok yang cocok sama lo, kita nikah aja, yuk?” Ajak Kaiden yang sukses membuat Carissa menghentikan jilatan pada es krim cokelatnya.
***
Part 1 – Ritual Pagi
Saat hanya melihat senyuman dan mendengar suaranya
Membuat dunia seakan berwarna.
Dan, aku bahagia, menatapnya dalam keheningan.
—Kaiden Putra Syahreza, Sweetshit, 2020—
***
“Morning!” Sapa Kaiden kala Carissa membuka pintu apartemennya dengan wajah bantal yang terpampang nyata. Carissa memutar kedua matanya dengan tampang malas. Lalu menguap kecil dan membalik tubuhnya begitu saja tanpa membalas sapaan pria yang notabene adalah sahabatnya. Dengan langkah terseret, dia memasuki apartemennya.
“Ini baru jam enam pagi, Kai,” keluh gadis itu setelah melihat jam dinding. Dia menguap lagi, kali ini lebih lebar. Dikuceknya kedua matanya lalu direbahkan kembali tubuhnya di sofa panjang diruang tamu apartemen.
“Lo emang nggak kerja?” Tanya Kaiden yang tanpa perlu dipersilakan sudah masuk ke area dapur.
“Kerja,” balas Carissa.
Gadis itu membuka mata. Memerhatikan Kaiden yang sudah tiga hari ini tidak ditemui karena perjalanan dinasnya bersama Helga ke Bali. Kaiden masih mengenakan baju tidur. Sebuah kaus pada badan berwarna putih dengan training berwarna abu-abu dengan tulisan ‘Just do it!’ yang memanjang ke bawah di sisi celananya. Tato tribal yang menjadi penghias di tangan kirinya menjadi daya tarik tersendiri di setiap pria itu menggerakan tangannya. Terlihat begitu seksi bagi penyuka pria bertato seperti Carissa.
Kaiden memulai ritual paginya di dapur apartemen milik Carissa. Pria itu menaruh kotak kopinya di atas meja dapur. Mengambil ketel air dari meja counter lalu mengisinya dengan air dispenser. Setelah itu dia akan menyalakan kompor gas lalu memasak air itu hingga mendidih.
Sementara itu, sembari menunggu air mendidih, Kaiden akan menyiapan ketel lainnya. Ketel transparan yang diatasnya sudah dilapisi kertas penyaring kopi. Pria itu lalu menuang kopi bubuk pada kertas kopi itu.
“Lo pulang kapan sih dari dinas ke Bali kemarin?” Tanyanya sembari mengecek air yang dimasaknya.
“Semalam,” jawab Carissa pendek. Tetap memerhatikan Kaiden dengan kegiatannya.
Setelah air mendidih, Kaiden akan memindahkan air yang telah mendidih itu pada ketel lain. Lalu mengukur rasio air juga kopi yang akan diseduh. Dia juga akan mengukur tekanan suhunya menggunakan termometer terlebih dahulu. Apakah sudah sesuai dengan suhu panas yang diinginnya untuk menyeduh kopi. Biasanya pria itu akan menunggu beberapa saat sebelum akhirnya menyeduh bubuk kopi yang sudah disiapkannya dengan metode manual atau V60.
Bagaimana Carissa bisa menghafal semua urutan membuat kopi yang Kaiden lakukan? Well, dear ... apartemen mereka bersebelahan. Lebih dari lima tahun pria itu melakukan hal tersebut di depan Carissa. Di dapur miliknya. Lebih dari lima tahun, pria itu selalu mampir ke apartemen Carissa untuk membuat kopi untuknya dan untuk Carissa.
Carissa hafal betul urutannya.
Ada kalanya beberapa hari dalam seminggu mungkin Kaiden tidak melakukan ritual paginya di apartemen Carissa. Pertama jika saat Carissa tidak berada di apartemennya. Dinas luar kota atau saat berlibur. Kedua, jika Kaiden sedang tidur bersama pasangan one night stand-nya atau perempuan yang mungkin sedang menyandang gelar menjadi kekasih satu atau dua minggunya.
Yeah, Kaiden sama seperti pria-pria berengsek lainnya yang senang tidur dengan pasangan mereka. Kalau dilihat dari umurnya yang sudah memasuki awal kepala tiga, seharusnya pria itu sudah pantas memiliki pasangan hidup. Sayangnya, si Curut ini masih saja senang celup sana celup sini. Bodohnya, para wanita itu tetap saja mau hanya dijadikan teh celup sekali pakai oleh Kaiden yang notabene pecinta kopi bukan teh.
