 
   
             
            Sebuah hari yang menjungkirbalikkan dunia seseorang sering kali diawali  dengan kedamaian.
Bagi Retha, sepasang mata sayu yang langsung berbinar-binar ketika  melihatnya adalah salah satu contoh kedamaian yang sederhana. Begitu juga dengan  garis-garis kerutan pada pipi dan sudut mata wanita lanjut usia itu yang  semakin dalam. Seiring dengan senyumannya yang melebar dan menampakkan jejeran  gigi yang tidak lagi lengkap, itu melegakan untuknya.
“Makasih, ya, Mbak,” kata Mbah Siti dengan suara parau. “Mbak Ayu sehat?”
Retha spontan tersenyum. Kemarin Mbah Siti memanggilnya Hana, kemarinnya  lagi Nana, kemarinnya lagi Anis, tetapi Retha tidak menyalahkannya. Nama  Margaretha mungkin memang agak sulit diingat, diperparah dengan daya ingatnya yang  mulai memburuk karena faktor usia.
“Puji Tuhan, sehat, Mbah,” sahut Retha lembut. “Mbah Siti sendiri  bagaimana? Tadi malam hujan deras, Mbah bisa tidur?”
Mbah Siti terkekeh. “Selimutan tujuh lapis.”
Retha ikut tertawa. Bagi anak muda, hujan di malam hari akan menciptakan  hawa dingin yang nikmat untuk tidur, tetapi bagi lansia seperti Mbah Siti  dengan tubuhnya yang sudah renta pasti tidak begitu.
“Saya lanjut keliling dulu, ya, Mbah,” katanya. “Sehat-sehat.”
Mbah Siti mengucapkan doa panjang yang intinya semoga keluarga sehat  selalu, rezeki lancar, dan selalu dalam lindungan berkat-Nya. Setelah  mengaminkan dengan sungguh-sungguh, Retha langsung menaiki motor peninggalan  ayahnya untuk melanjutkan pekerjaannya: mengantarkan pesanan katering.
Anak Mbah Siti adalah salah satu pelanggannya. Tinggalnya di luar kota,  jarang pulang kampung, tetapi meluangkan sedikit biaya untuk memastikan  kebutuhan ibunya terpenuhi di sini. Mulai dari perawat lansia, ART, hingga  ketersediaan pangan tiap pagi yang diwujudkan melalui Retha.
Hawa dingin sisa hujan masih terasa pada wajahnya ketika Retha  menjalankan motor. Langit masih remang-remang khas fajar, tetapi hawa kehidupan  mulai bangkit merayapi kompleks perumahan kecil itu.
Retha melempar senyum dan anggukan untuk menyapa ibu-ibu yang sibuk  mencuci dan menjemur baju di depan rumah yang dilewatinya. Retha lalu  menghentikan motor tepat di depan rumah paling besar di perumahan itu.  Perumahan itu memang bukan perumahan kumuh, tetapi rasanya Retha seperti  memasuki sebuah dunia baru ketika melewati gerbang dan memasuki halamannya yang  berumput.
Retha pikir akan ada seorang wanita paruh baya yang menyambutnya dengan  rol di rambut dan gemerincing gelang di tangannya seperti biasa. Namun, sosok  yang muncul di balik pintu justru seorang pria bertelanjang dada. Meski usianya  sudah paruh baya, tetapi perawakannya masih gagah tanpa perut buncit.
“Eh, Pak Damar,” sapa Retha sambil mengulurkan kantong plastik berisi  tujuh kotak makan. “Ini, pesanan Ibu.”
Pria itu menerima kantong itu, sementara Retha merogoh-rogoh saku jaket  untuk mengambil nota dan menyerahkannya. "Totalnya jadi segini, ya.”
Pak Damar mengambil kertas itu dan bertanya dengan nada santai,  "Sudah ada yang baru belum, Mbak?"
“Apanya yang baru, Pak?"
"Pacar lah," kata Pak Damar, sementara Retha melongo.  "Mbak Retha baru cerai kemarin, 'kan?"
Hah?
Retha membutuhkan waktu beberapa saat untuk meyakinkan diri bahwa dia  tidak salah dengar, dan lebih lama lagi untuk mencerna perkataan itu, karena … serius?  Dari segala macam topik yang bisa dibicarakan, bapak ini malah memilih itu?
"Setahun yang lalu, Pak," kata Retha. "Bukan  kemarin."
“Saya sama istri masih suka heran, lho, Mbak,” lanjut Pak Damar, sama  sekali tidak mengacuhkan koreksinya. “Pasangan kayak Mas Daniel sama Mbak Retha  kok bisa cerai, padahal selama ini kalian kelihatan rukun. Apalagi nikahnya  belum ada lima tahun, ‘kan, Mbak?”
“Yah, enggak cocok, Pak,” kata Retha ingin mengakhiri obrolan ini  secepatnya.
 Namun, tumpahan rasa penasaran Pak Damar ternyata belum usai.
"Dengar-dengar, Mas Daniel sudah punya yang baru, ya?" tanyanya  lagi. "Kata orang-orang daerah sana, kadang-kadang ada cewek mampir ke  rumah!"
Sudah tak terhitung berapa kali Retha memendam kebencian karena berada  satu kompleks dengan mantan suami plus memiliki tetangga-tetangga ajaib  yang super kepo. Bisa-bisanya mereka merasa perlu untuk melaporkan segala  aktivitas mantan suaminya  kepadanya.
