cover landing

Just in Time

By Ara Nada


Selamat pagi dunia, hari ini harus dimulai dengan semangat pagi dan hati yang ceria!

Ia tersenyum kecil sembari memandangi langit yang sudah mulai terang, udara lembap nan menyejukkan tak luput dirasakannya.

Inilah salah satu aktivitasnya setiap pagi sebelum memulai harinya. Bangun pukul empat lewat lima puluh menit dan menikmati langit pagi selama tiga puluh menit di balkon kamar. Hanya dengan duduk di kursi malasnya, bersama segelas air hangat di tangan dan menatap langit sambil menghirup udara pagi. Suatu kepuasan tersendiri baginya menatap langit pagi, seakan hari baru yang cerah dijanjikan untuknya tidak peduli itu mendung atau hujan sekali pun.

Setelah puas memandangi langit dengan matahari yang perlahan menunjukkan eksistensinya kembali, ia memilih masuk ke kamarnya tanpa menutup pintu balkon. Menaruh gelasnya di atas meja kerjanya lalu berjalan menuju suatu ruangan tempatnya menyimpan pakaian, sepatu, topi dan semua aksesori.

Tanpa repot-repot memilih, ia menarik satu kaus hitam polos dan celana training hitam. Menanggalkan kaus dan celana tidurnya lalu mengganti dengan pakaian olahraga. Setelah itu ia melangkah menuju cermin yang ada di ruangan itu dan mengikat rambutnya dengan model ekor kuda setinggi mungkin. Kemudian berjalan ke salah satu lemari besar, mengambil sepatu kets merahnya dan segera memakainya.

Dirasa persiapannya telah selesai ia lalu keluar kamar. Menuruni tangga sambil membawa gelas kosong menuju dapur lalu akan ke ruangan gym di belakang rumah. Ia akan berolahraga selama tiga puluh menit.

Pukul enam, Jeconiah Nistana akan keluar dari ruangan gym dan berjalan menuju dapur untuk menikmati sarapan pagi. Ia adalah orang pertama yang akan sarapan di setiap hari Senin. Ia enggan sarapan ketika sudah rapi karena akan merusak tampilannya. Ini hanya berlaku untuk hari Senin.

“Pagi, Mam,” sapa Jona begitu menginjakkan kaki di dapur lalu mengecup singkat pipi wanita yang sangat amat dicintainya itu, Klarina Benny.

“Pagi,” balas Klarina sambil memotong-motong sayur-mayur tanpa menatap Jona. 

“Hari ini aku pulang malam ya?”

Jona meminum jus jambu yang sudah disiapkan Klarina lalu menarik bangku untuk duduk di depan pantry dan memilih memakan sarapannya di situ bukan di meja makan.

Klarina kini menyibukkan diri dengan menaruh sepanci air di atas kompor lalu membuka oven yang berada di sisi lain dapur, melihat ayam panggangnya.

Menu sarapan hari ini, sup sayur daun kelor dan ayam panggang resep spesial Klarina.

“Tanya Papamu.”

Jona berdecak pelan. “Aku itu udah kerja loh, Mam. Masih aja dilarang pulang di atas jam sepuluh? Yang benar aja!”

Jona tidak akan memakan sarapan buatan mamanya karena memakan waktu lama. Oleh sebab itulah Klarina sudah menyiapkan salad buah favoritnya dan tiga potong pai apel. 

“Makluminlah. Kamu cinta pertamanya, Jo.”

“Masih pagi, Mam.”

Klarina yang sedang memotong kentang itu terkekeh pelan. “Memangnya kamu mau ke mana abis pulang kerja?”

“Ngafe sama kumpul sama anak-anak. Udah lama nggak ngumpul. Wellina, Ferika dan Uud ikut kok.”

“Bawa mobil kamu?”

Jona menggeleng. Sembari mengobrol dengan mamanya, salad buah yang dimakannya sudah tinggal separuh, pai apelnya juga tinggal satu potong.

“Nggak, nanti diantar Uud.”

“Eh bentar. Kamu harus ya pulang di atas jam sepuluh?” Klarina menghentikan aktivitasnya sebentar lalu menatap Jona yang baru saja memasukkan potongan terakhir pai apel ke mulutnya.

“Kenapa?”

“Mama baru ingat. Ada yang Mama dan Papa mau bicarakan sama kamu.”

“Bukan nggak bisa ya, Ma, tapi nggak mau. Udah janji sama anak-anak.”

