Tangan Noah meraba atas nakas untuk mencari ponselnya dan mematikan alarm yang berbunyi dari tadi. Ia mengucek mata seraya menjernihkan pandangan. Menggulirkan jemari pada pengingat yang muncul di layar lalu memeriksa daily planner hari ini. Noah selalu memiliki agenda kegiatan harian yang jelas. Semua harus selesai sesuai dengan jadwal, tidak lebih dan tidak kurang.
Noah menoleh ketika Karina beringsut seraya menyajikan bokong bulat untuknya. Lingerie yang sangat pendek itu tersingkap hingga menampilkan garis celana g-string warna menantang. Sontak kejantanan Noah teracung gagah. Sangat normal apalagi di pagi hari.
Karina menggeliat saat ujung rambut brewok Noah yang baru saja tumbuh menyentuh lehernya diikuti hisapan kecil. “Noah, hentikan.”
“Kamu yang menggodaku,” ujar Noah yang lantas menurunkan celana tidurnya tidak sabar.
Lengan Noah merengkuh pinggang ramping Karina dan mulai meraba dalam lingerie tersebut. Jemarinya lantas mencari gundukan padat untuk dimainkan.
“Noah, ini masih sangat pagi,” ucap Karina seraya membuka matanya pelan. Ia hampir lupa bagaimana rasanya bercinta dengan Noah. Well, karena memang sudah lama mereka tidak membagi kehangatan di atas ranjang.
Noah akan keluar rumah pagi buta lalu pulang larut malam. Begitu seterusnya hingga Karina nyaris lupa dengan hubungan mereka. Apakah benar mereka masih suami istri atau sekedar penyewa yang tinggal satu atap?
Tanpa meminta persetujuan, Noah lantas membalik tubuh Karina dan menindihnya. Pun dengan cepat langsung menyerang bibir sang istri dengan hisapan kuat dan rakus. Semakin menuntut ketika Karina berusaha melepaskan ciuman tersebut.
“No.… ah,” desah Karina sisa-sia. Kekuatannya tidak cukup besar untuk menyamai gerakan lengan kukuh Noah.
“Sebentar saja, kau menginginkannya ‘kan?” Noah mengambil alih kedua tangan Karina dalam sekali rengkuhan. Sementara tangan yang lain memaksa Karina untuk membuka pahanya lebar-lebar. Ia seperti predator yang kelaparan dan bersiap menghabisi mangsanya.
“Noah!” seru Karina.
“Shhh! Sebentar saja.”
“Aw! Noah!” jerit Karina saat milik Noah memasuki liang surgawi tanpa permisi. Kedua mata Karina terpejam sembari menahan rasa sakit di bawah sana. Ia hanya bisa pasrah ketika sang suami terus memompa tanpa rasa.
Suara Noah memenuhi kamar yang didominasi dengan warna putih dengan jendela panjang membentang. Pemandangan laut Bali dengan deretan pohon kelapa yang tumbuh membentang menjadi suguhan setiap pagi.. Embusan angin pagi dari celah jendela yang sengaja tidak terkunci, menerbangkan gorden putih. Sesaat membuat bulu kuduk Noah meremang karena rasa dingin di permukaan kulit.
Sementara itu, Karina masih memejamkan mata sambil mengorek kembali penyatuan penuh kasih yang pernah mereka lakukan selama 5 tahun pernikahan. Ikatan rasa yang dibalut dengan gairah serta hentakan penuh kenikmatan selalu membuat Karina candu, tetapi itu dulu. Sekarang, ia sama sekali tidak merasakan kenikmatan bercinta dengan Noah. Semua terasa hambar.
Noah menengadahkan kepala sambil menggeram ketika mencapai klimaksnya sendiri. “Ohhhh.”
Ia mengatur napasnya yang terengah, kemudian membanting tubuh untuk tidur terlentang di samping Karina. Ia tidak memperdulikan Karina yang tersiksa sebab belum mencapai klimaks.
“Jangan lupa minum morning After pill-nya,” ucap Karina setelah beberapa saat mengatur napas.
Gelora bercinta yang dulu kerap membuat jantung Karina berdegup kencang kini hanya sekedar kegiatan bersetubuh saja. Tidak ada lagi ikatan emosi yang tercipta diantara mereka. Bahkan ucapan sensual yang dulu terdengar sangat romantis jarang sekali digaungkan oleh Noah.
“Haruskah aku meminumnya, Noah?” Pertanyaan Karina membuat gerakan memakai celana Noah terhenti sesaat. Ia menoleh lalu kembali mengenakan celana piyama dengan motif garis itu.
“Aku sedang tidak ingin bertengkar, Karina,” ucap Noah ringan. Ia lantas meneguk satu gelas minuman yang selalu tersaji di atas nakas. “Kita akan memulainya lagi setelah sama-sama siap.”
