Rintik hujan menemani penantian seorang gadis yang berada dalam sebuah kamar mandi. Berharap dan berdoa yang keluar bukanlah yang ditakuti. Namun ... dua garis merah begitu pekat terpatri, pada benda kecil yang tampak tak berarti namun sangat-sangat penting. Sontak, jantung gadis 25 tahun bernama Sastia Rashaliani itu berdetak nyeri. Irisnya gelisah sekali.
"Sas, kamu cantik sekali malam ini."
Sastia menggigit bibir bawah. Dadanya sesak tiba-tiba. Teringat akan sebuah suara, pujian yang sungguh manis dan memesona. Sebuah malam yang hanya ada mereka di sebuah vila mewah.
"Jangan, Raka... aku takut. Aku takut Ayah sama Ibu tau...." Sastia berusaha menolak. Namun, rayuan-rayuan Raka malah menguat. Dan Sastia, hanya terdiam ketika wajah lelaki itu semakin dekat. Matanya pun terpejam kala merasakan bibir sang pria. Malam itu, Sastia kalah. Tak bisa lagi melawan.
"Sastia... aku mau kamu malam ini. Kamu pasti mau aku juga, kan?"
Otak Sastia kian berputar. Suara itu terngiang-ngiang. Tangannya mulai gemetar, kakinya melemas bagai tak bertulang. Sastia yang malang pun terduduk lemah di penutup WC duduk yang sudah tua. Sastia jelas mengingat apa yang sudah ia lakukan dengan Raka.
Kepalanya ia geleng-gelengkan, berusaha menepis apa yang menerpa pikiran. Namun, suara dan perbuatan pria itu tak dapat dilepas dari akal. Sastia mulai terisak, memeluk tubuhnya yang terbalut baby-doll biru muda.
Lalu, bagaimana sekarang? Sastia sudah positif berbadan dua berkat kebejatan Raka yang kerap memaksanya berhubungan di luar nikah. Apa yang harus Sastia lakukan? Ia tidak berani menghadap orangtua. Tidak berani berkata yang sebenarnya. Tapi jika harus disembunyikan, sampai kapan itu bisa ia lakukan?
"Tiaaa. Kok lama banget di dalem? Ngapain? Sembelit? Ibu mau masuk, kebelet pipis, nih!" seru Rini, ibu dari Sastia dari luar kamar mandi.
Seketika, jantung Sastia semakin sakit. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya yang langsing. "Iya, Bu, sebentar!" balasnya berusaha tidak bergetar.
Lantas, dengan kaki lemas yang sedikit gemetar, Sastia mulai melangkah. Membuka pintu kamar mandi, lalu keluar darinya. Matanya pun bertemu dengan mata Rini, sang bunda. Tak terlalu lama, sebab Rini sudah terlalu kebelet untuk banyak bersitatap yang dirasa tiada berguna.
"Awas, Tia. Udah gak tahan Ibu!" Rini sedikit menarik tangan Sastia supaya keluar sempurna dari kamar mandi.
Pintu kamar mandi pun ditutup oleh Rini, tanpa melihat wajah pucat anaknya karena menahan perasaan terombang-ambing.
Dengan wajah yang berusaha dinormal-normalkan, Sastia pun berjalan menuju kamar sambil menyembunyikan testpack bergaris duanya. Melewati ayah dan kakak lelakinya yang tengah disibukkan oleh acara sepak bola, hingga sampai di kamar paling pojok, lalu memasuki dan menguncinya.
Manik Sastia mengedar, mencari di mana ponselnya berada. Setelah mendapatkan, ia langsung mengambilnya. Dengan gerakan cepat, jemarinya mengincar satu nama. Satu-satunya nama dari orang yang harus bertanggung jawab.
"Halo, Sas."
"H-halo."
"Kenapa nelfon?"
"Raka... la-lagi sibuk, gak?" Suara Sastia terbata-bata. Takut sekali untuk mengatakannya.
"Enggak. Kenapa?"
Ada hening sejenak, sebab Sastia yang tidak dapat langsung mengatakan maksudnya.
"Sastia, kok lama banget?"
"I-ini... aku... udah 3 minggu telat haid, terus tadi ... tadi aku tes, terus hasilnya dua garis," ungkap Sastia gemetar. Menggenggam tulang hasta dengan tangan lainnya yang begitu dingin.
"Hah?! Gak mungkin. Mana bisa!"
"Beneran, Raka, aku gak bohong...." Wanita itu mulai menangis lirih.
"Kita cuma ngelakuin dua kali, masa bisa langsung jadi?! Ah enggak, salah tuh pasti." Namun, yang di ujung sambungan hanya merespons sesuka hati.
Sastia menggeleng-gelengkan kepala meski yang di sana tidak melihat. "Gak salah, Raka, gak salah.... Kamu harus tanggung jawab, aku takut banget," isak Sastia penuh permohonan.
"Gak, aku gak mau! Aku belum mau nikah, Sas. Aku masih 27. Planning nikah aku itu umur 30 dan... God, come on, Sas... yang benar aja? Udahlah, gugurin aja."
Hati Sastia semakin tercabik dibuatnya. Enak sekali mulut Raka melempar kalimat yang sungguh tak berperikemanusiaan. Memangnya semudah itu menggugurkan janin? Memangnya semudah itu melenyapkan sebuah nyawa?
"Tapi ini anak kamu, Raka. Masa kamu tega? Aku gak mau negbunuh anak aku sendiri. Kamu gak boleh kayak gitu... kamu harus tanggung jawab pokoknya...." Isakan pedih Sastia semakin parah. Air mata pun kian berlimpah meski suaranya ia redam sebisa mungkin supaya tak terdengar keluarga.
"Tanggung jawab, tanggung jawab. Tau apa kamu soal tanggung jawab? Tanggung jawab aku juga di sini banyak. Gak usah nambah-nambahin!"
"Kamu kok gini, sih? Kamu baik banget waktu maksa aku ngelakuin itu... tapi setelah aku hamil, kamu malah kayak gini. Aku gak mau tau, Raka, kamu harus tanggung jawab...." Sastia masih menangis dengan kepiluan yang kian mencekik.
"Ah, sialan!"
"Raka...."
"Ya udah. Oke, fine, aku tanggung jawab, tapi ada syaratnya."
"A-apa?" Gadis itu mulai sesenggukan.
"Kamu gak boleh ngatur-ngatur hidup aku. Aku gak mau kalau kamu sampai jadi istri yang sok-sok ngatur suaminya karena aku belum mau terbebani sama istri dan anak. Aku masih mau bebas!"
Sastia terdiam.
"Dengar gak kamu, Sastia?"
"D-dengar."
"Mau atau enggak? Kalau gak mau, terserah. Tapi ya jangan harap aku mau nikahin kamu."
Tangan hingga jemari Sastia semakin gemetar akibat sedih yang membuatnya menggigil. Suara Raka begitu ketus, tidak ada lembut-lembutnya barang sedikit. Sejenak, tidak percaya pada diri dan perasaannya sendiri. Mengapa harus mencintai lelaki seperti Raka yang tidak punya hati.
"Iya, Raka... a-aku mau, asalkan kamu bener nikahin aku, ya...." Sastia berujar, dengan suara yang bergetar pasrah.
Sungguh kejam Raka, meletakkan Sastia di tempat tanpa pilihan. Namun, Sastia sudah benar-benar gentar, goyah, dan ketakutan. Hanya Raka saja yang bisa ia harapkan, demi kejelasan status anaknya yang tidak berdosa.