cover landing

Marriage With Dosen

By indrianisonaris


Prolog

 

“Kenapa kau mau menerima perjodohan ini?” tanya wanita yang berdiri di depan meja pada pria tampan yang duduk dengan angkuh di seberangnya.

“Karena aku merasa harus menerimanya,” jawab pria itu enteng.

“Bisakah memberi alasan yang lebih logis?” tanya wanita itu mendelik tajam.

“Kurang masuk akal apa lagi jawabanku? Aku tidak memiliki alasan apa pun, aku hanya ingin saja.”

“Tapi kenapa?” Wanita itu tampak emosi.

“Karena saya mau.” Jawaban sang pria sudah pastilah membuat sang wanita tersulut emosi hingga ke ubun-ubun.

“Batalkan perjodohan ini, saya tidak mau menikah dengan Bapak!” desisnya tajam.

“Saya menolak.”

“Kau!”

“Saya senang menghabiskan waktu untuk menjatuhkanmu.” Jawaban itu membuat sang wanita semakin emosi dan menatap tajam pria di depannya.

“Baiklah, maka aku tidak akan membatalkan perjodohan ini. Aku menerima tantangan Anda, Pak Dosen! Kita lihat saja siapa yang akan memenangkan permainan ini.” Wanita itu melemparkan senyuman sinis. “Kau akan menderita karena menikah denganku!” ucapnya penuh penekanan. Dan seketika itu pria di depannya terkekeh.

“Aku sangat menantikan saat itu,” ucap pria itu seraya mengedipkan sebelah matanya dengan gerakan menggoda, membuat sang wanita mendengus sebal.

Permainan yang sulit, karena dia harus menghadapi seorang dosen killer yang sebentar lagi akan menikahinya ....

 

Part 1

Stella

Hoaaam, rasanya ngantuk sekali.

Aku baru selesai menonton drama Korea. Tak terasa malam sudah semakin larut. Tetapi aku masih ingin menikmati masa liburku setelah wisuda kemarin, sebelum aku mulai sibuk dan dipusingkan lagi dengan yang namanya co-ass atau koas. Aku merenggangkan kedua tanganku yang terasa kaku karena terlalu lama duduk. Aku melihat jam Doraemon yang bertengger cantik di meja belajar. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Ini benar-benar rekor. Seharian ini aku tak beranjak dari depan laptop; sejak pagi hingga hampir pagi lagi ngebut menonton drakor yang sungguh menguras energi dan perasaanku. Air mata dan tisu entah sudah berapa banyak yang keluar. Aku memang penggemar drama Korea sejak kecil. Ada banyak sekali oppa-oppa tampan yang kuincar, berharap salah satu dari mereka melirikku.

Setelah menutup laptop dan menyimpannya di atas meja, aku merebahkan tubuhku di atas kasur Doraemon kesayanganku. Aku memang maniak Doraemon. Kucing lucu itu, sungguh aku sangat menyukainya. Jadi hampir semua barang yang ada di kamarku berbentuk Doraemon atau bergambar Doraemon. Anggap saja aku ini alay, tetapi kalau sudah maniak, yah, mau gimana lagi.

Oh iya, namaku Stella Anindita Wiratmaja. Aku baru saja menyelesaikan kuliahku di Fakultas Kedokteran, dan kemarin baru selesai wisuda. Well, perjuanganku belum selesai, karena koas yang menakutkan sudah menanti di depanku. Aku harus benar-benar menyiapkan jiwa dan raga. Yang paling menyebalkan, pengawas koas bisa saja dosen killer yang sangat, sangat, sangat aku benci.

Baiklah, cukup sampai di situ aku memperkenalkan diri. Sekarang rasanya kepalaku berkunang-kunang dan mataku seperti diberi lem hingga sudah tak sanggup lagi untuk terus membuka mata.

