Pemirsa, tepat pada tanggal 21 Desember 2035 hari ini, pemerintah memberikan remisi pada para narapidana yang telah menjalani masa hukuman minimal tiga tahun, dengan ketentuan yang berlaku sesuai dengan Pasal 34 Peraturan Pemerintah No.99 tahun 2012. Pagi ini, tampak beberapa Lapas di berbagai daerah telah melakukan pembebasan pada narapidana yang dinilai memenuhi syarat remisi.
-RI News, 2035
*
Lembaga Pemasyarakatan Kota Gambir. Mobil Van merah sedang parkir di depan gerbang, di bawah trotoar. Doni duduk di kursi kemudi, menunggu dengan sabar seraya mengusap-usap layar ponsel pintarnya, menjelajah kabar pagi ini yang mungkin terlewat. Di sekitar masih ramai orang lari pagi, atau sekadar jalan santai menikmati hari minggu yang damai. Senda gurau dalam barisan yang memenuhi trotoar, hingga tak jarang orang di belakang menggerutu karena tidak bisa lewat.
Sebagaimana hari minggu adalah hari kebebasan, ini adalah hari yang tepat untuk orang yang sedang Doni tunggu sekarang. Orang yang akan keluar dari gerbang hitam itu, gerbang yang sekilas tampak seperti portal menuju ke dunia lain. Sebuah gedung Lapas kuno yang tampak menyedihkan. Bangunannya mungkin sudah setua Kakek Doni. Melihatnya dari dekat, seperti melihat foto hitam putih di antara tumpukan foto modern. Lapas itu kontras dengan suasana jantung Kota Gambir yang megah. Doni tidak bisa membayangkan tinggal di sana selama tiga tahun. Bisa gila, pikirnya.
Tampak seorang pemuda keluar dari pintu Lapas menuju gerbang. Pemuda itu digiring layaknya kucing liar. Dibentak ketika jalannya lambat, dicegah ketika terlalu cepat. Namun, kucing itu tak peduli. Matanya sudah mengunci gerbang hitam yang sesaat lagi akan dilaluinya.
Petugas Lapas berseragam biru muda membukakan gerbang, kemudian melemparkan ransel ke trotoar. “Tunggu apa lagi? Cepatlah!” tegurnya pada pemuda yang masih mematung selangkah di ambang, tercenung dengan wajah penuh suka cita.
“Cepatlah!” Petugas Lapas mendorongnya, kemudian menutup gerbang dengan kasar. Terdengar bunyi gesekan, kemudian berakhir dengan benturan logam. Gerbang sudah terkunci, dan pemuda tadi sudah berada di sisi lain Lapas. Ia menoleh ke belakang. Berat rasanya menatap ke depan. Ia mengambil ranselnya yang ringan, kemudian memejamkan mata.
“Aku bebas. Harusnya aku bahagia,” gumamnya. Setelah menarik napas, ia membuka mata bersamaan dengan embusan panjang. “Tentu saja, tentu saja aku harus bahagia.”
“Woy!” tegur Doni, “Kalau kelamaan di situ, bisa-bisa kamu dimasukin lagi ke dalam!”
Pemuda itu menoleh. Perlu kiranya lima detik untuk berpikir, siapa pria kurus berjambang lebat itu. “Doni? Tentu saja, Doni,” katanya. Ia menghambur memeluk Doni. Sahabat lama. Satu yang terbaik. Mungkin pula satu yang tersisa. Mereka berpelukan. Erat sekali.
“Tiga tahun?” tanya Doni seraya melepas pelukan.
“Tiga tahun, tiga bulan,” jawab pemuda itu.
“Pantas kau jadi tampak lebih tua, Davis!”
“Nggak mau aku dengar itu dari orang yang brewoknya lebih lebat dari Kepala Sipir.”
Doni terbahak-bahak. “Tiga tahun, tiga bulan, kau jadi lebih pintar ngomong.”