Aroma khas kopi yang diseduh mulai tercium di seluruh sudut apartemennya. Membuat gadis yang kini sudah duduk bersandar di sofa yang didudukinya, memejamkan kedua mata. Menyelami aromanya. Selain es krim cokelat, Carissa juga suka kopi. Aroma kopi begitu menenangkan, seakan membuat beban pikirannya berkurang.
“Lo nggak ada niatan mau cuti apa?” Tanya Kaiden dengan vokal yang semakin mendekat. Carissa membuka kedua mata dan ternyata sosok jangkung itu sudah berdiri di hadapan. Dua cangkir kopi berada di kedua tangannya.
“Lo baru pulang dari Bali semalam, terus udah mau kerja lagi. Memang, badannya nggak cape?” Tanyanya seraya menyerahkan cangkir kopi untuk Carissa.
“Nggak bisa, Kai,” jawabnya.
“Kenapa?” Pria itu duduk disamping Carissa. Di sofa panjang.
“Amandha sama Adelia sudah mau lahiran. Mereka sudah ambil cuti melahirkan tiga bulan. Helga lagi honeymoon sama lakinya. Jadi, tinggal gue sama Winda,” jelasnya.
Kaiden mengangguk-anggukan kepala. Tatapannya lalu terpaku pada Carissa yang mulai mendekatkan cangkir kopi ke wajahnya. Wanita itu memejamkan kedua mata sembari menghirup aroma kopi dari cangkir yang Kaiden buatkan untuknya.
Sebuah pemandangan yang membuat hati Kaiden terasa hangat sekaligus bangga. Dia senang jika orang lain menghargai hasil kopi buatannya. Seperti ekspresi Carissa yang terlihat begitu tulus setiap menerima kopi yang dia buat.
“Perfect!” Puji Carissa setelah menyesap kopi hitam yang Kaiden buat untuknya.
Kaiden mengangkat dagu. Satu alisnya naik. Dengan wajah pongah dia berkata, “Tiga puluh satu tahun kurang satu bulan gue jadi teman lo, Riss. Ya kali gue nggak tahu selera lo,” jawabnya penuh percaya diri. “Hot long black with one tea spoon of brown sugar, right?” tebaknya pasti.
Membuat Carissa mengangguk, lalu seulas senyum merekah di wajahnya.
Apa yang Kaiden ucapkan memang benar. Mereka menjadi sahabat sejak kecil. Hampir tiga puluh satu tahun. Mereka lahir di tahun yang sama, tapi Carissa satu bulan lebih awal menghirup udara bumi. Kaiden lahir satu bulan setelahnya.
Mereka sudah saling mengenal sedari popok masih menempel ditubuh mereka. Foto mereka yang sedang berebut mainan saat balita masih menempel di meja rias kamar Carissa. Siapa sangka, mereka yang tadinya ingusan dan menjadi rival dalam perebutan mainan dan makanan malah menjadi sahabat.
Apa sih yang Kaiden tidak tahu mengenai hidup Carissa? Bahkan saat Carissa patah hati untuk pertama kali pun, pria itu orang pertama yang dia beri tahu dan menjadi sandarannya saat menangis. Esoknya beredar kabar, Kaiden baku hantam dengan pria yang membuat Carissa menangis. Membuat Carissa panik karena lebam di wajah Kaiden lumayan banyak.
Pria itu juga yang menjaga Carissa saat dia hancur dan ingin mati saja. Kali ini bukan karena pria, tapi karena kedua orang tuanya yang memutuskan untuk bercerai. Entah kenapa rumah yang tadinya nyaman menjadi seperti neraka. Ayahnya selalu saja marah dan melakukan kekerasakan kepada ibunya, padahal ibunya sedang hamil besar saat itu. Bahkan saat ibunya hampir meregang nyawa karena melahirkan adiknya pun, ayahnya tidak menemani mereka di rumah sakit. Keluarga Kaiden yang malah mendampingi mereka.
Carissa begitu membenci sosok ayahnya yang ternyata tergoda dengan wanita lain. Wanita yang katanya cinta pertamanya semasa masa sekolah dulu. Mereka bertemu lagi di pesta reuni sekolah setelah dua puluh tahun tidak bertemu. Sang ayah seperti lupa dengan keluarga serta istrinya yang sedang hamil besar. Ayahnya lebih memilih wanita lain dibanding keluarganya sendiri.
Setelah itu, sikap ketus dan mulut pedas Carissa semakin menjadi-jadi, dan Kaiden mengerti apa yang membuat Carissa menjadi sosok seperti itu.