*

“Stellaaa …. Sayang, banguuun!” Teriakan Mama sungguh memekakkan telinga. Ya Tuhan, aku masih sangat mengantuk. Tidak tahu apa kalau aku sedang bermimpi bersama oppa-ku?

“Stella sayang, ayo bangun. Kamu terlambat ke kampus.”

Aku mengintip dari sebelah mataku saat mendengar lagi suara Mama, kali ini begitu dekat, tak berteriak seperti tadi. Aku akhirnya bangun sambil mengucek kedua mataku dengan malas.

“Aku masih ngantuk,” gumamku sambil menguap.

“Pasti kamu begadang lagi menonton film,” seru Mama. “Cepat bangun. Bukankah hari ini kamu mulai mengurusi koasmu itu?”

“Jam berapa sekarang, Ma?” tanyaku pada mamaku yang cantik.

“Lihat jam Doraemon-mu,” ucap Mama yang terlihat sibuk memunguti pakaian dan buku-bukuku yang berserakan di lantai.

Oh, Gosh!

Sumpah demi apa, kali ini jam weker Doraemon lucuku berubah menjadi sosok hantu  menyeramkan di film The Bride yang baru beberapa hari lalu kutonton. “Aaaa! Aku terlambat!” Aku berteriak dan langsung meloncat ke kamar mandi.

Ah, sial! Mana pengawasnya si dosen killer itu, lagi! Mati gue kali ini. Aku langsung melakukan ritual mandi ular. Kalian pernah dengar ritual mandi ular? Kalau belum pernah, berarti masa kecil kalian kurang bahagia.

Lima menit sudah aku melakukan ritual mandi ular, dan langsung memakai pakaian kasualku. Aku tidak suka berdandan seperti wanita kebanyakan, aku lebih suka apa adanya. Jadi tak perlu berlama-lama lagi, aku langsung mengambil tas selempang dan sepatu ketsku. Setelahnya aku berlari keluar kamar untuk berangkat. Gila, aku sangat terlambat. Bayangkan saja, jadwal pertemuan jam tujuh, dan ini sudah pukul delapan lebih.

Mampus!

“Sayang, kamu gak nyisir?” tanya Mama saat aku sampai di meja makan untuk pamit.

“Lupa, Ma. Nanti saja di mobil.”

“Ini suapin rotinya dan sarapan di mobil,” ucap Mama.

Aku menggigit roti selai kacang itu dengan gigitan besar dan mengecup pipi Mama dan Papa. Aku langsung berlari menuju mobilku di mana Mang Kobar, sopir pribadiku, sudah membukakan pintu mobil untukku.

“Tancap gas, Mang Kobar! Kebuuut! Kalahkan Dominic di Fast and Furious!”

“Siap, Non,” ucap Mang Kobar yang sudah duduk di kursi pengemudi dan menginjak gas mobilnya, aku sampai terpental ke belakang karena ulah mang Kobar. Selama perjalanan aku sibuk menyisir rambut panjangku dan memakan roti selai kacang sambil sesekali mencoba menghubungi Lena, sahabat baikku.

“Kenapa gak diangkat-angkat, sih!”

Hanya butuh sepuluh menit, aku sudah sampai di gerbang kampus. Aku bergegas menuruni mobil dan berlari menuju kelasku. Aku menekan tombol lift tetapi malah lama sekali tidak terbuka.  Sial!

Aku terpaksa menaiki tangga darurat menuju ruang pertemuan di lantai 3.

Hosh hosh hosh

Aku sampai di depan kelas yang sangat hening dan senyap seakan tak ada kehidupan sama sekali. Aku mencoba mengatur napasku yang tak beraturan. Aku mengetuk pintu kelas dan mematung menatap siapa yang membuka pintu.

Dia ?!

Sial! Double sial gue sekarang!

Dosen killer itu sudah berdiri dengan dua tangan terlipat di depan dada, mata elangnya yang tajam jelas tertuju padaku penuh intimidasi. Kalau sudah dipelototi seperti ini, ciutlah sudah nyaliku.