“Aku belajar banyak dari preman, perampok, pemerkosa. Oh, kosa kata mereka benar-benar kotor dan menjijikkan. Nanti aku akan mengajarimu, Anjing!”
“Jaga mulutmu, Anak Nakal!” Doni menepuk punggung Davis dengan keras. “Semoga nggak butuh waktu tiga tahun untuk membiasakan diri dengan lingkungan yang baru. Ayo!”
Doni membukakan pintu mobil.
“Mobilmu?” tanya Davis.
“Mobil perusahaan, lah. Kami punya logo dan warna baru sekarang.” Doni menunjuk stiker berwarna putih, bergambar kuda terbang dengan tulisan ‘Pegasus Express’ di bawahnya.
“Masih betah aja kerja di Pegasus.” Davis sudah duduk di kursi depan sambil memangku ranselnya.
“Ya, aku cinta pekerjaan ini. Pegasus Express sudah berkembang pesat. Tahun ini saja kita dinobatkan sebagai penyedia jasa antar barang terbaik, dan yang paling banyak digunakan. Kantor direnovasi besar-besaran, bahkan kantor cabang di kota-kota kecil juga.”
“Aku nggak sabar buat kembali. Itu juga kalau bos mau nerima.”
“Kamu harus kembali, Vis. Nanti aku yang rekomendasiin. Bos emang bermulut pedas, tapi kamu tahu, kan, dia orang baik.”
“Ya. Semoga,” harap Davis.
Pintu mobil ditutup. Kanan dan kiri bergantian. Mesin mobil dinyalakan. Van merah itu meninggalkan Lapas, meniupkan asap halus yang kemudian menyatu dengan udara Kota Gambir. Polusi dan kebebasan. Davis menghirupnya bersamaan.
***
Gambir kota yang sibuk. Semakin ke pusat, semakin padat. Hari ini bahkan jauh lebih ramai dari yang Davis ingat tiga tahun lalu sebelum dipenjara. Laju mobil tersendat-sendat. Tak lama kemudian, terdengar klakson bersahutan. Macet menjebak mereka di depan, dan menghadang mereka di belakang. Sekilas menjelajah pandang, Davis menemukan penyebabnya. Di depan, ratusan spanduk besar dibentangkan oleh para pendemo. Papan, tripleks, kertas, semua dijunjung tinggi bertuliskan sindiran dan protes terhadap sesuatu yang Davis tidak mengerti, tidak pula mau peduli. Salah seorang pendemo berdiri di atas tumpukan meja dengan barikade ban bekas. Tali putih melilit kening, dan orang itu berteriak mengutuk sebuah nama.
“Jangan kaget kalau banyak yang berubah di kota ini, atau lebih tepatnya di negeri ini,” kata Doni.
Selagi laju mobil melambat, Doni meraih sebuah tas kecil di belakang kursi kemudi, lalu memberikannya pada Davis. Doni tersenyum melihat kebingungan sahabatnya, “Buka saja!” katanya.
Davis membuka ritsleting. Di dalam tas merah itu ada benda-benda yang tidak asing baginya. Sebuah buku saku, kacamata dan ponsel pintar. Semuanya milik Davis. “Thanks, Don,” ucapnya.
Doni mengangkat kedua bahu. “Cuma bantu menyimpan. Selanjutnya, kamu harus ganti ponsel,” kata Doni.
“Ini masih bagus, kan?” Davis mengusap-usap ponsel pintarnya. Tiga tahun tanpa komunikasi dan informasi, benda itu nyaris terasa asing baginya.
“Ya, tapi mulai tahun depan, Artemis hanya berfungsi di Android Black Forest ke atas.”
“Mereka memaksa warganya beli ponsel baru, sementara makan saja susah?” keluh Davis.
