“Ha-Neul, kau di mana?”
Lee Ha-Na sudah mengedarkan pandangan nyaris ke setiap sudut ruangan apartemen Ha-Neul, tetapi saudari kembarnya masih belum juga ia temukan. Ia khawatir jika Lee Ha-Neul kembali melewatkan jadwal minum obatnya seperti kemarin. Entah kenapa belakangan ini Ha-Neul memang sering sekali melupakan rutinitas wajibnya itu hingga Ha-Na merasa perlu untuk selalu menjadi alarm pengingatnya. Ha-Na tetap rutin menjadi alarm bagi Ha-Neul meski ia hanya bisa melakukannya lewat panggilan telepon. Lokasi kantor Ha-Na yang terletak di daerah Bucheon membuatnya harus tinggal terpisah dari Ha-Neul yang tinggal dan bekerja di Seoul. Sehingga mau tidak mau ia harus merasa puas dengan hanya bertemu adik kembarnya di akhir pekan dan hanya bisa menjaganya dari kejauhan.
Gadis itu menghela napas, merasa lelah setelah bekerja seharian di kantor, ditambah hampir menyerah untuk mencari keberadaan Ha-Neul. Ia menghentikan langkahnya sejenak, kemudian mengangkat tangan untuk memijat tengkuknya yang pegal. Banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan di kantor sepanjang hari ini hingga hanya rasa lelah saja yang tersisa ketika pulang.
Saat pandangannya tertuju pada anak tangga yang menghubungkan ke ruangan di lantai dua dan teras atap, Ha-Na baru teringat pada kebiasaan baru yang sering dilakukan adiknya. Jika tidak ada jadwal siaran di stasiun radio tempatnya bekerja, Ha-Neul sering menghabiskan waktunya di teras atap seorang diri sambil menatap langit dan mendengarkan musik melalui earphone-nya. Setidaknya itulah yang selalu diakui oleh Ha-Neul saat Ha-Na meneleponnya selama beberapa hari terakhir.
Dan benar saja, sesampainya Ha-Na di teras atap, ia mendapati Ha-Neul memang sudah ada di tempat itu. Namun, kali ini tampaknya ada yang berbeda dari biasanya. Ha-Neul tidak sedang menatap langit maupun mendengarkan musik. Gadis itu duduk menghadap sebuah kanvas yang tegak dengan penyangga kayu. Tangan kanannya memulas tinta di kanvas itu dengan cepat dan lihai.
Ha-Na merasa penasaran objek apa yang sedang dilukis adiknya, karena ia bisa menangkap sesimpul senyum terulas di bibir merah muda gadis itu. Ha-Neul seolah sedang membagi kebahagiaan pada kanvas di hadapannya. Gadis itu memang pandai melukis, tetapi terbilang sangat jarang menyalurkan bakatnya itu. Jika ia sudah mengeluarkan kanvas dan alat melukis lainnya, itu berarti ada hal istimewa yang sedang terjadi dalam hidupnya.
Ha-Na berdeham, dengan jahil sengaja mengusik Ha-Neul dari konsentrasinya. “Apa kau hanya ingin membagi kebahagiaanmu pada kanvas itu saja tanpa membaginya juga pada buku diary berjalanmu ini?” tanya Ha-Na yang disudahi dengan sebuah kekehan kecil. Pertanyaan yang dilontarkan Ha-Na barusan membuat Ha-Neul refleks menghentikan aktivitasnya. Ia lalu mendongak menatap Ha-Na yang sudah berdiri di belakang kanvasnya.
“Astaga, kau ini mengagetkanku saja!” ujar Ha-Neul tanpa mengurangi simpulan senyumnya yang dihiasi dekik di pipi kanan yang manis itu.
“Kaget? Aku bahkan sudah ada di hadapanmu sebelum kau mencelupkan kuasmu ke tinta warna biru.”
“Benarkah? Kok aku tidak sadar, ya?” gumam Ha-Neul.
“Wah, wah, memangnya tadi itu kau melukis atau melamun, huh?” canda Ha-Na.
“Entahlah, keduanya mungkin?” Ha-Neul terkikik.
Ha-Na berdecak sambil menggeleng. “Apa kali ini kau telat makan dan minum obat lagi?”