Karina terkekeh samar. “Sama-sama siap? Waktumu sekarang lebih banyak tersita untuk pekerjaan dibandingkan aku.”
“Aku sedang sibuk di kantor. Kami sedang merencanakan pembukaan hotel baru di Bandung.” Iris almond Noah melirik tajam pada Karina yang sedang memungut lingerie di lantai.
Karina membalikkan tubuh sambil meraup seluruh helai rambut lalu mengikatnya asal. Ia mendengus lalu berucap, “membuka hotel baru? Bagaimana aku bisa tahu jika kamu tidak pernah bercerita, Noah? Aku bisa tahu dari mana?”
“Aku sudah memberitahumu, Karina. Mungkin kamu yang tidak menggubrisnya.”
“Kapan! Kamu selalu sibuk dengan kegiatan yang tidak jelas! Pergi dengan wanita yang entah siapa aku tidak kenal!” Ingatan Karina akan deretan klien wanita Noah kembali muncul di benak. Tidak jarang Noah akan menghadiri pesta dengan banyak wanita di sana. Terkadang Karina heran, bagaimana mereka bisa membicarakan bisnis dengan serius di tengah musik DJ yang mengaung keras.
“Aku bekerja, Karina!” tandas Noah sungguh-sungguh. “Mereka adalah klienku, yang akan membantu bisnis perhotelanku.”
“Ya, selalu alasan itu yang kamu ucapkan. Bekerja dan bekerja!”
“Memang hanya bekerja, cobalah untuk dewasa. Aku tidak pernah melarangmu berhubungan dengan Will.”
“Jangan bawa-bawa William, Noah! KamI hanya bersahabat.”
“Sama, aku dan wanita itu hanya sekedar rekan kerja.’
“Sama dari mana?”
Nada bicara Karina yang semakin meninggi membuat Noah menyugar rambut frustrasi. Beberapa hari ini pikirannya tersita penuh dengan rencana melebarkan bisnis perhotelan, The Wijaya Grup. Pun semalam ia pulang tengah malam dan tertidur tiga jam saja hingga gesekan pantat Karina membangunkan miliknya.
Tidak memiliki tenaga untuk meladeni Karina, Noah memilih beranjak dari duduknya di tepian ranjang. Namun, suara Karina menghentikan langkahnya.
“Noah, aku belum selesai bicara!”
“Apa lagi, Karina? Aku lelah! Apa lagi yang ingin kamu bicarakan? Kurangi rasa cemburu yang berlebihan itu,” ucap Noah membuang muka dari sang istri.
“Aku istrimu, Noah!”
Noah ingin berterima kasih dengan siapa pun yang melakukan panggilan kali ini. Setidaknya ia bisa terbebas dari kecemburuan Karina yang tidak beralasan.
Tangan Karina melipat di depan dada sambil terus mendengus kesal. Kedua mata sayu yang berbingkai bulu mata lentik itu masih tertuju pada sang suami lekat-lekat. Ia memasang rungu dengan seksama untuk mencuri dengar percakapan Noah entah dengan siapa. Seolah Karina tidak ingin kehilangan satu kata pun dari percakapan mereka.
“Baiklah, aku akan segera ke sana.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Noah mematikan panggilan dan melenggang begitu saja tanpa menggubris keberadaan Karina yang masih berdiri di samping ranjang.
Sikap Noah yang dingin semakin membuat Karina kesal. Dadanya sesaat terasa sesak, dan mulai kehilangan pasokan oksigen. Berulang kali Karina mengembuskan napas kasar untuk mengurai rasa sesak yang bercokol hebat di dalam dada. Bibirnya perlahan bergetar diikuti buliran bening yang mengumpul di pelupuk mata.
Pernikahan yang sudah berjalan selama 5 tahun itu, kini terasa hambar dan seolah kehilangan arah. Rasanya baru beberapa waktu ia mengecap manisnya hidup berumah tangga bersama Noah. Namun, kini Karina merasa jatuh cinta seorang diri setelah memberikan keseluruhan hatinya kepada Noah.
Mata berair Karina terlempar pada pigura dengan bingkai kayu warna putih yang tergantung di dinding. Senyuman merekah tercetak jelas di wajahnya dan Noah. Tampak dari kedua mata Noah betapa dulu sangat mencintai Karina. Well, itu dulu sebelum sikap Noah berubah drastis. Pria itu terlihat membuat jarak kepadanya setelah beberapa bulan mereka kehilangan buah hati.
Nada pengingat pesan menyita atensi Karina. Sambil mengusap air matanya dengan kasar, Karina menggulirkan jemari untuk membuka pesan dari nomor tidak dikenal itu.
‘Suamimu berselingkuh dengan seorang wanita yang sangat dekat denganmu.’
Menjatuhkan ponsel tersebut ke lantai sembari meneguk saliva kasar. Ini adalah pesan singkat yang kesekian kalinya diterima oleh Karina.