“Simpan kritismu, Davis. Ini 2035. Black Forest sudah hampir 15 tahun. Ponsel dengan sistem operasi lawas sepert itu pasti sudah murah sekali,” tutur Doni, “Sepertinya kita harus belok sini. Di bundaran depan pasti tambah macet.”
Davis bisa melihat kepulan asap di kejauhan. Bukan hanya tambah macet, aksi demo ini sepertinya makin anarkis di jantung kota. Van itu membelok ke jalur alternatif. Doni tidak menyalakan GPS. Dia sudah hafal seluk beluk Kota Gambir. Seolah peta kota terekam jelas dalam kepalanya. Pengalaman kerja tujuh tahunnya tidak sia-sia, dan meskipun Davis juga berprofesi sama, Davis mengakui kemampuan Doni jauh di atasnya. Pantas saja bos mereka selalu mengelu-elukan Doni, serta memanjakannya dengan berbagai promosi.
Jalan yang mereka lalui mulai terasa tidak nyaman. Mobil berguncang karena aspal yang tidak rata. Kanan dan Kiri mulai jarang terlihat rumah. Tidak lama kemudian, yang terlihat di sekeliling hanyalah sawah dan ladang.
Davis menyalakan ponsel pintarnya. Logo Artemis muncul setelah logo merk ponselnya. Davis mengernyit. Artemis ada di mana-mana. Pemerintah benar-benar mengawasi warganya.
“Aku sudah ganti Chip Smartphone-mu dengan yang baru. Masih bisa aktif sampai empat tahun lagi, tapi saldonya mungkin habis akhir Desember ini,” kata Doni.
“Sepertinya aku harus berutang dulu. Tiga tahun di penjara, aku sudah lupa baunya uang,” ucap Davis dengan segala kepahitan di wajahnya. Trauma itu masih tersisa. Kebebasannya seperti belum cukup menyembuhkan.
“Makanya, cepatlah balik ke Pegasus. Kalau bisa, besok aku tunggu di kantor. Kita ketemu bos sama-sama,” kata Doni dengan kesombongan yang tampak. Bangga sekali bisa membantu orang malang seperti sahabatnya itu.
“Eh, kabar Damian gimana?”
“Dia udah jadi manajer gudang utama sekarang,” jawab Doni dengan senyum bangga yang terlihat sedikit geli.
“Serius?”
“Ya!”
Davis tersenyum sendu mendengar kabar itu. Ada iri yang tidak ingin dia tampakkan.
Lihat ke mana nasib baik membawa kalian berdua selama tiga tahun ini, dan lihat bagaimana nasib buruk menimpaku. Bandingkan keduanya, maka aku ingin menjerit.
“Kenapa, Vis!”
“Oh, nggak ada, kambing!”
“Kambing?”
“Eh, maaf. Udah jadi kebiasaan.” Davis menggaruk kepala, tertawa rikuh oleh omongannya sendiri.
“Parah. Cara bicaramu jadi aneh gitu gara-gara bergaul sama orang-orang di penjara. Aku harap kamu nggak bawa itu ke hadapan bos besok.”
Mereka mulai memasuki jalan satu arah. Jalur sempit yang membelah pasar tradisional. Doni mengurangi kecepatan. Mobilnya melaju sama lambat seperti saat melewati para demonstran. “Ah, setidaknya berhasil lolos dari macet,” kata Doni.
Selamat datang di Artemis
Sambutan Artemis terdengar kala Davis mengaktifkan aplikasi tersebut. Maskot bintang perak menari-nari di layar, lalu berhenti saat indikator loading penuh.
“Banyak yang berubah, ya?” Davis merasa asing.
“Ya, di versi 1.4.1 ini, nggak cuma mengubah user interface, tapi juga ada banyak tambahan fitur baru. Kamu harus sering-sering cek manualnya di rumah nanti. Atau kalau masih bingung, bisa tanyakan aku.” Doni mengeluarkan ponselnya, bergantian menatap layar ponsel dan jalanan.
Donald Satriani, memberimu 5 bintang.
