ALENA VELYSIA
Bruk!
Aku berjongkok untuk mengambil bukuku, sekaligus membantu memunguti buku-buku orang yang telah kutabrak.
"Makasih," ucap suara berat yang aku yakini milik seorang pria.
Tanpa melihat siapa orang yang aku tabrak, aku langsung bergegas pergi. Aku sudah sangat terlambat. Aku berlari kecil menuju gedung Fakultas Ilmu Komunikasi.
Hari ini sungguh kacau.
"Ale!" panggil salah seorang temanku ketika aku berhasil mendudukkan pantatku di kursi. Syukurlah aku sampai tepat waktu.
"Apa lo punya rencana setelah ini? Gue kepingin ngajak lo jalan-jalan." Veni, satu-satunya teman yang aku punya di kampus. Aku bukan termasuk orang yang pandai bergaul, jadi punya teman secerewet Veni itu sudah menjadi kebanggaan tersendiri bagiku.
"Maaf, Ven. Aku gak bisa. Kamu kan tau aku harus bekerja," jelasku, mencoba meminta pengertiannya.
Veni menghela napasnya. "Yaudah deh. Sayang banget, padahal gue mau ngenalin elo, sama seseorang."
Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengedikkan bahu.
Aku salah satu mahasiswi penerima beasiswa di kampus ternama di ibu kota. Pastinya, tidak mudah bagiku untuk mendapatkan beasiswa itu. Saat SMA aku belajar mati-matian demi memasuki kampus ini. Dan ternyata usahaku itu membuahkan hasil.
Aku berasal dari keluarga yang kacau balau. Ayah dan ibuku sama sekali tak pernah memperhatikan kondisiku serta adikku yang masih duduk di bangku dasar.
Ayah dan ibuku selalu saja bertengkar. Saling berteriak dan tak ada yang ingin mengalah. Aku selalu melewati malam-malam itu. Tidak ada malam yang damai.
Hidup ini keras. Setelah kuliah, aku pasti akan langsung bekerja. Tak ada hari di mana aku bisa menikmati hidup.
Itulah yang membuatku merasa bersyukur memilki teman seperti Veni. Dia kaya, cantik, dan entah kenapa dia mau berteman dengan gadis miskin sepertiku.
Dosen hadir. Semua mahasiswa juga sudah duduk di tempatnya masing-masing.
Aku meregangkan otot-otot tanganku. Pegal. Seluruh tubuhku rasanya ingin remuk.
"Ale, sampai jumpa besok yaa.. Oh ya gue lupa." Veni menepuk jidatnya. Dia kembali berbalik ke arahku.
"Lima hari lagi gue ultah. Dan gue mau lo pakai ini saat dateng ke pesta gue, oke?"
Aku menerima bingkisan yang di sodorkan Veni. "Ini apa? Mendingan gak usah deh. Aku yakin aku masih punya baju yang layak kok."
"Aduh, Ale. Please sekali ini aja, yaaa. Lo terima pemberian gue. Harus. Gue gak terima penolakan. Lo itu sahabat gue, gak masalah kalau gue ngasih lo sesuatu. Terlebih pada saat malam ultah gue, gue pingin kita berdua terlihat cantik. Paham?"
"Tapi—"
"Udah, gak ada bantahan. Bye, Ale." Veni meninggalkanku begitu saja.
Ya sudahlah. Aku menerima pemberiannya.
Selepas dari kampus aku lagi-lagi harus bergegas menuju tempat kerjaku. Kerja part time yang kuambil adalah menjadi pelayan di sebuah kafe.
"Ale, cepat kau antarkan ini ke meja nomor lima!"
Aku mengangguk mengambil nampan yang berisi hidangan lezat. Ughh.. Perutku terasa lapar. Pagi tadi aku belum sempat mengisi perutku.
"Silakan menikmati hidangannya.." kataku ramah.
Saat hendak berbalik, pandanganku mengarah pada seorang pelanggan yang duduk di kursi dekat pintu keluar. Pria itu balas memperhatikanku.