Ha-Neul meringis, tanda bahwa ia membenarkan kecurigaan saudari kembarnya. Ha-Na pun memutar bola matanya, lalu menghela napas, “Pantas saja sepanjang perjalanan pulang tadi perasaanku tidak enak.”
“Maaf, aku akan makan dan minum obatku setelah aku selesaikan lukisan ini. Tinggal sedikit lagi.”
Ha-Na menyipitkan mata. “Memangnya apa yang sedang kau lukis sampai-sampai kau rela menunda makan dan minum obat, hm?”
Ha-Neul menatap Ha-Na dalam beberapa detik. “Seorang pria,” jawabnya sambil tersenyum, lalu melanjutkan lukisannya.
Ha-Na melipat kedua tangannya di depan dada, memandang langit yang menyimpan gemerlap bintang hanya untuk dirinya sendiri sambil menebak-nebak.
“Kau sedang jatuh cinta?” Ha-Na mengalihkan pandangannya dari langit kembali ke arah Ha-Neul.
Alih-alih menjawab pertanyaan kakaknya, Ha-Neul hanya tersenyum simpul. Setelah mengoleskan tinta terakhirnya, Ha-Neul memandangi hasil lukisannya yang telah dia selesaikan dengan tatapan penuh kekaguman. Ada semburat merah yang merona dari kedua pipi putih Ha-Neul saat melihat objek yang telah berhasil dilukisnya dengan sempurna. Ia sendiri tidak menyangka hanya dengan mengandalkan ingatan, lukisannya bisa tampak nyata, benar-benar seperti sosok aslinya.
“Astaga, apa tebakanku benar?” tanya Ha-Na kembali. Dari nada bicaranya, Ha-Na terdengar sangat antusias.
Selama ini Ha-Naeul tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada lelaki manapun, bahkan saat dia masih duduk di bangku sekolah. Entah karena merasa rendah diri karena penyakitnya yang dulu sering sekali kambuh, atau memang ia belum menemukan lelaki yang dianggapnya menarik. Itulah sebabnya Ha-Na merasa sangat bersemangat saat dia yakin pada tebakannya atas perasaan Ha-Neul. Merasa seperti sedang tertangkap basah, Ha-Neul menutup wajahnya dengan kedua tangan, menyembunyikan senyuman malu-malu dan wajahnya yang dia yakini sudah memerah.
“Hei, sudah, berhentilah. Jangan menggodaku terus,” protesnya.
“Aku hanya ingin memastikan saja. Jika memang benar adikku ini sedang jatuh cinta, bagaimana bisa aku tidak ikut merasa bahagia?”
Ha-Neul pun menurunkan kedua tangan dari wajahnya, dan menunjukkan senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya.
“Kau benar, Ha-Na. Aku sedang merasa seperti itu, seperti yang kau katakan tadi, jatuh cinta. Aku baru merasakan perasaan seperti ini. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan dan menggelitik perutku. Astaga, inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Apa aku terlalu terlambat untuk merasakannya?”
Ha-Na tersenyum mendengar kata-kata Ha-Neul yang jujur dalam mendeskripsikan perasaannya. “Siapa bilang? Tidak ada kata terlambat untuk jatuh cinta.
“Sepertinya hatiku akan segera meledak jika tidak segera menceritakan kisah jatuh cintaku yang konyol ini kepadamu,” tambahnya, lalu terkekeh.
“Baiklah. Kau bisa menceritakannya nanti setelah kau minum obatmu. Walau bagaimana pun, kau tidak boleh mengabaikan kesehatanmu. Kau harus mencintai dirimu sendiri dulu sebelum memutuskan untuk mencintai orang lain,” perintah Ha-Na. Ia mengulurkan tangan kanannya, lalu menepuk-nepuk pipi kiri Ha-Neul dengan penuh kasih sayang.
“Aku mengerti, Ibu Kecil. Aku akan mematuhi dan melaksanakan perintahmu,” kata Ha-Neul. Ia pun segera beranjak meninggalkan Ha-Na dengan patuh.
Ha-Na memang selalu sekhawatir itu terhadap kondisi kesehatan Ha-Neul. Ia merasa memiliki kewajiban untuk menjaga adik kembarnya itu, apalagi sejak mereka harus tinggal jauh dari sang ibu.