Terdengar notifikasi dari ponsel Davis.
“Eh, makasih,” ucap Davis. Dia mengaktifkan kamera Artemis-nya, lalu mengarahkannya pada Doni. Dari layar ponsel, Davis dapat melihat tiga bintang berwarna kuning melayang di kepala Doni. “Sepertinya ratingmu tahun ini nggak terlalu bagus,” katanya.
“Yah. Bulan lalu aku putus sama Misel. Mendadak teman-teman satu kelasnya memberiku rating dua. Mungkin ini yang dimaksud perempuan bisa mengubah dunia. Aku hampir dipecat gara-gara bintangku turun jadi tiga.”
Davis tergelak. Tidak menampik iba, tapi cara Doni menjelaskan membuatnya tergelitik.
Mobil memasuki kawasan perumahan Jati Luhur. Rumah-rumah mungil berjajar di kanan dan kiri. Tipikal perumahan kelas menengah. Menyusuri jalanan berpaving, Doni menyapa setiap orang yang ditemuinya. Menundukkan kepala pada para sesepuh yang tengah menikmati pagi hari sebagai pensiunan. Mereka duduk merenungi usia di teras rumah. Beruntung rasanya. Para orang tua itu pernah melewati separuh hidupnya sebelum Artemis. Doni iri.
Pada sebuah rumah bercat kuning cerah, mobil itu berhenti. Davis turun dari mobil. Menyelempangkan ranselnya, lalu menangkap minuman yang dilemparkan Doni. “Thanks,” ucapnya.
“Salam sama Tante dan Mega, maaf nggak mampir. Mau kejar orderan,” kata Doni sambil mengusap jambangnya.
“Oke, hati-hati, Monyet—Eh, sorry, maksudku Doni.”
“Davis….”
“Ya?”
Doni menurunkan ponsel yang baru saja diarahkannya pada Davis. Kamera Artemis-nya menangkap pemandangan yang mengeruhkan keceriaan Doni barusan.
“Lakukan sesuatu dengan bintangmu. Kalau butuh apa-apa, jangan segan hubungi aku!”
Doni menginjak pedal gas. Van merah berjalan pelan, sepelan kaca jendela terangkat. Doni melambai pada sahabatnya. Banyak makna dari tatapan itu. Bisa jadi senang melihatmu kembali, atau sebuah kekhawatiran berlebih. Bintang tiga di kepala Davis barusan jelas berbeda dengan bintang tiga miliknya. Bintang merah. Warna yang hanya diberikan pada para kriminal, atau mantan narapidana. Warna itu akan banyak mengubah hidup Davis. Tentunya dengan cara yang tidak menyenangkan.
***
Kedatangan Davis disambut mesra adik perempuannya. Mega memeluk sang kakak seperti tak ada hari esok. Mengalungkan kedua tangan pada leher Davis, serta membasahi tengkuknya dengan air mata kebahagiaan. Davis memelintir lembut cuping telinga Mega. Tiga tahun tak bersua, Mega sudah tumbuh jadi gadis cantik. Haru biru di rumah itu sangat nyata. Namun, Davis membatu terlalu lama di penjara. Mengeras hatinya. Tidak ada tangis walau sesak hatinya. Mega tampak sangat kurus. Tulang pipinya kelihatan jelas sekali.
Seorang perempuan bergabung dalam pelukan dan air mata itu. Perempuan yang padanya Davis rela mati. Perempuan yang selalu Davis doakan dari tempat terjahanam sekalipun, dengan tangan bejat sekalipun. Davis percaya Tuhan akan mengabulkan doa terbaik yang dialamatkan pada orang baik. Meskipun doa itu datang dari orang seperti dirinya. Seorang bintang tiga. Sudah tiga, merah pula.
“Kalian berdua baik-baik saja, kan? Ibu sehat, kan?” Davis memeluk erat dua perempuan terpenting dalam hidupnya.