Dia melayangkan tatapan serius ke arahku. Membuat diriku sedikit tak nyaman. Bukan karena pria itu memiliki tampang kriminal, melainkan pria tampan itu—ralat, benar-benar tampan—berpenampilan rapi dan terlihat keren. Itu yang sedikit membuatku gugup.
Ragu. Aku melangkahkan kakiku melewatinya.
"Tunggu!" kata pria itu menghentikan langkahku saat melintas tepat di sampingnya.
Mampus! Jantungku berdetak cepat.
"Iya?" Ragu-ragu aku menjawab.
Pria itu memicingkan matanya. "Sepertinya kita pernah bertemu?"
Sebelah alisku terangkat. "Benarkah?"
"Heem. Tadi pagi. Kau menabrakku," jelasnya yang membuatku menciut, malu.
"Oh, maaf. Aku tidak mengenalimu. Aku juga tidak sempat meminta maaf dengan baik padamu. Sekali lagi maaf kan aku," kataku yang justru membuat pria itu terkekeh.
Oh tampannya...
"Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin menanyakan, mungkin saja buku kita tertukar." Pria itu mengambil buku dari dalam tasnya. Memberikan buku itu padaku.
Saat melihatnya, aku langsung tau jika itu bukuku. "Benar ini bukuku. Terima kasih yaa.. Em.. Untuk bukumu, bisa aku mengembalikannya sepulang kerja? Mungkin sekitar jam sepuluh malam. Aku tidak mungkin untuk mengambilnya sekarang," jelasku sedikit tidak enak. Yang benar saja dia mau menunggu selama itu.
"Tidak masalah. Aku akan menunggunya," kata pria itu tersenyum padaku. Aku balas dengan senyuman termanis yang bisa kuberikan.
Aku kembali ke dapur dan menyibukkan diri, mencuci piring-piring kotor.
Kafe tempatku bekerja bukanlah kafe yang terbilang mewah. Melainkan kafe nyaman dengan harga makanan dan minuman yang terjangkau. Pas bagi para remaja untuk sekadar nongkrong. Kebanyakan pelanggan di dominasi para kaum muda. Pegawainya juga hanya tujuh orang saja. Termasuk diriku. Untuk itu kita semua sangat sibuk.
"Dia siapa?" tanya Talia yang tiba-tiba sudah bersander pada meja pantry.
Talia juga bisa di katakan salah satu orang yang dekat denganku setelah Veni. Talia gadis yang baik, dia karyawan di sini, seumuran denganku. Untuk itu kita menjadi sangat dekat.
"Siapa?"
"Itu, pria yang tadi berbicara denganmu."
"Ohh, pria itu? Tadi pagi aku menabraknya dan buku kami tertukar."
"Dia sangat tampan yaahh.." ujar Talia yang bisa kulihat ada binar-binar ketertarikan di matanya.
"Hemmm, dia sangat tampan," balasku tak kalah bersemangat. Aku akui, aku terpesona dengan ketampanan pria itu.
"Apa kau suka padanya? Kau suka padanya yaa.." tuding Talia menggoda diriku.
Kurasakan panas menjalar di wajahku. Apa ini? Apa baru saja aku tersipu.
Aku menampik tudingan Talia. "Tidak, aku hanya kagum saja pada wajah tampannya."
Talia terus saja menggodaku. "Hayoo.. Jujur saja padaku.. Suka kan? Iya, suka kan?"
"Tidak! Apa kau tidak ada pekerjaan lain, selain menggangguku bekerja?"
"Heheheheh.. Jujur saja padaku, kau kan tau, kau tidak bisa berbohong padaku," kata Talia lalu pergi meninggalkanku.
Aku menggeleng lemah melihat kelakukannya yang selalu menggodaku. Dia selalu saja menginginkanku untuk segera berkencan dengan seorang pria. Dan untuk kesekian kalinya itu akan menjadi hal yang mustahil bagiku. Dengan kondisiku yang seperti ini? Mana mungkin aku bisa berkencan.