Good!” gumamnya seraya menatap jam tangan yang bertengger di pergelangan tangannya. “Satu jam dua puluh menit keterlambatan Anda, Nona Stella.”

“Maafkan saya, Pak.”

“Apa karena sudah wisuda kamu jadi puas dan berbangga hati, begitu?” tanyanya.

“Maaf, Pak. Jalanan macet.”

“Jalanan macet? Alasan klise, Stella. Kamu pikir teman-temanmu semua kemari menggunakan pesawat terbang? Mereka semua juga menggunakan kendaraan darat dan melewati jalanan Ibu Kota, tapi mereka tak sampai terlambat!” serunya, mengomel seperti biasa.

Astaga, baru saja telingaku tenang dan hening selama dua minggu, sekarang saat kembali ke kampus kenapa harus rombeng lagi nih telinga. Astaga Dosen TMII ini.

“Tunggu di luar!”

“Apa? Tapi, Pak—” Aku ingin memprotes tetapi tatapannya menyiratkan tak ingin dibantah, membuatku menghela napas dan berlalu pergi.

“Kau mau ke mana?” tanyanya saat aku sudah berjalan menjauhi kelas.

“Ke kantin, Pak.”

Dia berjalan mendekatiku dengan memasukkan kedua tangan ke saku celana.

“Aku memintamu menunggu di luar, bukan pergi!”

Ucapannya itu sungguh ultimatum yang menakutkan. Kejam sekali sih nih dosen, bikin merinding gue aja.

“Tunggu di sini, sampai pengarahanku selesai disampaikan!”

“Baik, Pak.”

Aku mengangkat kepalan tanganku ke arahnya yang kini sudah berbalik memunggungiku, ingin sekali aku meninjunya.

Tiba-tiba dia berbalik. “Apa?”

Aku langsung menarik tanganku ke belakang kepala dan menggaruk kepalaku berpura-pura kegatalan. “Aduh, ini gatal, Pak,” kilahku, berusaha menampilkan senyuman terbaik.

Dia kembali berbalik dan meneruskan jalannya memasuki kelas.

Astaga, sumpah yah, ini benar-benar hari tersialku. Dan anehnya, kenapa aku selalu ditakdirkan untuk bertemu dengannya? Padahal dia dosen baru di sini, tetapi sudah dipercaya menjadi seorang pengawas. Ah, aku berharap sepulang dari sini aku bisa bertemu dengan seorang pangeran tampan dari Negeri Jiran.

*

Hoam …. Astaga, aku sangat mengantuk. Ini sudah dua jam berlalu dan mereka masih pada di dalam kelas. Sebenarnya pengarahan apa, sih, yang diberikan tuh dosen killer?

Tak lama terdengar suara pintu dibuka dan semua teman sekelompokku keluar dari ruangan.

“Makanya jangan molor aja,” ejek Rijal membuatku kesal. Yang lainnya hanya terkekeh menertawakanku. Apanya yang lucu, coba? Dasar para oray kadut alias orang alay kayak badut.

“Heh, loe ini kebiasaan, deh. Gue udah telpon berapa kali juga masih aja kagak bangun,” tegur sahabat terbaikku, Lennong Sabillilah alias Lenna Sabilla.

“Ya habis mau gimana lagi, gue baru tidur jam 2 malam,” ucapku.

“Astaga, ngapain aja? Begadang mulu bukannya puas-puasin tidur. Koas bakalan sering begadang!”

“Maka dari itu, gue pengen menikmati masa luang gue buat nonton drama Korea. Setelah koas mulai mana bisa gue nonton.”

“Alasan saja.”

“Stella, ikut ke ruangan saya!” Seruan itu menghentikan obrolanku dengan Lenna.

“Selamat berjuang,” sindir Lenna seraya menepuk pundakku dan berlalu pergi.