“Semoga Papamu mengizinkan.”

Mendengar itu Jona merengut. “Mama... Mama bujuk Papa dong.”

Klarina menggeleng-geleng, ia sibuk berkutat dengan masakannya. “Liat entar.”

“Pokoknya bujuk. Ngomong seriusnya besok pagi aja.”

“Ngomong apa?” Suara berat dan dalam itu menyapa pendengaran Klarina dan Jona. Mata keduanya menatap Yves Jacob yang sedang berjalan menuju dapur.

“Tau tuh, anak kamu, Pa.” Klarina yang menjawab.

Yves menarik kursi di sebelah Jona lalu menatap anak perempuannya yang terlihat sedikit gelisah itu.

“Kenapa kamu?” Tanya Yves yang melihat Jona memainkan sendok di tangannya.

“Aku pulang larut hari ini ya, Pa?” Jona menatap langsung pada mata papanya. Ia memberi sedikit senyuman.

“Jam berapa?”

“Dua belas lah paling larut.”

“Pulang jam tujuh.”

“Papaaa!”

Yves menggeleng, menolak bujukan Jona yang membuat gadis itu cemberut.

“’Kan nggak tiap hari, Pa.”

“Oke, jam sembilan.”

“Papa, aku itu mau ngumpul sama temen-temen. Cupu banget aku pulang jam sembilan.”

Yves mengernyit. “Memangnya kamu baru dibilang gaul kalo pulang jam tiga pagi?”

“Aku udah dua puluh lima tahun, Papa,” ucapnya dengan gemas. “Lagi pula, aku nanti diantar pulang sama temen.”

Jona merindukan teman-teman kumpulnya sewaktu kuliah. Mencari waktu untuk berkumpul lengkap itu sangat sulit karena mereka sudah memiliki kehidupan masing-masing. Pasti banyak yang akan diceritakan nantinya ketika bertemu.

“Ada yang mau Papa bicarakan, jadi pulang harus jam sembilan,” ucap Yves dengan tegas tapi Jona tentu menolak menurutinya.

Klarina yang sedang menyesap supnya untuk memastikan rasanya, tak lepas melirik pada anak dan ayah itu. Suasana pagi yang cukup menegangkan.

Jona yang sudah menyelesaikan sarapannya itu pun berlalu dari dapur menuju kamar. Lebih baik ia bersiap-siap ke kantor.

***

Setelah tiga puluh menit bersiap, Jona keluar dari kamarnya. Di ruang makan terdengar suara orang bercakap-cakap. Jona memilih menuju ruang makan.

Jona menjabat sebagai seorang asisten manajer pemasaran di perusahaan milik keluarganya, tepatnya milik sang papa. Sudah menjadi tradisi bagi keluarganya, siapa yang mau masuk di perusahaan harus memulai dari karyawan biasa dan akan naik jabatan secara bertahap setelah melihat hasil kerjanya.

Sama seperti Jona, dimulai dari karyawan biasa selama tiga tahun naik menjadi asisten manajer selama setahun dan akan segera naik jabatan menjadi manajer dalam waktu dekat ini. Mungkin hanya butuh setahun lagi untuk menduduki kursi direktur.

Salah satu perusahaan milik keluarganya yang bergerak di bidang peralatan olahraga dan busana olahraga itu membebaskan para karyawannya dalam berpenampilan asal rapi. Seperti halnya Jona. Berhubung ia bekerja di situ, jadi ia bebas mengeksplor penampilannya.

Di setiap hari Senin, ia akan memulai harinya dengan pakaian santai. Baginya, Senin itu haruslah dimulai dengan santai jangan tegang seperti kebanyakan orang. Ia hanya ingin memulai awal minggunya dengan pikiran dan hati yang tenang. Hari Senin ini, Jona memilih memakai celana jeanshoodie abu-abu dan sneakers biru.

Hampir setiap senin juga ia akan memakai lipstik merah. Untuk hari ini, warna merah bata menjadi pilihannya. Lipstik merah merupakan suatu item yang wajib dipakai di hari Senin. Tanpa riasan mata dan foundation yang tebal. Cukup, cushion foundation, bedak tabur no sebum dan lipstik merah batanya. Riasan wajahnya sudah sempurna.

***

“Pipit, I’m with you. Aku nggak bawa mobil,” serunya begitu berada di ruang makan. Ia memilih bersandar di salah satu kursi yang kosong tanpa repot-repot duduk.

