Suara nyanyian Melly Goeslaw membuatku terhentak setelah... entahlah berapa lama aku berkutat dengan layar laptop. Mengerjakan tugas kantor yang sengaja aku bawa pulang ke tempat indekost.
“Oh Bunda ada dan tiada dirimu kan...”
“Halo, Ma.” Sebelum bisa menyanyikan reffrain lagu lebih lama lagi, kuhentikan nyanyiannya dengan mengangkat telepon dari ibuku. Satu-satunya nomor yang kupasang dengan bunyi dering berbeda supaya aku langsung mengangkat telepon kalau Melly Goeslaw mulai bernyanyi.
“Halo. Sudah pulang?”
“Sudah dari tadi, Ma. Mama lagi apa?”
“Biasa, nonton TV. Sudah makan?”
Mataku refleks terarah pada bungkus Roma Sari Gandum yang sudah tandas isinya. Kumakan sejak tadi aku mulai membuka laptop. Tanpa terasa makanan sudah habis tapi pekerjaanku belum selesai. Ini bisa dianggap sebagai makan, kan?
“Sudah. Mama sudah?”
“Udah. Belum tidur?”
Telepon dari ibuku kadang seperti wawancara. Mama bertanya, aku menjawab. Lalu kebalikannya. Kadang sih aku bercerita kalau ada sesuatu yang seru terjadi dalam kehidupanku. Baik itu menyenangkan atau menyebalkan.
“Baru jam delapan, Ma. Hehehe.”
“Ah iya, kamu mah tidurnya suka malem sih ya.”
Aku mengangguk meski Mama tidak bisa melihat gerakanku. “Apalagi besok Sabtu, Ma.”
“Iya, besok Sabtu. Mau ke mana?”
“Hmm, ada ajakan ketemu temen siang-siang. Sebelum atau sesudahnya sih paling di kosan aja. Mama gimana?”
“Mama mau olahraga dulu pagi-pagi. Terus siang mau bantu Ceu Nono masak.”
“Siap deh kalau gitu.”
“Ya sudah atuh. Mama tidur duluan ya. Kamu mending cepet tidur juga ya.”
“Oke, Ma. Dah!”
Biarpun aku bilang ‘oke’ saat ibuku menyuruhku cepat tidur, kenyataannya mataku tetap melotot menghadap layar laptop. Ada beberapa urusan kekaryawanan yang harus kuselesaikan. Ada pula materi laporan yang harus ku-review. Lebih menarik lagi, aku harus membuat presentasi untuk hari Senin.
Pekerjaan sampai harus kubawa pulang bukan karena aku terlalu cinta pada pekerjaanku. Kenyataannya malah aku sedang sangat muak! Tapi rasa tanggung jawabku yang besar membuat aku tidak bisa menghindari tugas yang diberikan kepadaku. Tugas yang seabrek-abrek dan rasanya tidak bisa kuselesaikan dalam 8 jam kerja. Tidak heran, malam ataupun akhir pekan masih kuhabiskan untuk pekerjaan kantor.
Mataku lelah. Kutekan-tekan daerah antara kedua mata dengan jari telunjuk dan ibu jari. Kukerjapkan mata beberapa kali. Baru jam 8 tapi mataku sudah lelah dan ada banyak yang masih kukerjakan. Aku butuh tenaga. Satu-satunya sumber tenaga yang aku pilih tak lain dan tak bukan adalah kafein.
Tanganku terulur untuk meraih iPhone yang sedari tadi diabaikan. Ada beberapa notifikasi dari grup chat atau chat pribadi di WhatsApp. Ada juga notifikasi dari media sosial, e-commerce, dan lain-lain . Kuhapus semua notifikasinya sampai bersih. Setelah itu aplikasi yang menjadi tujuanku segera aku aktifkan.
Tanpa pikir panjang aku memesan segelas kopi susu dengan gula aren, less sugar, dari kedai kopi yang letaknya paling dekat dengan tempat indekost. Tinggal menunggu diantarkan, aku memilih untuk menggerakkan badan.
Mataku tertumbuk pada sebuah ilustrasi kartun yang diberikan teman-teman kantor sebagai hadiah ulang tahunku. Wajahku sedang tertawa sambil memeluk boneka Teddy Bear. Namaku tertera di bawahnya dengan font meliuk berwarna biru muda.