Tiga tahun terlalu lama. Pelukan dan tangisan itu tidak akan berakhir begitu saja. Mungkin lima menit kemudian. Atau mereka bisa berpelukan sampai seharian.
***
Kepulangan Davis dari Lapas sudah sampai di meja makan. Davis melihat banyak perubahan. Di meja makan, setelah menyantap habis nasi uduk spesial kebebasannya, Davis mendengarkan banyak cerita. Mega dan ibunya bergantian memberi Davis asupan informasi penting tentang wajah baru negeri ini. Tentang sistem Artemis yang semakin kompleks dan menggila, serta membuat penggunanya gila. Tentang para tetangga yang berbintang dua, dan seorang tukang koran bintang satu yang tidak kelihatan lagi batang hidungnya sejak minggu lalu.
Televisi di dapur menyala. Menyiarkan berbagai berita kriminal dan ekonomi. Tidak ada yang mendengarkan. Televisi hanya jadi sumber keributan yang disengaja untuk mengusir sepi dan canggungnya makan bersama. Mega masih malu-malu mengobrol dengan kakaknya. Davis juga tidak tahu dari mana harus memulai percakapan dengan ibunya. Tiga tahun, dan mereka sudah seperti orang asing.
“Mega sudah berbintang, ya?” Davis mengarahkan kamera Artemis-nya pada sang adik.
“Kan sudah tujuh belas tahun,” jawab ibunya.
“Lho, bukannya harus delapan belas tahun, Bu?”
“Aturan baru. Sekarang, usia 17 tahun sudah wajib terdaftar di Artemis. Untuk pelajar, pelaksanaannya dikoordinir oleh sekolah masing-masing.”
Davis mengarahkan kamera pada ibunya. Tampak bintang empat melayang di atas kepala Bu Ningsih.
“Rating Ibu lumayan.”
“Kuncinya adalah baik ke semua orang.” Bu Ningsih menjentikkan jari.
Bu Ningsih masih berkepala empat. Empat puluh lima. Masih langsing dan minim kerutan. Kecuali untuk beberapa bagian di kelopak mata dan kening. Namun, sakit pinggang dan mata rabun tetap saja tidak bisa menipu. Kadang tumbuh tua memang menakutkan. Bu Ningsih sudah menjanda sejak tiga tahun yang lalu. Mengurus Davis dan Mega seorang diri. Sebagai pemilik usaha penatu, Bu Ningsih kerap bertemu dengan banyak orang. Banyak senyum yang dia lempar, banyak pula yang dia tangkap. Pada orang asing, senyum itu adalah usaha menaikkan rating penatunya. Namun, pada orang terdekat, senyum itu adalah upaya menaikkan rating dirinya.
Tayangan di televisi beralih pada kabar tentang para demonstran. Huru-hara yang sempat Davis lewati tadi, ternyata terjadi juga di banyak titik di negeri ini. Davis melihat daftar kota yang sedang melakukan protes serempak. Selain Gambir, demo besar-besaran juga terjadi di Surabaya, Jakarta, Malang, dan beberapa kota besar lainnya, termasuk Denpasar. Pada layar kaca, headline berita tertulis dengan jelas. ‘Masyarakat menuntut pemerintah menghentikan sistem Artemis.’ Berita berlanjut dengan adu opini antara perwakilan pendemo dan pemerintah.
“Sejak kapan ribut seperti ini, Bu?”
“Sudah satu tahun.” Bu Ningsih menyesap teh hangatnya.
“Lama juga. Kesannya dibiarkan begitu saja sama pemerintah.”
“Ya, itu karena gerakan ini didukung oleh para oposisi. Lihatlah orang berjas merah itu.”
