cover landing

My Husband Wants Me to Sleep with Another Man

By amysastrakencana


Ruangan ini biasanya memang memiliki penerangan yang temaram. Antara lampu yang tergantung di atas dan merupakan lampu LED dengan daya terang paling maksimal, atau lampu baca yang berada di samping tempat tidur, si pemilik lebih suka menyalakan lampu kuning yang sebenarnya tidak baik bagi mata. Namun, dia menyukai itu. Juga pasangannya. Apalagi ketika mereka sedang saling membelit, menjilat dan melumat.

“Ahhh, Nico!” Sudah berulang kali Agnes menyebutkan nama Nico dalam satu jam ke belakang. Baik dalam nada rendah, nada menggoda, nada terkejut, atau pun saat mencapai puncaknya.

Nico kadang membalas, menyebut nama Agnes, atau hanya sekadar menjilat kulit Agnes dan membuat Agnes semakin menggeliat.

Agnes berbaring telentang, dengan Nico bergerak di atasnya. Kaki Agnes membelit tubuh perkasa Nico, mendekapnya erat, tak mau melepaskannya. Nico pun tidak kalah kuat dalam melumat dan mengisap leher Agnes, sembari kejantanannya masuk begitu dalam pada lubang kewanitaan Agnes, melesak hingga batas maksimal yang memungkinkan.

Jemari Agnes menyusup di balik helaian rambut Nico yang lurus. Mata Agnes terpejam dan membiarkan indra perabanya merasakan segala sentuhan yang dilakukan oleh Nico. Dada Agnes yang keras terpaksa ditekan oleh dada Nico dalam usahanya menempelkan diri ke tubuh Agnes.

“Uhh!” Agnes menggelinjang. Baru saja Nico menarik kejantanannya dan menghunjamnya lagi begitu cepat.

Nico menyeringai, mengangkat wajahnya. “You like it?” Nico mencium bibir Agnes, kepala mereka bergerak ke kanan dan ke kiri ketika berciuman. Tangan Agnes mulai meraba punggung Nico dan berakhir dengan meremas bokong Nico yang bulat dan penuh.

Nico menarik tubuhnya, berlutut di atas Agnes masih dengan tubuh yang menyatu. Agnes terengah-engah, tapi bibirnya tetap tersenyum. Saat Nico memintanya bangkit, Agnes menuruti dengan sukacita, membalikan posisi mereka.

Nico yang berbaring dengan kedua tangan berada di belakang kepalanya. Sebelum kembali menyatu dengan Agnes, Nico sengaja mengocok kejantanannya, menggoda Agnes agar menikmati kejantanan itu sebagaimana makanan favoritnya.

Itu memang favorit Agnes, tapi bukan makanan, walau Agnes tetap senang memasukannya ke mulut.

Agnes menjilat bibirnya, melumat jemarinya, lalu mengelus kejantanan Nico dan mengocoknya dengan tangan. Nico menatapnya penuh cinta. Ya, Agnes selalu tahu bahwa Nico mencintainya, menyayanginya, bahkan dalam kamar yang temaram seperti ini, cahaya Nico-lah yang menerangi mereka.

Tapi malam ini, Agnes absen melumat kejantanan montok Nico itu karena Nico sudah telanjur menggunakan kondom. Agnes tentu saja tak suka dengan rasa lateks di mulutnya. Maka dari itu, Agnes hanya mengelus kejantanan itu beberapa kali, menggesekkan ke klitoris miliknya, lalu mereka pun menyatu kembali.

Kekuatan kaki Agnes memungkinkannya untuk menggenjot kejantanan Nico tanpa ragu. Bergerak cepat bagai sedang memompa ban supaya cepat terisi penuh. Payudara Agnes bergoyang naik-turun, memanjakan mata Nico yang mesum.

Nico tak tahan lagi. Dia tak mau melihat Agnes terlalu jauh. Maka Nico pun bangkit. Agnes berada di pangkuannya, tidak lagi bergerak naik-turun tapi pinggulnya bergerak maju-mundur. Nico memeluk Agnes, meremas bokongnya. Wajahnya terbenam antara dua payudara Agnes, mengisap dan menggigitnya jika ingin.

Lagi-lagi Agnes meremas rambut Nico. Tubuhnya semakin bergejolak. Desahan Agnes tak tertahan lagi.

“Nic….”

“Yes,” Nico mengangguk paham.

Mereka melepaskan diri lagi. Agnes segera membungkuk di atas kasur, mengelus bokongnya sendiri. Di belakangnya, Nico berlutut dengan perkasa, meremas bokong Agnes lalu menampar keduanya hingga Agnes terdorong ke depan. Lalu masuklah kejantanan Nico ke lubang Agnes lagi. Entah sudah keberapa kalinya malam ini. Nico bergerak perkasa, hingga penyatuan mereka menimbulkan bunyi kecipak. Agnes melenguh, mendesah, menyebut nama Nico.

Posisinya yang tadi membungkuk sempurna, semakin merangkak ke bawah, hingga hanya bokongnya yang menungging ke atas.

“Ergh, Nico!”

Agnes mengocok klitorisnya dan tibalah Agnes pada puncaknya. Kedua tangannya meremas seprai, wajahnya terbenam di kasur, sementara tubuhnya yang bergetar ditahan oleh Nico yang juga mencapai puncak dengan tubuh mereka masih menyatu.

“Fuck,” komentar Nico setelah getaran kejantanannya berhenti.

“Yes fuck,” balas Agnes sambil terengah-engah.

