Tuhan berikanlah istirahat,
Abadi dan tenang bagi yang wafat.
Beri pengampunan, segala dosanya.
Karena Maha Murah, hati-Mu Allah.
Kana duduk memangku Lionel menghadap peti mati berwarna putih. Ia menyanyikan kidung kematian lirih bersama sanak saudara dan para sahabat. Karangan bunga dan foto mendiang Kemala tampak cantik. Waktu tutup usia setiap insan memang misteri. Kana mengira salah satu budenya yang sudah sakit-sakitan dan berusia lima puluh tahun akan dipanggil terlebih dahulu. Namun, kenyataan berkata lain. Tuhan menghendaki wanita berusia 28 tahun yang tiga bulan lalu masih sehat untuk menghadap-Nya.
"Papa, kenapa ditutup? Mama kepanasan." Lionel menarik lengan baju Satria yang duduk di sebelah kanan Kana.
Hati Kana tersayat mendengarnya. Keponakannya masih terlalu kecil untuk memahami arti kematian. Apakah wajar bocah berusia empat tahun seperti Lionel tidak menangis pada misa requiem ibunya sendiri, Kana juga tidak tahu.
"Mama sudah bahagia sama malaikat di surga, Lio," Kana menjawab karena tak kunjung mendengar tanggapan Satria.
"Mama ke surga?" Lionel menoleh. "Kenapa nggak ajak Lio?"
Kana mengecup puncak kepala Lionel. "Nanti kalau waktunya tiba, Lio sama papa bakal akan menyusul mama ke surga."
"Kalau sekarang nggak bisa?" tanya Lionel.
"Belum waktunya."
Kana mencuri pandang pada Satria. Laki-laki begitu diam, hanya melihat lembaran kertas berisi ayat kitab suci dan lagu-lagu untuk mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhir. Semua orang termasuk Kana maklum, Satria pasti sangat terpukul dengan kematian Kemala.
Tiga bulan yang lalu, Kemala mengemudikan mobil bersama Lionel. Mereka hendak memberikan kejutan bagi Satria yang berulang tahun ke-30. Kemala membawa berbagai macam makanan kesukaan sang suami. Semua ia masak dengan tangannya sendiri. Kejutan manis sudah Kemala susun dalam catatan detail. Ia yakin Satria akan senang dua orang yang disayanginya datang pada hari pentingnya.
Akan tetapi, rencana tinggal rencana. Jalanan basah sehabis hujan deras mengguyur selama beberapa hari. Pada saat itu pun gerimis turun. Seorang bocah pengamen menyeberang tanpa menghiraukan kendaraan yang lalu lalang. Kemala membanting setir ke kiri demi menghindari sang pengamen. Nahas sekali, mobilnya menabrak pembatas jalan. Tak hanya itu, truk di belakang mobil Kemala menabrak mobilnya karena tak sempat mengerem.
Lionel terluka. Lengan kirinya patah dan terpaksa dioperasi, sementara Kemala mengalami cedera lebih parah. Ia koma selama tiga bulan hingga akhirnya berpulang tadi malam.
Suara ponsel bergema di tengah prosesi. Kana menoleh untuk mencari dari mana suara itu berasal. Satria merogoh ponsel dari kemeja hitamnya lalu keluar tanpa permisi.
"Papa, ikut!" Lionel merosot dari pangkuan Kana, berlari kecil menyusul sang ayah keluar dari ruang tamu.
"Kasihan ya Lionel." Raka yang sejak tadi diam di sebelah kiri Kana ikut berbisik.
Kana mengangguk. "Ya. Mana Mas Satria sibuk banget kerja."
Bukan sekali dua kali ponsel Satria berdering. Sebagai Manager Legal di sebuah perusahaan telekomunikasi besar, ia mendapat banyak ucapan duka cita dari berbagai pihak. Sejalan dengan kinerjanya yang sangat baik, maka atasannya bersimpati pada Satria atas musibah yang ia alami.
Kana bisa berkata betapa sibuknya Satria karena melihat sendiri. Selama Kemala dirawat di rumah sakit, Satria sangat jarang menjenguknya. Kana yang rajin membawakan pakaian ganti dan mengajak Kemala mengobrol meski tak ada tanggapan. Kana juga yang menjenguk Lionel selama bocah itu di rumah sakit. Satria selalu mengatakan ada urusan kantor yang tak dapat ditinggal atau didelegasikan kepada bawahannya.
"Aku nggak nyangka Mbak Mala akan dipanggil secepat ini. Aku berharap pernikahan kita dihadiri keluargaku lengkap." Air mata Kana menetes untuk kesekian kali.
Raka meraih jemari Kana. Mengusapnya perlahan. "Mbak Mala akan tenang dan bahagia kalau adiknya bahagia juga."
Kana menyandarkan kepala di bahu Raka. Air matanya menetes. Raka menghapusnya dengan penuh kasih sayang.