Dia bisa saja menjawab, "ya iyalah, udah ada yang baru, dia kan udah  mulai PDKT dari sebelum cerai," tapi mengatakan itu terasa seperti  mempermalukan dirinya sendiri. Seperti mengumumkan kekurangannya ke seluruh  dunia. Dia akan dicap sebagai istri yang gagal mempertahankan suami hingga  suaminya memilih wanita lain.
Akhirnya, Pak Damar mengulang pertanyaan intinya: "Kalau Mbak Retha  gimana? Belum ada siapa-siapa?"
"Oh … belum ada, nih," Retha menjawab, tidak lupa dengan bumbu  tawa garing yang disertai harapan agar Pak Damar peka terhadap kerisihannya.
Sayangnya, harapannya terlalu muluk—atau otak Pak Damar yang terlalu  tumpul.
"Kok bisa?" tanya Pak Damar lagi. "Mbak Retha masih muda,  loh. Pasti ada dong, barang satu dua laki-laki yang mau sama Mbak. Saya aja  mau, hahaha.”
Kali ini, Retha tidak bisa tertawa. Mudah saja Pak Damar bicara begitu.  Kenyataannya, jika suaminya saja tidak menginginkannya, mana mungkin ada  laki-laki lain lagi yang mau?
Karena diburu waktu, Retha langsung berkata, “Maaf, Pak, saya buru-buru,  nih. Kalau gak ada tunai, saya bisa catat bon, kok.”
Namun, Pak Damar mengibaskan tangan meremehkan. Dia mengambil dompet dan  menarik sejumlah uang. Lembaran-lembaran kertas berwarna merah menyapa matanya,  tetapi anehnya, jiwa matre Retha tetap tidak terbangkitkan.
“Nikah sama saya tuh makmur, lho, Mbak,” kata Pak Damar, dengan nada  seperti sales asuransi yang menawarkan produknya, sambil menghitung lembaran  uang di tangannya. “Mbak Retha ingin apa saja bisa langsung beli. Main ke luar  negeri, gampanglah, bisa diatur. Anak mau disekolahin ke mana aja, aman  …."
Retha menahan godaan untuk langsung menyambar uang itu, melempar  kembaliannya, lalu kabur secepat kilat dari sini.
"Wah, puji Tuhan," katanya datar. "Senang, ya, jadi Bu  Damar."
Perkataan itu sama sekali tidak ditujukan dengan niat dengki atau apa,  tetapi Pak Damar justru mengangkat dagu dengan raut congkak. "Nah,"  lanjutnya. "Mbak mau, nggak, jadi Bu Damar kedua?"
Hening sesaat. Saking syoknya, Retha hanya bisa bengong dengan mulut  membuka dan menutup berkali-kali seperti ikan koi.
"Tiap bulan, saya bisa kasih dua digit," ujar Pak Damar lagi.  "Tambah rumah juga. Tapi, nggak di sini, sih. Bisa ribut besar, hahaha.  Saya sudah ada incaran di perumahan daerah utara sana, kan lebih enak lagi  kalau ada istri muda nungguin—"
Enak, kepalamu! Retha berpikir geram. Justru karena sifat pria  yang tidak pernah puas semacam Pak Damar inilah, dia menjadi seorang janda  sekarang. Seandainya dia menerima menjadi istri kedua, apa yang bisa menjamin  bahwa dia tidak akan menjadi janda lagi ketika Pak Damar sudah bosan dengannya,  seperti Daniel yang bosan hanya dalam tiga tahun pernikahan?
"Nggak, deh, Pak," kata Retha dengan sabar, meskipun  sesungguhnya satu-satunya yang dia inginkan hanyalah menjerit murka. "Saya  belum minat berkomitmen lagi."
Pak Damar berdecak, seakan keputusan Retha merugikannya secara langsung.
"Daripada susah-susah jualan gini, mendingan nikah lagi, tho?"  ujarnya. "Sudah ada yang mau menafkahi, kepengin apa tinggal bilang. Kok ya  milih jalan susah?"
Retha tidak ingin mendengar lebih jauh. Dia langsung merogoh saku,  mengambil beberapa lembar uang sejumlah kembaliannya, lalu menyerahkannya pada  Pak Damar. “Ini kembaliannya, Pak.”
Namun, yang tidak dia duga, Pak Damar justru memegang tangannya yang  menyodorkan uang itu dan menariknya kuat. Keseimbangannya goyah.
Karena Retha sama sekali tidak ingin menabrakkan hidung ke dada berbulu  itu, dia menyorongkan tangannya yang bebas dan menahan tubuhnya agar tidak  menimpa tubuh Pak Damar. Telapak tangannya yang bersentuhan dengan kulit  telanjang bapak-bapak ini terasa seperti sebuah dosa, dan dia spontan menarik  diri begitu memperoleh kembali kendali dirinya.
Persetan dengan sopan santun. Retha menyambar dua lembar uang seratus  ribu  dari tangan Pak Damar dan langsung mengusap-usap telapak tangannya  ke celana dengan jijik. Tanpa menoleh atau mengucap salam, dia langsung berlari  ke motornya dan meninggalkan tempat itu.
Jantungnya masih berdebar-debar. Seluruh tubuhnya menggigil hingga  giginya bergemeletuk. Entah takut atau marah, dia tidak yakin, mungkin  keduanya. Namun, yang jelas, dia berharap ini akan  menjadi kali terakhir dia bertemu dengan Pak  Damar.