Masih sangat jelas dalam ingatannya ketika Ha-Neul kolaps tiga belas tahun yang lalu. Adiknya itu mendadak kolaps setelah mendengar kabar buruk tentang ayah mereka yang meninggal dunia karena kecelakaan di tempatnya bekerja. Bahkan hari itu Ha-Na begitu takut akan kehilangan dua orang yang dia sayangi sekaligus di waktu yang sama. Kondisi Ha-Neul saat itu benar-benar mengkhawatirkan.
Orang dengan penyakit lemah jantung seperti Ha-Neul memang tidak boleh berada dalam kondisi yang membuatnya terpukul, karena hal itu akan memperburuk kesehatannya. Ha-Na tidak ingin mimpi buruk itu terjadi lagi untuk kedua kalinya. Jadi, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga Ha-Na dengan cara apa pun dalam kondisi sesibuk apa pun. Sikap protektif dan perhatiannya kepada Ha-Neul sangat mirip seperti ibunya, itulah alasan mengapa Ha-Neul kerap menjulukinya Ibu Kecil.
Setelah Ha-Neul berlalu, perhatian Ha-Na kini teralih pada kanvas lukisan Ha-Neul yang masih bertengger di atas kayu penyangga dan memunggunginya. Ia baru saja akan melangkah memutari kanvas untuk melihat hasil lukisan Ha-Neul ketika sang adik memanggilnya.
Panggilan Ha-Neul membuat saudari kembarnya refleks menoleh ke sumber suara. Ha-Neul berdiri di depan pintu kaca dengan senyum yang mengembang sambil menunjukkan bentuk huruf V dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.
Ha-Na menghela napas menyerah. “Kau sudah merindukan gelitikan dari jari-jariku ya?” tanya Ha-Na dengan nada mengancam seraya berkacak pinggang.
“Eh, tidak tidak! Bukan seperti itu,” bantah Ha-Neul.
“Lalu?”
“Maafkan aku, tetapi… aku tidak tahan untuk segera menceritakannya kepadamu, Ha-Na. Kumohon beri aku kesempatan sebentar saja,” pinta Ha-Na dengan memanjangkan intonasi pada kata sebentar. Tak ketinggalan tatapan puppy eyes-nya yang akhirnya membuat Ha-Na luluh.
Ha-Na melipat kedua tangannya di depan dada, pura-pura menunjukkan ekspresi marah. “Um-hum. Kalau begitu coba ceritakan. Waktumu hanya lima menit.”
Seketika Ha-Neul membulatkan matanya. “Lima menit? Sebentar sekali,” protesnya keberatan.
Ha-Na menatap jahil ke arah adik kembarnya. “Kau sendiri yang meminta waktu se-ben-tar, bukan?”
“O-okay. Baiklah, baiklah. Lima menit, kan? Ee.. Sebenarnya… dia pria yang kutemui usai pemeriksaan rutin terakhirku di rumah sakit. Saat itu aku baru selesai menebus resep obat, aku tidak sengaja menabraknya karena terlalu sibuk membuka resleting tasku yang tiba-tiba macet saat itu. Dompet dan obat-obatku terjatuh, lalu dia membantuku mengambilnya. Saat dia mendongak dan melihat wajahku, tidak tahu kenapa dia bereaksi aneh. Tiba-tiba dia memegang kedua sisi wajahku dan menatapku dengan tatapan cemas. Sambil sesekali menempelkan punggung tangannya ke kening dan pipiku, dia memanggilku dengan namamu dan membombardirku dengan pertanyaan seperti: apa kau baik-baik saja?, apa kau sakit? dan kenapa kau membawa banyak obat-obatan?” terang Ha-Neul secepat kereta api ekspres.
“Kurasa dia mengira aku adalah kau. Dia sempat bingung saat aku menjelaskan bahwa aku ini bukan Lee Ha-Na, tetetapi kembarannya yang bernama Lee Ha-Neul. Ketika dia menyadari kesalah pahamannya, dia terdiam, lalu sepersekian detik kemudian dia menertawakan kekonyolannya sendiri,” tambahnya.
Kebahagiaan terpancar jelas di wajah Ha-Neul. Bahkan tawa renyahnya juga menunjukkan hal yang sama. Binar matanya juga akan membuat semua orang yang melihatnya tahu bahwa dia memang sedang benar-benar jatuh cinta.