Malini Bthari Somantri.
Orang-orang memanggilku ‘Mal’. Kadang diplesetkan menjadi ‘Malpraktik’ saat kasus tersebut sedang dibicarakan orang. Aku tidak ambil pusing.
Aku meregangkan kedua tangan ke atas untuk mengendurkan otot-otot yang kaku. Kembali kuperhatikan ilustrasi wajah itu. Aku tersenyum lebar sekali di situ. Berbanding terbalik dengan aku yang saat ini. Entah kapan terakhir kalinya aku tersenyum lebar dan tulus. Banyaknya permasalahan yang akhir-akhir menimpaku yang membuat aku seakan lupa caranya tersenyum.
Umurku 28 tahun. Belum menikah. Bagi sebagian orang, ini bukan masalah. Sebenarnya, bagiku juga bukan. Aku sudah melewati masa-masa di mana aku sangat-sangat ingin menikah. Aku sudah menyerah sampai akhirnya aku memutuskan bahwa yang perlu kulakukan adalah memperbaiki diri, berbuat yang terbaik, melebarkan pergaulan, dan nanti aku akan menemukan jodoh yang tepat. Aku berhenti melalukan pendekatan pada pria yang kuanggap menarik hanya karena aku ingin segera menikah. Daripada memaksakan diri, lebih baik aku mengenal banyak orang. Aku berusaha untuk berfokus akan kebahagiaan diriku sendiri saat ini. Daripada aku kocar-kacir mencari jodoh tapi aku sendiri tidak bahagia, buat apa? Yang penting adalah aku bahagia. Hal lainnya mengikuti.
Akan tetapi...
Ibuku yang menginginkan aku segera menikah. Memang ibuku bukan tipe orang yang terus bertanya atau menjodohkan aku dengan banyak orang. Namun dari matanya aku tahu bahwa ibuku berharap. Ibuku hanya sekali menanyakan kapan aku akan menikah, sebulan setelah aku mendapatkan gelar Master. Tidak ada pertanyaan lagi setelah itu tapi aku tahu apa yang ada di pikiran ibuku.
Bukannya aku tidak mau menikah. Duh, andaikan ibuku tahu bahwa putri bungsunya ini tidak laku. Aku belum pernah punya pacar, hanya ada beberapa laki-laki yang pernah jalan bersama, menjadi teman mengobrol, membuatku jatuh cinta lalu byar, dia menikah dengan perempuan lain. Itu sempat membuatku tidak percaya diri.
Kalau aku saja tidak percaya diri dengan diriku, bagaimana aku bisa dicintai orang lain? Ini, yang berusaha aku perbaiki.
Pekerjaanku saat ini adalah apa yang aku harapkan. Bidang sesuai minat dan latar belakang pendidikan, jabatan sebagai seorang manajer, gaji dua digit. Semakin tinggi kita berada, semakin kencang angin yang menerpa. Tanggung jawabku saat ini yang di luar apa yang kuharapkan. Seperti yang sudah kusebutkan tadi, begitu banyak pekerjaan yang dibebankan kepadaku sampai rasanya waktu pukul 8-5 tidak cukup. Belum lagi tekanan dan tuntutan dari para bos yang membuat aku semakin stres.
Jadi, begitulah, kenapa aku kemudian seakan lupa rasanya tersenyum.
Layar iPhone mendadak menyala. Menandakan adanya notifikasi bahwa pengemudi ojek online sudah semakin dekat membawa pesananku. Seiring dengan pesan dari temanku yang mengonfirmasi pertemuan kami.
Kubalas pesan temanku dengan emotikon jempol lalu bersiap untuk mengambil pesanan kopi. Sembari menunggu di depan indekost, ingatanku melayang pada seseorang. Seseorang yang berhasil mengambil perhatian sama besarnya dengan tekanan dari pekerjaan.
Cakra Meizan Hanjoyo.
Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa pria itu akan menjadi seseorang yang sering muncul dalam keseharianku. Kenyataannya, selain urusan pekerjaan dan keluarga (that important stuff, you know) Cakra adalah hal berikutnya. Jika ada alasan lain yang membuatku bisa bertahan dalam segala ujian dan cobaan ini, kurasa dialah orangnya. Pikiranku mendadak melayang kepada hari kami bertemu.
***