Pipit, panggilan sayang keluarga pada anak bungsu keluarga itu, jangan mengira ia perempuan, adik bungsunya itu laki-laki, Petra Isaiah namanya. Seorang anak laki-laki yang baru akan lulus sekolah menengah atas tahun ini.

Petra menggeleng cepat. “Aku mau bawa motor.”

“Ya iya, aku nebeng.”

“Sama aku aja, Kana.” Itu adalah sahutan dari adik pertamanya, Noina Betsy pada Jona.

Ia dipanggil Kana, singkatan dari ‘Kakak’ dan ‘Na’ dari dua huruf terakhir namanya.

“Nggak tertarik jadi obat nyamuk.”

“Kamu dijemput Sena?” tanya Yves pada anak ketiganya itu.

Betsy yang sedang mengunyah ayamnya mengangguk. “Dia masuk pagi,” jawabnya.

“Aku itu mau jemput cewekku, Kak,” kata Petra begitu menyelesaikan sarapannya dan menatap Jona dengan datar.

Jona mengernyit. “Suruh dia naik ojek.”

“Masa iya aku tega?” sahut Petra.

Jona memutar kedua bola matanya malas. “Sebelum pacaran juga sering berangkat sendiri, kan? Jadi, nggak usah protes.”

“Kenapa nggak ikut Papa aja sih?” Petra masih belum mau mengalah. Ia bukannya pelit tapi ia benar-benar sudah berjanji untuk menjemput kekasihnya dan berangkat ke sekolah bersama.

You pikir I mau dilihatin sama satu kantor karena satu mobil sama pemilik perusahaan? Ney. Ayok berangkat, entar you telat lagi!” paksa Jona.

Petra mendesah keras, ia menatap ketiga anggota keluarga lainnya yang hanya bisa mengangkat bahu dan seakan menyatakan untuk mengalah saja pada Jona.

“Pokoknya uang bensin seminggu Kana yang ganti.”

“Hmm.”

Sebelum beranjak Petra sempat meneguk segelas air putih lalu keluar dari ruang makan diikuti oleh Jona.

“Pa, Ma, aku dan Petra jalan ya,” pamit Jona begitu berada di pintu samping rumah yang langsung mengarah di carport.

“Hmm. Hati-hati,” balas Klarina dan Yves bersamaan.

“Pipit jangan ngebut!” seru Betsy pada adik bungsunya disela-sela kunyahannya.

Sesampainya di depan carport, Petra berhenti dan menatap Jona dengan sebal.

“Apa? Cepetan naik. Telat nggak peduli ya aku.” Jona sendiri menatap Petra dengan datar.

“Kanaa!” rengeknya pelan.

Jona tentu tidak peduli dengan rengekan adiknya itu. Ia mengambil helm yang ada di atas motor lalu segera memakainya.

“Lama banget kamu. Mau aku yang bawa?”

“Nggak, nggak, bisa jatuh harga diri aku diboncengin cewek.” Dengan tegas langsung ditolak Petra. Harga dirinya sebagai seorang lelaki dibonceng perempuan tidak bisa diterima akal sehatnya.

“Ya udah makanya.”

Dengan berat hati, Petra lalu naik dengan Jona yang dibonceng. Tak lama kemudian Petra melajukan motornya keluar dari kediaman keluarga mereka.

***

“Yuhu! Selamat pagi semua!” Sapa Jona dengan ceria pada semua kawan sejawatnya.

“Nona Jona cetar seperti biasanya,” celetuk seorang wanita yang berpenampilan cukup nyentrik dengan warna-warna menyala.

“Ngaca, Indi!” seru Jona sambil menggeleng-geleng.

“Kalo Indi itu bikin sakit mata, kamu bikin terpesona,” ujar seorang pria berambut klimis dan manis dari balik kubikelnya.

Jona menaruh tas tangannya di atas meja lalu tersenyum manis. “Nggak boleh naksir aku, Ero. Inget udah punya pacar!”

Derino yang akrab disapa Ero itu tersenyum manis. “Kamu terlalu mubazir untuk diabaikan, apalagi dengan bibir merahmu itu.” 

“Eh bocah, giliran Jona kamu puji-puji kalo aku dicaci,” kata Indi dengan kesal.