Davis memerhatikan seorang pria yang sedang berpidato di televisi. Kesan tegas dan keras terpancar dari mata yang berapi-api itu. Tangannya tidak segan menunjuk lawan bicara seolah mereka berbeda kelas. Davis tidak kenal dengan Hans Nurbianto. Dia tidak kenal dengan banyak politikus. Namun, menarik bila ada seorang elit yang terang-terangan menentang Artemis. Mungkin akan ada perubahan besar-besaran di negeri ini. Davis berharap.
“Di depan Kantor Bupati tadi juga banyak demonstran. Jalanan macet. Berani bertaruh, mereka yang memprotes pasti berbintang dua ke bawah,” Davis beropini.
“Kakak mau teh?” Mega menawarkan.
Melihat apa saja yang tersaji di meja makan, menyadarkan Davis bahwa sudah terlalu lama dia diasingkan. Pasti sudah lama sekali Mega tidak makan enak. Ibunya juga kurus. Senyumnya melukis lelah. Terpaksa bahagia di hari kepulangan anak pertamanya. Tiga tahun mereka mengabaikan gizi demi kenyang. Berbagi jatah perut untuk kucuran air dan nyala kipas angin. Dari balik jeruji besi pun keluhan tentang tarif listrik dan air tetap terdengar. Malah di sana Davis bebas dari tagihan itu. Davis bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang sedang dipenjara?
Davis mengiyakan tawaran Mega. Ia menyeruput teh hitam tawar. Manis itu tetap Davis cari pada kecapan demi kecapan, tapi memang tidak ada gula di sana. Keluarga ini terlalu miskin bahkan untuk membeli rasa manis.
“Besok aku mau mulai kerja, Bu,” kata Davis.
“Eh, di mana?”
“Ya, di Pegasus Express. Di mana lagi?”
“Memang kamu boleh nyetir?”
“Entahlah, Bu. Semoga bos punya jalan ke luar. Warna ini…” Davis menunjuk ke atas kepalanya, “Akan sangat merepotkanku nantinya,” ucapnya lesu.
Terbitlah senyum samar di bibir Bu Ningsih. Semangat Davis memercik hangat ke wajah ibu dan adiknya. Bukan bermaksud bergantung dan jadi beban, mereka hanya lega karena akhirnya punya sandaran. Mereka akan melakukan apa pun agar sandaran itu kokoh. Saling menyokong dan menguatkan. Keluarga itu pernah melewati yang lebih buruk di belakang. Mereka hanya menunggu hal indah di depan yang saat ini mulai diperjuangkan.
Acara berita terpotong oleh derau yang tiba-tiba. Warna merah mengambil alih layar televisi, kemudian muncullah logo bintang perak Artemis. Gelas teh Mega jatuh, berserakan di lantai. Namun, tidak ada yang peduli. Semua mata terpaku pada televisi.
Breaking News. Maaf telah memotong tayangan favorit Anda. Pemirsa, jadwal untuk Hunting Season tahun ini telah ditetapkan jatuh pada hari ini, tanggal 21 Desember. Terhitung sejak pengumuman ini disiarkan, seluruh bandara akan berhenti beroperasi. Segala akses transportasi umum akan ditutup, termasuk penerbangan domestik dan internasional. Pelayanan masyarakat akan tetap beroperasi sampai pukul 17.00 WIB. Setelah itu, semua kantor pelayanan akan tutup, dan akan kembali dibuka pukul 06.00 WIB. Mari kita dukung dan sukseskan acara tahunan ini, demi terciptanya negara yang damai, aman, dan diberkati Tuhan….”