“Kapan lo cuti? Temenin gue survey lokasi kafe baru gue,” ucap Kaiden sembari merapikan anak rambut Carissa yang sedikit berantakan di keningnya.
“Belum tahu.” Carissa merengut. “Maaf, Kai,” ucapnya sembari memberikan tampang puppy eyes yang tentu saja membuat Kaiden tak mungkin kecewa dengan penolakan yang Carissa lakukan.
“Nggak usah sok imut gitu di depan gue, sih! Geli gue lihatnya,” kilahnya sembari mendorong kening wanita itu sedikit keras.
Bohong. Kaiden bukannya geli, melainkan hatinya berdebar setiap Carissa menampilkan ekspresi itu di hadapannya. Entah kapan debaran itu datang, tetapi Kaiden sadar mulai ada sesuatu yang salah di hatinya.
“Iiihh, Kai!” Pekik Carissa. “Lo jadi cowok nggak ada lembut-lembutnya sih sama cewek,” protesnya.
“Sorry, buat gue, lo bukan cewek tapi temen main. Ngapain gue lembut sama anak yang dulu suka main layangan sama gue? Terus manjat mirip monyet ke pohon rambutan.” Kaiden melirik Carissa dengan tampang menyebalkan. “Cewek itu main rumah-rumahan, bukan main gundu!”
Setelah itu, tanpa sungkan Carissa menempeleng kepala Kaiden sekuat tenaga. Membuat pria itu mengumpat, tetapi Carissa tak perduli.
“Lo mau macaroni panggang, nggak?” Wanita itu malah bangkit dari duduknya lalu berjalan melangkah ke arah dapur.
“Lo mau buatin?” Kaiden malah balik bertanya. Walau begitu pria itu mengekori Carissa menuju dapur.
“Iya,” Carissa mengangguk. “Lo mau, nggak?”
“Mau lah!” Seru Kaiden dengan kedua mata berbinar penuh semangat. Sudah tiga hari ini dia tidak memakan masakan buatan Carissa. Lidahnya terasa aneh. Seperti saat pria itu pertama kali berhenti merokok, terasa aneh dan salah. Itu pula yang ia rasakan tiga hari ini. Setiap pagi ritual mereka biasanya memang seperti ini, Kaiden membuatkan kopi untuk Carissa dan wanita itu akan membuatkan sarapan untuknya.
Setelah itu, Kaiden akan mampu menjalani harinya. Setelah melihat wajah Carissa yang tersenyum, memakan masakan simpel yang dibuatnya, juga mendengar umpatan recehnya. Seperti ini contohnya, “Kai, Kai, makanya kalau punya cewek jangan cuma buat dicelup doang, dong! Cari yang mau masakin sarapan buat lo. Jadi, setiap hari lo nggak numpang sarapan di apartemen gue. Ini gimana gue mau punya pacar kalau tiap pagi gue disamperin penjahat kelamin kayak lo?” Ucapnya dengan sarkas, tetapi Kaiden tak ambil pusing. Toh, lihat! Walau mulut wanita itu seperti peluit tukang parkir yang berisik, tetapi tangannya tetap bekerja untuk membuatkan sarapan untuknya.
Carissa yang terkesan pahit karena ucapannya, sesungguhnya manis. Ibarat satu cangkir kopi. Carissa adalah kopi hitam, pekat dan murni tanpa tambahan rasa. Biasa kita sebut long black atau americano. Biasanya kopi hitam akan terasa pahit saat pertama kali menyentuh lidah. Apalagi jika kopi yang disajikan panas. Mungkin sedikit akan membakar lidah dan bahkan membuat mati rasa.
Namun jika dinikmati dengan benar, sesungguhnya kopi hitam adalah juaranya. Rasa yang ditawarkan murni. Membuat kita menikmati rasa yang sesungguhnya dari biji kopi yang digiling. Terasa pahit saat disesap di ujung lidah, tetapi perlahan ... rasa pahit itu berubah manis dan memenuhi seluruh indra perasa. Seperti Carissa, dia wanita termurni yang pernah Kaiden temui di hidupnya. Dan Kaiden akan terus berada di sisi Carissa, selamanya. Seperti janjinya saat melihat wanita itu tersakiti untuk pertama kalinya dulu. Dia membenci saat Carissa menangis dan bibir itu merengek pilu. Lebih baik seperti ini, Carissa yang memarahi dan menasehati dengan kata-kata sinisnya. Kaiden, menyukainya.
***