Aku akhirnya berjalan mengikuti si Dosen Killer. Entah hukuman apa yang akan dia berikan padaku kali ini. Sesampainya di depan ruangannya, kami masuk dan dia langsung duduk di kursi kebesarannya, mengeluarkan laptop dari dalam tasnya. Aku masih berdiri di hadapan meja, dan dia malah sibuk menyalakan laptop. Apa, sih, maksudnya? Dia malah mendiamkanku seperti ini. Dia mau pamer wajah tampannya? Tapi kan dia memang tampan, itu tidak diragukan lagi, tetapi percuma wajah tampan tetapi sifatnya naudzubillah menyeramkan.

“Maaf, Pak, kenapa Anda memanggil saya ke sini?” tanyaku setelah lima menit berlalu dan kami hanya saling diam. Dia malah sibuk dengan laptop miliknya dan tidak menganggapku ada. Dia pikir aku ini hantu, apa? Masa ada hantu secantik aku, sih .…

“Kamu gak ada jeranya menerima hukuman dari saya,” serunya membuatku terdiam. “Saya sampai bingung mau kasih hukuman apa lagi untuk kamu!”

“Ya gak usah dihukum saja, Pak.” Aku bergumam dan ternyata terdengar olehnya.

“Apa?”

“Ah, tidak, Pak,” ucapku.

“Kamu ambil kertas HVS ini.” Dia menyodorkan kertas HVS kosong sebanyak sepuluh lembar, dan juga menyodorkan sebuah bolpoin. “Kamu tulis dengan rapi, ‘Saya Tidak Akan Terlambat Lagi, Kalau Saya Terlambat Maka Saya Siap Menerima Hukuman Apa Pun.’ Kamu tulis kalimat itu di seluruh HVS ini bolak-balik, dan nanti di HVS terakhir, cantumkan tanda tangan dan nama terangmu.”

What the hell?

“Tapi, Pak—”

“Apa masih kurang? Baiklah, akan saya tambah lagi HVS-nya.” Dia kembali mengambil beberapa lembar HVS tetapi segera kutahan.

“Ini cukup!” cegahku tergesa.

“Baiklah, kerjakan di sofa itu. Kamu boleh keluar setelah menyelesaikannya.”

Ucapannya semakin membuatku terpekik.

Dia gilaaa!

Dasar dosen bossy!

Dosen gila, gak waras!

Dosen otoriter!

Dosen tua!

Aaah, menyebalkan!

Hukuman macam apa ini? Dia kira aku ini anak SMP? Dan astaga, kenapa harus sepuluh lembar dikali dua, jadi dua puluh halaman aku harus menulis. Dasar Dosen TMII, aku sumpahin gak laku, deh! Eh, tapi, dia belum menikah, kan? Kalau begitu, aku sumpahin dia akan gagal bersama pasangannya!

“Puas memberikan sumpah serapahmu untuk saya?”

Lah? Kok dia bisa tahu, sih?

“Eh, tidak, Pak. Bapak ke-GR-an, deh.” Aku terkekeh sumbang dan duduk di atas sofa untuk mengerjakan hukumanku.

Baru satu HVS saja, pergelangan tanganku sudah sangat sakit. Bisa patah, nih, lama-lama tanganku. Dasarrr dosen kejam!

“Sudah selesai?” tanyanya.

Apa-apaan dia, seenaknya saja kalau bicara. Dia pikir aku ini Cat Woman yang bisa menulis dengan cepat dalam waktu sepuluh menit?

“Belum,” jawabku singkat.

“Lamban!” celanya, membuatku mendengus sebal.

Sumpah yah, hari ini adalah hari paling paling menyebalkan dalam kisah hidup Stella Anindita. Seorang putri tunggal dari keluarga Wiratmaja, diperlakukan seperti ini oleh dosen gila nan kejam itu. Ini benar-benar sudah jatuh tertimpa gorila juga.

Menyebalkan ….