"Satu-satunya kelebihan kamu itu cuma bisa bawa sial!" Ibu masih terus mengomel sampai kami masuk rumah. Sejak perjalan selama 30 menit tadi, Ibu belum berhenti mengomel dan memakiku.
Aku berusaha mengabaikan omelan Ibu. Di kepalaku sudah tersimpan rapi suara Ibu, yang nggak pernah bosan memaki dan menyalahkan aku untuk terjadinya semua hal buruk. Suara ini seperti tersimpan dalam tape recorder rusak, yang sering mendadak memainkan suara yang sama walau tanpa ada perintah dari siapa pun.
"Kamu itu apa nggak capek bikin Ibu sial terus? Harusnya Ibu nggak pernah ngelahirin kamu!" Ibu melemparkan kue-kue buatannya sampai berserakan dan hancur di lantai.
Harusnya kue-kue itu menjadi pesanan Bu Leni sebagai oleh-oleh pulang kampung ke Pacitan. Sayangnya, aku menggagalkan pekerjaan Ibu karena mobilku mendadak mogok.
Nggak tahu kenapa mobil yang baru aku beli dua bulan lalu ini sampai memilih malas bergerak. Mobil Brio itu memang aku beli bekas, tapi kondisi mesinnya masih bagus. Itu kata Mas Bara yang membantuku mengecek fisik mobil dulu. Baru hari ini mobil itu bermasalah. Apesnya, aku sedang bersama Ibu.
Aku dan Ibu berdiri saling berhadapan. Mata Ibu sudah memancarkan kebencian dengan level paling tinggi. Mata itu memang nggak pernah memandangku dengan cara lain. Hanya ada kebencian dan penyesalan setiap mata itu memandangku.
Dadaku sudah ngilu banget. Di dalam kepalaku terus terngiang kalimat makian Ibu yang terakhir. Suara itu masih sama seperti yang terakhir aku dengar kemarin, dua hari lalu, bahkan saat aku umur delapan tahun. Ibu hampir setiap hari menyesal sudah melahirkan aku.
"Cuma nganterin Ibu aja nggak becus! Mending Ibu bayar tukang ojek buat kirim kue ini. Lain kali, kamu nggak usah sok-sokan nawarin bantuan kalau cuma mau bikin Ibu rugi. Cara kamu bikin hancur bisnis Ibu ini sama sekali nggak lucu! Jangan mentang-mentang udah banyak orang yang kenal kamu, terus kamu bisa sombong dan nyakitin Ibu. Kalau bukan karena Ibu, kamu nggak bakal bisa sampai di titik ini. Tapi, balasan kamu buat Ibu apa? Kamu cuma anak yang bikin Ibu sial!" Ibu terus melampiaskan kekesalannya, padahal kata-katanya masih sama seperti yang sudah aku dengar sepanjang perjalanan pulang.
Ibu nggak pernah peduli kalau setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya untukku selalu berubah menjadi kepingan silet. Setiap silet mempunyai level kekuatan, ketajaman, dan kecepatan yang berbeda. Kali ini levelnya cukup tinggi dengan nilai sembilan dari sepuluh.
Semua silet itu melayang dalam gerakan cepat, menggores hati dan jantungku dalam-dalam. Luka yang sebelumnya saja belum kering, tapi sekarang aku harus merasakan luka yang baru lagi.
"Ngapain kamu nangis? Harusnya Ibu yang nangis! Ibu yang rugi. Ibu yang menderita. Diem kamu! Berisik!" teriak Ibu saat melihat air mataku jatuh. Ibu menutup telinga rapat-rapat, seolah aku mampu mengeluarkan suara paling memuakkan. "Diem!"
Sudah lama aku nggak mengeluarkan isakan saat menangis. Aku tahu ini cuma akan membuat Ibu semakin murka. Aku selalu menangis dalam diam, bahkan berusaha nggak menangis sama sekali. Sayangnya, aku nggak pernah mampu menahan hantaman silet level sembilan ini. Sampai akhirnya silet level sepuluh muncul.
Larangan menangis menjadi silet paling kuat yang pernah Ibu lemparkan. Ibu selalu memintaku nggak menangis, tapi aku justru menangis lebih keras. Aku menutup rapat mulutku. Kepalaku menengadah, berusaha memberhentikan air mata sialan ini.
Sayangnya, aku gagal! Aku terlanjur hancur berkeping-keping.
"Diem!" Ibu berulang kali memintaku diam, padahal aku sama sekali belum bersuara sejak tadi.