Seorang perempuan lain yang berpenampilan lebih sederhana, kemeja berbunga, rok span hitam, sepatu hak tinggi dan riasan wajah yang simple, menghampiri mereka sambil membawa beberapa minuman hangat di pagi hari. Selain Jona dan Indi, perempuan itu juga menjadi incaran para pria di kantor. Dapat dikatakan ketiga perempuan divisi pemasaran itu termasuk ke dalam jejeran primadona kantor.

“Gimana mau muji kalo pakaian Mbak Indi ngejreng gitu.” Yesi menaruh beberapa gelas itu ke atas mejanya. “Ini minuman kalian ya.”

Tanpa menunggu waktu lama, semua gelas berisi minuman itu ludes, tersisa satu untuk atasan mereka yang belum datang. 

“Percuma cantik kalo mulutnya nyinyir.” Indi menyesap hot vanilla latte dengan nikmat.

“Seenggaknya Yesi tahu bergaya nggak kayak kamu,” celetuk seorang pria yang berdiri bersandar di balik pembatas kubikelnya, Vayn, seorang pria blasteran Surabaya-Jepang.

“Kalian nggak boleh gitu dong. Itu namanya fashion,” sela Jona.

“Nggak, jangan bela aku, Jo! Kamu itu manis di lidah doang,” ujar Indi yang mengundang tawa renyah rekan-rekannya.

Tak ada hari tanpa menggoda Indi. Meski digoda seperti itu tapi Indi tidak pernah marah atau memasukkan perkataan mereka di hati. Ia tahu mereka semua hanya bercanda karena meski warna-warna pakaiannya mencolok, tapi keahliannya memadu madankan pakaian sangat baik.

“Tapi, Jo, serius kamu itu cocok banget pake lipstik warna merah. Kenapa nggak tiap hari aja?” tanya Ero untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa tahun ini.

“Pertanyaan ke enam ribu tujuh ratus dua puluh tiga kali.”

Jona sudah menyalakan komputernya dan bersiap memulai hari ini sambil melirik Ero dengan senyuman kecil.

Satu divisi atau mungkin satu kantor sudah tahu ciri khas Jona. Seorang gadis yang hobi memakai lipstik merah hanya pada hari Senin.  Pada awalnya banyak yang mencibirnya, menyebar berita seolah-olah ia haus perhatian sehingga memakai lipstik warna mencolok seperti itu. Padahal ia hanya suka saja, dan untuk menambah gairah semangatnya di awal minggu. Meski begitu, Jona tidak pernah peduli dengan gosip tentangnya. Otaknya tidak menerima bualan-bualan tidak penting seperti itu.

Hingga menginjak tahun keempat, sudah tak begitu banyak yang menggosipkannya. Hanya satu-dua orang saja. Bahkan sekarang mereka merasa aneh jika hari Senin wanita itu tidak memakai lipstik merah.

“Kalo aja aku belum punya pacar, kamu aku gebet, Jo,” ujarnya kembali yang langsung mendapat pukulan map dari Vayn.

“Sakit, bego!” Maki Ero sambil mengusap kepalanya.

“Kalo sepupuku dengar, abis kamu, Ro,” kata Vayn. “Lagi pula, mana mau Jona sama kamu! Jauh dari kriterianya.” Vayn pun tak ketinggalan untuk nyinyir.

“Aku mau kok sama Ero,” ujar Jona yang langsung mengundang semua tatapan. Jona yang mengetahui itu lalu terkekeh pelan. “Kalo dia operasi plastik jadi Ryan Evans.”

Tawa pun pecah di divisi itu.

“Penolakan kesekian dari Jona,” kata Indi.

“Makan siang di mana kita?” tanya Yesi setelah tawa mereka reda.

“Masih ada beberapa jam sebelum makan siang, Yesi,” sela suara seorang pria.

Semua mata tertuju ke arah suara itu.

“Eh, Pak Juna. Selamat pagi, Pak,” sapa Yesi sambil tersenyum canggung.

Juna tersenyum kecil. “Pagi. Kerja dulu ya, makan siang dipikir sebentar lagi. Oke?”

“Oke, Pak,” jawab semuanya kompak.

Setelahnya Juna berlalu menuju ruangannya meninggalkan para karyawan yang sudah duduk manis di balik meja mereka dan memulai bekerja.

Begitu pula dengan Jona. Ia menaruh ponselnya di laci meja dalam keadaan diam. Kertas dan beberapa map sudah dibukanya di atas meja. Sebelum memulai ia menyesap kembali teh melati yang tadi dibeli Yesi, lalu mulai bekerja.

***