Peti mati itu kemudian diangkat oleh beberapa orang menuju mobil hitam. Raka menyopiri mobil yang ditumpangi Kana, Pak Sungkono, dan Bu Utami sampai ke Taman Pemakaman Umum.
Peti mati Kemala diturunkan ke liang lahat. Tanah menutupinya. Tangan mungil Lionel mengambil bunga lalu menaburkannya ke atas gundukan basah itu.
"Bye-bye, Mama," bisik Kana ke telinga Lionel seolah memintanya menirukan salam perpisahan.
"Nggak mau. Lio nggak mau bye-bye sama Mama. Mama pulang ke rumah kan, Tante?" tanya Lionel. "Tuhan nggak akan biarin Mama lama-lama di surga kan Tante?"
Kana tak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia jujur demi kebaikan Lionel, tapi menghancurkan hatinya atau berbohong asal keponakannya itu senang, tapi berharap ibunya kembali?
"Papa, Mama pulang kan?" Lionel menarik-narik celana Satria karena tak kunjung mendapat jawaban memuaskan.
Namun, Satria bergeming. Lionel terus menarik-narik celana Satria sampai Bu Utami menggendong sang cucu.
"Eyang Uti, Mama pulang ke rumah kan?" tanya Lionel.
"Lionel kalau mau ketemu Mama, bisa ketemu lewat doa. Lionel harus rajin mendoakan Mama. Nanti malam berdoa sama Papa ya."
***
Sepulang dari TPU, Kana merasa lemas tak bertulang. Kemala adalah panutannya. Kakaknya yang cantik, tinggi semampai, menjadi model untuk perancang busana lokal semasa kuliah hingga akhirnya dipersunting Satria. Kana selalu ingin menjadi Kemala. Kini ia kehilangan sosok yang memotivasinya untuk sukses.
Raka mengantar Kana ke kamar. Ia tahu betapa terpukul dan berdukanya Kana. Sejak kemarin, tak sedetik pun Raka meninggalkan Kana.
"Ka, jangan pergi dulu," pinta Kana.
"Iya, Sayang. Aku di sini." Raka duduk di tepi ranjang kemudian melingkarkan tangannya memeluk Kana.
"Maaf ya aku nangis terus dari kemarin," ucap Kana.
"Nangis aja. Aku dulu juga nangis pas Omaku meninggal." Raka membelai lembut kepala Kana.
Kana selalu senang berada dekat Raka. Sejak berkenalan pada masa SMA, Raka memenuhi impiannya. Ganteng, berprestasi, dan berasal dari keluarga baik-baik. Bibit, bebet, bobotnya jelas. Hubungan pacaran mereka yang terjalin sangat lama juga adem ayem. Memang Raka pernah mengajak Kana mencoba melakukan hal terlarang, tapi Raka selalu memahami penolakan Kana. Prinsip Kana adalah no sex before married. Pertengkaran di antara mereka selalu berhasil diselesaikan dengan sangat baik.
Di masa terberat dalam hidupnya, Raka selalu mendukung Kana. Lampu hijau sudah diberikan oleh kedua orang tua Kana kepada Raka untuk mempersunting Kana. Raka terus mengusap kepala Kana hingga ia merasa tenang. Perlahan usapan di kepala turun ke pipi, lalu ke leher Kana.
Mungkin karena percaya, mungkin juga karena tengah berduka, Kana tak melawan ketika Raka membuka satu persatu kancing kemeja Kana. Ia baru tersadar ketika tangan Raka sudah meremas payudaranya dan memainkan putingnya.
"Raka, apaan sih?" Kana menepis tangan Raka.
"Sssttt, sebentar saja."
"Nggak ya, kamu kan tahu aku nggak pernah mau melakukan ini sebelum menikah." Kesedihan Kana seketika berubah gusar.
"Apa yang kamu takutkan? Kita akan menikah. Orang tua kita udah setuju kan?" bujuk Raka.
"Kalau orang tua kita udah setuju, tunggu aja sampai kita menikah, bukan gini caranya."
"Tapi aku sayang banget sama kamu, Kana. Aku nggak kuat lagi menahan semua ini. Sembilan tahun … hampir sepuluh tahun kita bersama. Bayangin betapa tersiksanya aku harus menahan diri padahal hampir setiap hari kita ketemu. Please, Na, sekali ini aja."
Raka tak hanya memohon, tapi kini tubuhnya merangsek maju, nyaris menindih tubuh Kana. Beruntung Kana sigap berdiri lalu membuka pintu. Ia berlari keluar dari kamarnya sendiri dengan ketakutan.
"Aw!" Kana menabrak seseorang. Ia mengusap kepalanya kemudian mendongak. "Mas Satria?"
Satria memandangi Kana kemudian melongok ke pintu kamar yang terbuka. Raka berdiri di depan pintu.
"Berduaan dengan laki-laki," ucap Satria disertai nada sinis, "Apa anak-anak perempuan keluarga Sungkono semuanya murahan?"