Nasi tiwul teronggok di meja tanpa pelitur, di sebelahnya ada selembar telur dadar diiris setipis daun, lembek karena dicampur air garam agar cukup untuk lauk tiga orang. Api dalam tungku masih menyisakan bara, Trimasih meletakkan kayu-kayu basah kiriman Edi Gudel di atasnya.
Kabarnya, pemuda itu baru saja menebang pohon nangka di depan rumah lantaran pohon tua itu bergerak-gerak tanpa sebab. Waktu itu angin tidak bertiup, tetapi salah satu cabang pohon nangka itu meliuk sampai hampir menyentuh tanah. Kejadian itu terjadi berkali-kali hingga kesimpulan pun diambil; ada genderuwo yang sedang bermain-main di pohon itu. Anggapan bahwa pohon nangka itu menjadi rumah genderuwo pun didasarkan cerita perempuan-perempuan yang kerap melihat sosok hitam bermata merah sebesar tatakan gelas mengintip di sela dinding saat mandi. Atas dasar laporan-laporan itu, Sinder Betsi menyuruh Edi Gudel menebang habis pohon nangka yang sudah berbuah ratusan kali itu.
"Mak, makanan sudah siap. Makan dulu. Jangan ngusap-ngusap tusuk konde terus. Tusuk konde itu ndak berubah jadi emas kalau diusap-usap. Nanti kalau punya uang aku belikan yang lebih bagus, yang terbuat dari emas asli, biar Mak bisa mengusapnya tiap hari."
Mbah Jibah terkekekeh mendengar kelakar cucunya. Dibungkusnya tusuk konde itu dengan kain putih lalu dililitkan pada kain stagennya.
"Kamu tidak tahu ya, Nduk? Tusuk konde ini lebih berharga dari mahkota raja, lebih indah dari permata permaisuri. Suapi adikmu dulu. Nanti aku makan belakangan."
Trimasih menuju bilik Ponidi. Ia berhenti sebentar, mengamati bocah lelaki yang disayanginya itu menerawang dinding bambu yang diterobos matahari sore. Ia tidak sampai hati mengusiknya.
"Aku berjanji akan membawamu berobat, Le. Pasung yang membelenggu kakimu ini akan segera dilepas begitu kamu sembuh. Kamu akan bisa lagi memburu ayam alas atau naik ke pohon cengkeh, membantu Mak memetiknya. Ayo makan yang banyak, nanti kalau nasi tiwul ini habis, aku akan nembang (bernyanyi) buatmu. Tahu tidak? Tadi di kali, aku melihat dua ekor ayam alas. Yang satu berwarna merah, satunya lagi berwarna hijau. Tumben-tumbennya ada ayam alas yang main di kali siang hari bolong. Awas besok kalo ketemu lagi, akan kutangkap dan kujadikan lauk.”
Trimasih tak menghiraukan Ponidi yang tak menanggapi ceritanya. Mulut gadis itu tetap saja bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialami seolah-olah adiknya mengerti; tentang kopi, tentang sekolahan yang biasa mereka datangi dulu, tentang beruk, juga tentang ... Mandor Parman.
Begitu suap terakhir habis, adiknya baru meracau. Bukan, bukan untuk menanggapi cerita kakaknya, tetapi karena mulutnya masih ingin diisi. Ia beranjak, memanggil jatah nasi tiwul miliknya dan menyuapi adiknya hingga mulut dan matanya tak mau berbuka lagi tanda kenyang dan mengantuk.
“Mak, tadi Mandor Parman memberiku sepasang ceplik (anting-anting).”
Trimasih mengeluarkan benda berkilau pemberian kepala regunya dari setagen lalu mengulurkan kepada neneknya. Mbah Jibah menelan gumpalan terakhir nasi tiwul, mengecap rasa asin yang tertinggal di rongga mulut sebelum berpaling kepada Trimasih. Ia hanya menatap, tidak bersuara sama sekali. Trimasih tahu ada yang keliru, hati gadis muda itu gaduh.
“Sih, apa kamu sudah berpikir sebelum kamu menerima ceplik ini?”
“Sudah, Mak. Mandor Parman bilang ini hadiah buatku karena menjadi pemetik kopi paling banyak. Aku ya menerima saja pemberiannya. Rejeki.”
“Hadiah? Dari mana kamu tahu kalau kamu adalah pemetik kopi paling banyak? Ingat, Nduk … kita harus rumangsa (tahun diri). Bukannya Makmu ini melarang-larang kamu menerima pemberian orang tapi sekali lagi kita harus waspada.”
“Waspada bagaimana to, Mak?”
“Nduk, kamu tahu kan siapa saja pemetik kopi musim panen kali ini?" Mbah Jibah meletakkan alas makan yang ada di pangkuannya, benda bulat dari seng bergambar ayam jago, ke lantai. "Buruh petik itu bukan hanya dari desa kita saja, bukan hanya kamu. Mereka juga didatangkan dari desa atas, Sumbersari, Jeruk, Sirah Kencong. Juga dari Semen dan Krisik yang terkenal dengan kegesitan memetik biji kopi. Tidak ada yang mengalahkan kekuatan bahu mereka mengangkut rinjing berisi kopi. Sedang kamu?" Mbah Jibah terdiam sebentar, mengelus kepala cucu perempuannya itu lalu mendesah. “Kamu baru musim ini menjadi pemetik kopi. Apa mungkin kamu bisa mengalahkan hasil timbangan pekerja lain yang sudah berpengalaman? Nduk, sekarang kamu sudah tidak gembelengan (bermain-main) kamu sudah nyunggi wakul (mengusung wadah nasi). Kamu sekarang sudah jadi perempuan utuh, sudah seharusnya tahu maksud laki-laki memberimu sesuatu yang bukan menjadi hakmu.”
Kenapa tidak ada pikiran itu? Apakah benar Mandor Parman menaruh perasaan untuknya? Gadis itu mengingat-ingat lagi kejadian belakangan ini. Tentang tingkah laki-laki yang janggal. Mengapa Kang Boidi bersusah payah membawakan rinjingnya ketika ia kewalahan mengangkut kopi, sedangkan rinjing istrinya ditinggalkan begitu saja? Mengapa pula Kang Narno tanpa pamrih mau menukar jatah wilayah petik yang landai miliknya dengan wilayah petik Trimasih yang terjal? Mengapa pula Kang Bejo selalu membawakannya mangga kweni? Mengapa pula Mandor Parman memberikannya sepasang ceplik jika ternyata Trimasih bukan pemetik kopi terbanyak seperti yang dikatakannya? Bagi perempuan muda seperti Trimasih, persoalan seperti ini teramat pelik. Urusan laki-laki dan perempuan tiba-tiba tersuguh di hadapannya. Hatinya riuh, menerka-nerka benang merah kejadian satu dengan yang lain.
Lagu dolanan “Gundul-gundul Pacul” mulai sayup mengiang di kepala. Trimasih sekarang bukan bocah yang bisa dengan seenaknya gembelengan. Sekarang dia sudah nyunggi wakul, martabat sebagai perempuan seutuhnya. Dia sudah harus berperilaku dan berpikir sebagai perempuan dewasa. Masa itu sudah menyongsong di usianya yang masih belia; tanpa pandu, tanpa guru.
***