Nico menarik tubuhnya, melepaskan kondom yang sudah lemas tapi berhasil menuntaskan tugasnya.

“Kamu keluar di dalam?” Agnes membalikkan badannya, menatap Nico sinis.

“I’m using a condom, baby.” Nico membuang kondom ke tempat sampah lalu melap kejantanannya. “Aku masih ingat kamu nggak mau punya anak.”

“Kamu juga,” Agnes membalas.

“Aku juga.” Nico setuju. “Kita sama-sama nggak mau punya anak. Ayo, siapa mandi lebih dulu? Kamu, aku, atau sama-sama?”

“Aku!” Agnes bangkit, menjulurkan lidah. “Siap-siap nunggu ya.”

Nico tersenyum, membiarkan Agnes masuk ke kamar mandi untuk mandi. Dia pun membelitkan handuk ke tubuhnya lalu menyalakan lampu. Perubahan cahaya yang tiba-tiba membuat Nico harus mengerjapkan mata beberapa kali. Begitu matanya beradaptasi dengan cahaya, Nico merapikan tempat tidur, mengira-ngira apakah ini layak untuk digunakan oleh mereka tidur malam ini.

Nico memutuskan tidak layak. Maka dia segera mengganti seprai dan merapikannya. Di rumah ini memang ada beberapa asisten rumah tangga, tapi jika dia baru selesai bercinta, Nico merasa tak perlu melibatkan mereka.

Agnes keluar dari kamar mandi, sudah segar, bersih, wangi, dan cantik. Rambutnya yang biasanya panjang dan bergelombang, sekarang lurus karena baru selesai dikeramas. “Your turn.”

Nico mendaratkan satu ciuman singkat pada Agnes sebelum masuk ke kamar mandi. Ketika dia sudah selesai mandi, Agnes akan menyambutnya dalam balutan lingerie seksi dan mereka akan tidur berpelukan.

Menjelang tengah malam, penerangan kembali temaram. Situasi yang memungkinkan kedua orang yang selesai bercinta ini tidur begitu nyenyak.

***

Agnes terbangun pagi ini. Tapi ini bukan di kamarnya, bukan pula di kamar Nico. Ini kamar yang tak dia kenal, dengan banyaknya ornamen bayi di sini. Keranjang bayi, gantungan yang mengeluarkan musik, lemari penuh pakaian dan kaus kaki bayi, kertas dinding bergambar binatang, dan cahaya yang menyorot dari jendela.

“Ini kamar siapa?” Begitu Agnes ingin bertanya. Namun, tenggorokannya tercekat. Tak ada suara apa pun yang keluar dari sana. Agnes pun bangkit, memandang berkeliling.

Begitu dia berdiri, terdengar suara tangisan bayi. Agnes menoleh ke kanan, mendapati suara itu semakin kencang. Langkah Agnes perlahan mendekati keranjang bayi. Jika memungkinkan, Agnes mau menenangkan bayi itu agar tak menangis. Pasalnya, tangisannya menyayat hati.

Agnes melihat bayi, entah laki-laki atau perempuan, begitu mungil dan manis. Hati Agnes tersentuh, dia pun mengulurkan tangan untuk menggendongnya. Namun semakin dekat Agnes pada bayi itu, tangisan si bayi semakin keras. Agnes sangat ingin menenangkan si bayi maka dia pun segera menggendong bayinya. Dan tepat ketika Agnes menyentuh si bayi, bayi itu berubah ke dalam serpihan-serpihan yang beterbangan.

Agnes kaget. Juga takut. Dia refleks berteriak. Berteriak. Dan berteriak.

***

“Agnes! Agnes! Sayang! Bangun!”

Agnes berusaha membuka matanya. Sulit.

“Sayang, kamu kenapa? Ayo bangun.”

Sekali lagi Agnes berusaha membuka mata dan akhirnya terbuka. Dia langsung melihat kamar yang familier, dengan Nico menatapnya khawatir.

“Ada apa? Kamu mimpi apa? Minum dulu.”

Nico memeluk Agnes, menyodorkan segelas air.

Agnes mereguk air itu bagai manusia yang seharian berpuasa. Ketika air melewati kerongkongannya, rasanya menenangkan.

“Kamu teriak-teriak tadi.” Nico mengelus rambut Agnes, juga kening Agnes. “Kamu keringat dingin.”

Agnes memilih meletakkan kepalanya di dada Nico dan memeluknya erat. “Maaf. Mimpi buruk. Nggak ada apa-apa. Nggak usah khawatir.”

“Really? Mungkin kamu mau cerita supaya lebih tenang?” Nico masih memeluk erat Agnes, mengelus kepalanya.

“Gini aja lebih tenang kok,” Agnes bicara tak jelas, karena suaranya teredam dada Nico. Mungkin, sampai kapan pun Agnes tak akan bercerita tentang mimpi buruk yang dialaminya, yang seringkali melibatkan keberadaan bayi.

“Alright,” Nico pun yakin. Dia mencium kening Agnes dan pelan-pelan mengajaknya berbaring.

“Nic… tidur…” Kantuk kembali melanda Agnes. “Besok kita fitting….”

“Fitting, food testing, prewedding photoshoot. Mau nikah itu persiapannya berat, Nes.”

“Indeed. Then why do we have to get married, cousin?”

Nico mendengus, tertawa pelan. Nico tak merasa perlu menjawab. Agnes sudah tahu jawabannya. Mengapa dia harus menikah dengan sepupunya sendiri.

***