Belum juga siaran itu selesai, Davis sudah mendengar gemuruh di luar rumah. Samar-samar teriakan, kemudian tangis histeris dan ketakutan. Semua mengalahkan siaran tv berlatar lagu kebangsaan Indonesia Raya. Davis beranjak dari kursi. Ia membuka tirai jendela, matanya terbelalak oleh pemandangan kompleks yang tadi tenang, sekarang sarat akan keributan. Di seberang jalan, tetangganya sedang sibuk memasukkan barang ke dalam mobil. Di sebelahnya, seorang tetangga sudah berangkat mengendarai motor, membawa seluruh keluarga; seorang suami, istri, dan anak kecil, meninggalkan rumah yang gerbangnya tertutup rapat. Di jalan kompleks, anak-anak berseragam sekolah berhamburan. Ini belum jam pulang sekolah. Mereka seperti dikejar penjaga kantin, karena beli gorengan tiga, bayarnya dua. Tak lama setelah itu, perang klakson terdengar di jalanan kompleks. Kendaran saling berebut masuk dan keluar.
“Sudah lama aku nggak lihat pemandangan seperti ini,” kata Davis. Ia berpaling dari jendela, mendapati ibunya sedang memeriksa kalender.
“Luput beberapa hari dari perkiraan,” ucapnya getir. Melingkari angka 27 dengan tangan gemetar.
“Ibu?”
“Kamu nggak boleh keluar rumah, Davis.”
“Kenapa?”
“Malam Hunting Season pertama biasanya membawa sial. ”
“Jangan khawatir, Bu. Bintangku masih tiga, kan.”
Bu Ningsih menghampiri anak laki-lakinya. Disentuhnya pipi Davis dengan kedua tangan kurus berurat jelas. “Tolonglah. Ibu nggak mau kehilangan kamu lagi.”
Terdengar suara benturan di luar rumah, disusul jeritan seorang perempuan. Davis mengintip lewat jendela, mendapati seorang wanita tersungkur di trotoar di depan rumah Davis. Di sebelah perempuan itu ada motor matic hijau tergeletak dengan mesin menyala.
“Ya, Tuhan,” pekik Davis. Dia menghambur ke luar, tak hiraukan nasihat ibunya.
Atmosfir di luar jauh lebih gelap dari yang terlihat lewat jendela. Kompleks perumahan Jati Luhur jadi mirip situasi bencana alam, dan semua warga sedang berebut untuk mengungsi. Tak ada simpati. Semua orang memikirkan diri sendiri. Davis menghampiri perempuan yang masih mengerang sakit di trotoar, di depan pagar rumahnya.
“Ibu nggak apa-apa?”
Davis membantu perempuan itu untuk berdiri. Dilihat dari kondisi motor, sepertinya perempuan yang sebaya dengan ibunya itu baru saja menabrak pagar rumah Davis.
“Saya harus pergi dari sini, tapi saya nggak bisa naik motor,” isak perempuan itu di pelukan Davis.
Sama seperti warga berbintang satu lainnya, perempuan itu sedang berjuang menghindari Hunting Season. Dengan segala akses ke luar kota yang sudah ditutup, Davis tidak tahu ke mana orang-orang ini akan melarikan diri.
“Davis, cepat masuk!” seru Bu Ningsih dari pintu rumah. Di belakangnya, wajah panik Mega mengisyaratkan permintaan yang sama.
“Tapi ibu ini—“
“—Lupakan dia, dan lihat sekelilingmu!”
Sekarang jelas sudah kenapa Bu Ningsih melarang Davis ke luar rumah. Baru Davis sadari, dirinya sedang jadi pusat perhatian. Orang-orang yang semula sibuk melarikan diri, kini berhenti untuk sekadar mengarahkan kamera ponselnya pada Davis. Semua pejalan kaki, semua pengendara mobil dan motor, semua tetangga di kompleks Jati Luhur yang Davis tak pernah terlalu dekat mengenalnya. Mereka serempak memasang wajah benci pada Davis. Namun, tak sekadar benci. Ada sebuah gairah yang aneh yang terpancar dari mereka. Sebagai orang yang menghabiskan tiga tahunnya di penjara, Davis sangat familiar dengan raut wajah itu. Wajah-wajah orang yang sedang bernafsu untuk membunuh.
Sepertinya Ibu benar. Bintang Merah ini benar-benar akan mengubah hidupku.
***