Wajah perempuan itu terlihat muram. Rambut panjangnya bergoyang mengiringi langkah kaki yang dibalut celana jeans biru tua. Ia melewati area pertokoan yang sedang ramai pengunjung, kedai foto kopi dan sederatan toko elektronik sebelum sampai di kafe yang ia tuju.
“Santai, Ta,” gumam perempuan itu pada dirinya sendiri.
Jantungnya berdegup kencang. Langkah kakinya kian melambat. Apapun yang terjadi nanti, ia harus mengutarakan niatnya. Perempuan bernama Ganahita itu terdiam sejenak merasakan getaran dari pouch di tangannya. Perlahan ia mengambil ponsel di dalam pouch dan meletakkannya di telinga kanan.
“Kakak di mana?” tanya Cipto—ayah Hita— di ujung telepon.
“Lagi jalan-jalan di mall, Yah. Kenapa?” bohong Hita. Ia mencoba berbicara dengan ceria, meski hatinya sedang merana.
“Kakak baik-baik saja, kan?” selidik Cipto.
“Iya, Yah. Jangan khawatir.”
Hita mengakhiri percakapan dengan sang ayah dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam pouch. Dia tahu ayahnya pasti sudah menyadari kegundahan hatinya sejak semalam ia mengatakan keputusannya di hadapan orang tua dan kedua adiknya. Meski Hita jarang mengatakan apa yang ia rasakan, tapi ayahnya selalu tahu jika sesuatu terjadi pada hati Hita.
Tarikan napas mulai terdengar saat Hita berdiri di depan kafe yang cukup ramai. Terlihat dari jendela kaca para pramusaji sedang sibuk mengantarkan pesanan pelanggan. Diremasnya pouch cokelat di tangan kanannya. Mau tak mau, ia harus mengatakannya hari ini.
Dengan senyum terukir di bibir, Hita melangkahkan kaki memasuki kafe dan menghampiri pria berkemeja putih yang juga tengah tersenyum menyambut kehadirannya. Pria itu adalah Manggala. Pria yang dua tahun ini telah berstatus sebagai kekasihnya. Pria yang akhir-akhir ini sering membahas pernikahan yang ingin segera ia wujudkan. Pria yang telah memenuhi hati dan pikiran Hita sampai rasanya mau gila.
“Kusut bener mukanya,” komentar Gala saat Hita duduk di kursi depannya. “Suntuk karena rindu?”
Gala menyadari beberapa hari ini ia sangat sibuk di rumah sakit sampai tidak bisa bertemu dengan Hita. Biasanya Hita akan menghampirinya di ruang kerjanya untuk melepas rindu, tapi akhir-akhir ini kekasihnya itu terlihat murung dan menjaga jarak darinya. Berbeda dengan Hita yang biasanya ceria, suka menggoda dan menguji imannya sebagai pria.
“Enggak. Perasaan, Mas aja kali,” sanggah Hita seraya mengambil jus lemon milik Gala. Berbagi makanan dan minuman sudah menjadi hal biasa bagi mereka.
Hita sangat bersyukur bisa bertemu dan memiliki kekasih seperti Gala. Pria berusia 29 tahun yang berprofesi sebagai dokter bedah di rumah sakit swasta itu sangat memahami dan menghargai dirinya sebagai seorang perempuan.
Berbeda dengan hubungan Hita bersama pacar-pacarnya yang dulu. Pertengkaran dan perselisihan selalu terjadi mengingat sikap keras kepala Hita jika sudah menginginkan sesuatu. Bersama Gala, Hita merasa tenang. Meski tak jarang mereka berbeda pendapat, tapi Gala selalu sabar menunggu emosi Hita mereda, barulah ia mengutarakan pendapatnya. Bahkan seringkali pria itu lebih mengutamakan keinginan Hita dari pada keinginannya sendiri. Itulah yang membuat Hita tak ingin berpisah dengan pria berhidung lancip di hadapannya.
Sudah ribuan kali Hita memikirkan kalimat yang akan ia katakan pada Gala. Hita takut akan melukai perasaan Gala. Hita takut, keputusannya akan membuatnya kehilangan pria yang dicintainya.
Suara ketukan di meja menyadarkan Hita dari lamunan, “Kenapa, Dek? Kok lihatin akunya gitu? Apa aku terlalu tampan hari ini?” ucap Gala seraya menaikkan kerah kemejanya, sementara Hita mendengkus sebal melihat kenarsisan sang kekasih. Hita tahu, mungkin Gala sudah menyadari perubahan sikapnya, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk bersikap seperti biasanya.
“Kalau nggak tampan mana mau aku sama kamu,” jawab Hita sembari melambaikan tangan supaya Gala mendekatkan wajahnya. Kemudian satu sentilan lembut mengenai hidung dan membuatnya meringis.
Sebenarnya Gala sudah tahu bahwa itu akan terjadi, tapi ia membiarkan apa saja yang dilakukan Hita padanya. Dari awal pertemuan mereka, hidung adalah hal pertama yang memikat hati Hita. Gala masih ingat dengan jelas berapa lama Hita memandang hidungnya saat pertema kali mereka bertemu. Hita seperti terhipnotis dan tak sadar sejenak, hingga akhirnya Gala yang memulai perkenalan mereka.
“Aku benci hidung lancipmu,” ucap Hita dengan bibir mengerucut. Dalam hati perempuan itu ia sangat gemas dengan hidung kekasihnya, hanya saja ia tidak rela perempuan lain juga menikmati keindahan di wajah tampan itu.
“Makanya buruan di segel, supaya nggak ada yang berani mendekat.” Lagi-lagi Gala memberi kode agar Hita mau menikah dengannya.
Gala pikir perempuan di hadapannya itu juga mencintainya dan menginginkan sebuah pernikahan, tapi di sisi lain, Gala tidak mengerti kenapa sampai saat ini Hita belum juga memberi kepastian soal pernikahan mereka. Padahal di tahun pertama mereka menjalin hubungan, Hita sangat bersemangat membahas rencana keluarga kecil mereka, tapi ....Gala segera menepis prasangka buruknya. Dia yakin Hita adalah jodohnya.
“Lusa, Mas sibuk nggak?” tanya Hita saat seorang pramusaji meletakkan brownies berbentuk hati dan secangkir kopi mocca di meja yang telah di pesan Gala.
Hita menarik napas pelan. Mengumpulkan semua keberanian yang ia punya. Mungkin bagi orang lain apa yang dirasakan Hita berlebihan, tapi sungguh, Hita tak ingin mengecewakan sang kekasih.
Bukannya menjawab pertanyaan Hita, Gala malah memperhatikan ekspresi Hita yang tegang. “Ada apa, Dek? Kok tegang gitu?” kening Gala berkerut tajam. Dia tahu ada yang tak beres dengan kekasihnya.
“Aku dapat pekerjaan di Jakarta.” Hita meremas pouch cokelatnya di meja. “Kontrak dua tahun.” Jantung Hita semakin berdegup kencang tak beraturan. Ia tahu, Gala pasti kecewa.
Gala menatap wajah Hita dan berkedip beberapa kali. Tangan kanannya menarik daun telinga, berharap ia telah salah dengar. “Kenapa harus ke Jakarta, Dek? Dua tahun pula.” Gala memandangi sekeliling kafe. Rasanya dia tidak mau dengar kalimat yang akan dikatakan Hita selanjutnya.
“Aku pikir, kita harus menunda pernikahan kita.”
***