Aku jatuh terduduk. Dadaku sakit banget. Semua organ dalamku seperti sedang berlomba menjadi yang paling cepat meledak.
Kata orang, melahirkan menjadi hal paling menyakitkan yang harus perempuan rasakan. Bullshit! Yang memutuskan ini belum pernah merasakan sakitnya jadi anaknya ibuku. Mereka nggak pernah tahu tersiksanya jadi aku.
Ibu meninggalkanku begitu saja. Bantingan pintu kamar Ibu seperti guyuran jeruk nipis ke seluruh lukaku yang masih basah. Nggak usah ditanya gimana perihnya!
Air mataku nggak bisa aku hentikan. Aku nggak berteriak. Aku nggak menangis meraung-raung. Yang aku lakukan cuma duduk di lantai sambil memandangi pintu kamar Ibu.
Hidup bersama Ibu itu seperti di neraka. Aku nggak pernah percaya kalau surga ada di telapak kaki Ibu. Mana mungkin ada surga di sana kalau Ibu selalu menganggapku sebagai kesalahan terbesarnya? Gimana mungkin aku punya surga dari perempuan yang menyesal sudah melahirkan aku?
Setelah merasa cukup tenang, aku meninggalkan rumah. Aku berjalan ke arah dua gang di belakang rumahku. Langkahku pelan. Kakiku seperti melayang, tapi aku sadar akan pergi ke mana.
Aku berhenti di depan rumah dengan pagar yang tertutup rapat. Aku mengenal rumah ini seperti rumahku sendiri. Biasanya aku bisa bebas masuk tanpa perlu menunggu pemilik rumah membukakan pintu. Tapi, sekarang aku cuma berdiri di luar pagar.
Rumah ini seperti istana walau sebenarnya bangunannya sederhana. Nggak ada pilar-pilar mewah atau halaman super luas. Jarak dari pagar ke pintu utama saja nggak lebih dari dua meter. Tapi, aku pernah berharap tinggal di sini bersama keluarga lengkap, yang nggak pernah menganggap aku sebagai anak pembawa sial.
"Trisha?" Nuri buru-buru membuka pagar, lalu menghampiriku. "Lo ngapain diem aja di depan rumah gue?"
Aku nggak menjawab. Fokusku ke tangan Nuri yang membawa plastik hitam dengan ukuran lumayan besar.
"Bentar, gue buang sampah dulu." Nuri melewatiku menuju ke bak sampah di depan rumahnya.
Aku nggak memperhatikan pergerakan Nuri. Aku nggak bergerak sama sekali sampai dia menyentuh pundakku, membuatku menoleh ke arahnya.
Nuri tersenyum. "Yuk, masuk! Mama tadi bikin rendang." Pangkal hidungnya berkerut. "Agak gosong, sih, tapi masih bisa dimakan daripada nggak ada makanan sama sekali."
Aku menurut, seperti kambing yang digiring masuk ke kandang. Sudah sejak aku masih SMA, rumah ini selalu menjadi tempat pelarianku. Nuri dan keluarganya menerimaku seperti saudara. Aku beruntung bisa bertemu dengan Nuri.
"Mau makan sekarang?" tanya Nuri saat kami mendekati ruang makan.
Aku menggeleng. Tanpa perlu mengatakan apa pun, Nuri selalu memahamiku. Dia mengajakku langsung masuk ke kamarnya di lantai dua.
"Berantem lagi?" Nuri memandangku iba.
Aku merebahkan diri di kasur. Sengaja aku menghindari tatapannya itu. Aku sedang nggak mau dikasihani siapa pun. Aku cuma butuh ketenangan. Tapi, isi kepalaku nggak pernah mau tenang.
Suara Ibu terus terngiang sampai kepalaku berdenyut hebat. Aku memejamkan mata, berharap suara Ibu bisa mereda. Tapi, suaranya justru terdengar semakin jelas.
"Kamu cuma anak yang bikin Ibu sial!"
"Anak bikin sial!"
Nuri mengusap punggungku. Nggak ada kata-kata penenang. Tapi, sentuhannya sudah cukup bagiku. Aku tahu bahwa ada orang yang masih peduli padaku. Aku nggak pernah sendirian di sini.
Aku berguling sampai bisa memandang Nuri. "Gue nggak akan ngelakuin kesalahan yang sama kayak Ibu. Gue nggak mau ngelahirin anak yang cuma bisa bikin sial. Gue nggak akan pernah punya anak."