Tenggelam dalam ceritanya sendiri, Ha-Neul sampai tidak sadar ada perubahan yang terjadi pada raut muka Ha-Na saat menyimak ceritanya. Bibir Ha-Na terkatup rapat meskipun ia masih mengusahakan agar bisa tetap tersenyum untuk Ha-Neul. Dalam diamnya, otak Ha-Na berpikir keras menerka-nerka tentang sosok pria yang baru saja diceritakan oleh Ha-Neul. Sebab, tidak ada pria yang akan secemas itu saat terjadi sesuatu kepadanya selain kekasihnya. Segala kemungkinan itu hanya berpusat pada satu nama. Semua dugaannya itu menjadi semakin kuat saat ia ingat akan satu hal. Kemarin kekasihnya sempat bercerita padanya bahwa ia akan mengantar ibunya melakukan pemeriksaan rutin ke rumah sakit. Jadi, apakah Ha-Neul...
“Dan kau tahu, Ha-Na? Aku tidak bisa melupakan bagaimana matanya melengkung seperti pelangi saat dia tertawa. Astaga, kupikir aku sudah gila. Aku terus mengingat dan memikirkannya sejak saat itu,” tutur Ha-Neul menggebu-gebu, menyela gagasan-gagasan tidak mengenakkan yang sudah mulai menyelubungi otak Ha-Na.
“Omong-omong, apa kalian sempat berkenalan?” tanya Ha-Na pelan. Suaranya hampir tercekat di tenggorokan.
Ha-Neul mendesah. “Itu dia, masalahnya. Aku sudah memberitahu namaku, tetapi dia tidak sempat memberitahuku namanya. Saat itu ibunya mengeluhkan pusing, jadi dia terburu-buru untuk segera pulang. Uhm, mungkin kau akan tahu siapa dia setelah melihat lukisanku?”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Karena kurasa dia mengenalmu, Ha-Na. Jadi, tolong lihatlah!”
“Baiklah,” kata Ha-Na menyetujui.
Atas permintaan Haneul, ini kedua mata Ha-Na hanya terpaku pada objek yang terlukis di atas kanvas. Sesuatu yang ditakutkan gadis itu beberapa saat lalu ternyata menjelma sebuah kenyataan. Seketika wajah Ha-Na memucat seolah jantungnya berhenti memompa darah ke seluruh tubuh.
Awalnya, Ha-Na berharap agar saat-saat yang sedang dihadapinya ini hanyalah mimpi buruk yang sedang terjadi dalam tidurnya, dan saat ia terbangun nanti semuanya akan kembali baik-baik saja. Namun, harapan tinggal harapan. Semua yang dilihatnya saat ini tidak lain adalah sebuah kenyataan yang perlahan mulai meruntuhkan dunianya. Ha-Na mengangkat kedua tangan dan menutup bibirnya. Ia khawatir akan ada isak yang menyelinap keluar dari sana. Pandangannya perlahan mengabur karena cairan bening yang mulai menusuk-nusuk kelopak matanya.
“Kenapa harus Jang Woo-Bin?”
Ha-Na segera sadar jika Ha-Neul masih menunggunya untuk memberitahu nama pria itu. Maka, ia buru-buru mendongakkan kepala untuk menghalau air mata yang sudah siap tumpah.
“Bagaimana? Kau mengenalnya, bukan?” tanya Ha-Neul tidak sabaran.
Meski pahit, Ha-Na mencoba untuk tersenyum, sampai-sampai Ha-Neul pun tidak melihat gurat kesedihan yang berhasil ia sembunyikan dari wajahnya. Ia lalu mengangguk.
Setelah dengan susah payah menguatkan hati, Ha-Na pun membuka suaranya, “Tentu. Dia… temanku, namanya Jang Woo-Bin.”
Teman. Ha-Na terpaksa memilih kata itu untuk menggambarkan hubungannya dengan Woo-Bin di hadapan Ha-Neul. Bagaimana bisa ia akan tega menceritakan hubungan yang sesungguhnya terjalin antara dirinya dengan Jang Woo-Bin sementara benih cinta baru saja tumbuh di hati adiknya terhadap pria yang sama?