Tak ada waktu bagiku untuk lengah. Semakin malam, pengunjung kafe semakin banyak. Banyak orang yang datang dan pergi secara bergiliran. Dan akhirnya jam kerja habis. Aku mendesah lelah.
Aku mencoba melihat tempat yang pria tadi duduki, kosong. Mungkin dia sudah pergi.
"Dahh.. Ale.."
Aku balas melambaikan tanganku pada Talia. "Dahh.. Lia."
Seperti malam-malam biasanya, aku berjalan pulang sendirian. Di persimpangan jalan, tiba-tiba langkahku terhenti saat ada motor yang menghalangi jalanku.
Aku panik. Pengendara itu mengenakan jaket kulit serta helm full face. Begal? Mana mungkin? Apa yang mau di begal dariku?
Pengendara itu melepaskan helmnya. Oh pria itu..
"Hey.. Aku mencarimu."
Aku menggaruk tengkukku. "Kupikir kau sudah pulang," balasku tak enak.
Tanganku bergerak mengambil buku di dalam tas punggungku. Setelah mendapatkan apa yang aku cari, aku segera menyerahkan buku itu.
"Ini, maaf ya membuat mu menunggu." Aku kembali merasa bersalah untuk kesekian kalinya.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, pria itu langsung melesat pergi. Meninggalkanku yang masih menatap kepergiannya, hingga siluet itu hilang ditelan kegelapan malam. Pria itu sangat misterius bagiku.
Kuharap kita bertemu lagi.
Sampailah aku di depan kontrakan kumuhku. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki rumah penuh derita itu.
"Pria tidak berguna! Apa yang kau lakukan selain mabuk! Dasar bajingan!"
Prang!!
"Apa yang kau lakukan! Dasar wanita bodoh! Aku menyesal menikahimu."
Brak!
Baru saja ayahku melewatiku dan membanting pintu keras-keras. Kondisi rumah sangat kacau. Barang-barang yang terbuat dari kramik pecah, serta barang-barang lainnya yang berserakan di lantai.
Tidak peduli dengan kondisi ibuku yang sedang duduk di ruang tamu sambil menyangga kepalanya dengan kedua tangan—akibat pusing yang menyerangnya, mungkin. Aku bergegas masuk kedalam kamar adikku.
Miris begitu melihat dirinya yang terduduk di lantai dengan kedua kaki terlipat serta kepala menunduk dalam. Sayup-sayup aku mendengar rintihannya.
Kupeluk tubuh mungil itu. Saat berada dalam pelukanku, tubuhnya kembali bergetar hebat akibat tangis. Aku yang tak tega melihatnya terus tertekan seperti itu, menguatkan tekadku untuk mengambil keputusan yang sudah lama ingin kulakukan.
"Alesha. Kita akan pergi dari rumah. Cepat kau beresi barang-barangmu. Kakak akan merawatmu sendiri."
Alesha menatapku dengan mata sembabnya. "Apa Kakak yakin? Lalu bagaimana dengan Ibu?"
"Kita bisa mengunjunginya lain kali. Kau ikut Kakak yaa?" Aku mengelus surai berantakan Alesha penuh kasih sayang.
Akhirnya Alesha mengangguk. Dan malam itu aku dan Alesha pergi dari rumah.
Jauh-jauh hari aku memang sudah menyiapkan rencana pelarian diriku ini. Aku mencari sebuah kontrakan yang dekat dengan sekolah Alesha sekaligus kampusku. Dan aku berhasil mendapatkannya.
Setelah membayar uang kontrakan selama dua bulan, aku mendapatkan kunci kontrakan itu.
Aku merebahkan tubuhku pada kasur lantai yang memang sudah di sediakan oleh pemilik kontrakan. Kontrakan itu memang kecil, tapi setidaknya aku dan Alesha bisa beristirahat dengan tenang tanpa adanya teriakan dan barang pecah.
Kulihat Alesha juga sudah terkapar. Anak itu terlihat sangat lelah sekali.
Perlahan aku juga mulai memejamkan mataku. Mengistirahatkan pikiran serta tubuhku.
***