Trigger Warning: darah, kekerasan.
Malam semakin tenggelam dalam kabut kelabu yang menyelimuti daerah timur Kota Yogyakarta. Derai hujan konstan membasahi ruko-ruko dan segala bangkai bangunan di pinggir trotoar. Langkah tergesa-gesa seorang perempuan menggema dari ujung gang. Perempuan beralmamater biru muda terus berteriak, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan apakah si pengejar masih mengikutinya atau tidak.
“Tolong!”
Ia mempercepat lagi larinya, tidak peduli meski kawat kabel dan patahan kayu menyangkut di sepatu. Sesuatu tiba-tiba menghantam tengkuknya, membuat tubuh perempuan itu oleng, kemudian jatuh tengkurap menumbruk pipa besi yang tersandar di tembok gang.
Wajah si pengejar itu tidak terlihat jelas. Selain karena tertutupi masker dan kupluk, kabut pekat turut menyamarkan pandangan perempuan yang tengah terkapar di jalanan berpasir.
Brak!
Suara benturan antara balok kayu dan tulang manusia bersahut-sahutan dengan derasnya hujan. Tak peduli telah banjir darah, sang pengejar terus memukul tulang kering perempuan itu sampai remuk. Kulit yang melapisi tulang kakinya ikut terkoyak, menampakkan urat kaki yang membiru.
“Tolong … hentikan,” lirihnya pasrah dengan gigi bergemeretak menahan dingin serta rasa sakit di sekujur tubuh. Air matanya merebak oleh keputusasaan.
Si pengejar tidak menghiraukannya. Ia mengeluarkan jarum suntik sebesar telunjuk dari balik jaket denimnya, kemudian berjongkok di samping perempuan itu. Sayup-sayup pria pengejar itu mendesis, “Jangan menentang takdirmu.”
Seketika itu jarum suntik menembus leher pucatnya. Dalam hitungan detik, tubuh perempuan itu menjadi lumpuh dan kaku. Ia hanya bisa mendelik, tanpa bersuara meski cairan dalam suntikan tadi telah membuat tubuhnya merasakan kesakitan hingga akhirnya mati rasa.
***
Pagi-pagi sekali, para mahasiswa Kampus Tiga Menara digegerkan dengan penemuan mayat seorang mahasiswi dalam keadaan perut bagian sisi kiri terbelah karena tusukan. Dua bola matanya hilang, menyisakan rongga mata yang melompong dan mulai menghitam. Pakaiannya masih lengkap beserta almamater biru yang sama sekali tidak terkoyak. Hanya terdapat bekas rembesan darah pekat, menembus lembaran koran yang menutupi tubuh kakunya. Mayat itu tidak lain adalah seorang mahasiswi baru jurusan Sastra Indonesia, ditemukan oleh salah satu satpam yang bertugas pada pagi itu. Penemuaan mayat di depan gedung auditorium membuat orang-orang heboh dan berbondong-bondong ke lokasi kejadian.
Ini bukan kali pertama penemuan mayat di tempat umum. Dua bulan terakhir ini, tiga mayat dalam keadaan serupa juga ditemukan di perempatan lampu merah dan terminal setempat. Warga tentu dapat menyimpulkan bahwa kasus tadi bukan karena begal atau perampokan, tetapi pembunuhan berencana yang hanya mampu dilakukan oleh seseorang profesional.
Aga menyalakan ponselnya, melihat tampilan jam yang tertera di layar kunci serba hitam sembari berjalan melewati kerumunan yang berjubal di sekitar auditorium. Beberapa mahasiswi sempat menyapanya genit, bahkan ada yang terang-terangan menggoda Aga dengan kalimat-kalimat manja, meski situasinya sangat tidak tepat. Pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu lantas tersenyum tipis kepada siapa pun yang menyapa. Ia memiliki paras standar dengan kumis tipis yang belum sempat dicukur. Rambutnya disisir ke samping supaya tidak menutupi kening. Kerutan di sekitar hidung membuatnya terlihat lebih tua di umur yang terbilang masih muda. Tidak ada yang istimewa pada pemuda itu, kecuali matanya jernih dan bening. Tajam. Mata yang terlatih untuk melihat semuanya dalam sekali pandang.
“Lagi-lagi petugas polsek belum datang, ya?” ujar Aga kepada Habin—ketua BEM yang juga berada di tengah kerumunan.
Habin mengangguk tak begitu yakin, kemudian ia menarik Aga menjauh dari kerumunan. “Hampir seluruh organ dalam korban hilang, Kak. Sepertinya memang ada oknum yang sengaja mengambilnya.” Habin dapat membaca kegelisahan di wajah Aga. Pemuda dua puluh tahun itu tahu betul jika beberapa teman Aga juga menjadi korban dengan cara kematian yang sama.
“Menurutmu siapa yang sanggup melakukan hal seperti ini?”
“Sudah jelas ini ulah Elite Cross. Siapa, sih, yang nggak tahu organisasi kriminal itu? Mereka selalu luput dari kejaran aparat karena anggotanya berisi anak-anak pejabat.” Pemuda berambut cepak itu memelankan volume suaranya. “Tapi, yah … kita nggak punya bukti apa-apa.”
Aga mendecak beberapa kali. Wajahnya terlihat merengut sejak mendapatkan kabar penundaan seminar proposal karena insiden pagi tadi. “Itulah yang kukhawatirkan. Pelakunya cukup cerdas memilih korban, yaitu anak-anak yang kabur dari rumah atau tidak memiliki keluarga sehingga sebagian oknum tidak peduli dengan kematian korban. Lama-kelamaan, kasus ini akan lenyap karena tidak ada benang merahnya.”
“Benar. Dari info yang kudapat, korban barusan ini anak perantauan yang sudah nggak punya orang tua. Makanya, anak-anak Qsruh juga ikut menjadi sasaran penculikan.” Ucapan Habin membuat lawan bicaranya bergeming.
Sudah dua pekan, empat anggota Qsruh—kelompok berisi anak-anak jalanan yang diketuai oleh Aga, menghilang bak ditelan bumi. Mereka yang biasanya mengamen di perempatan jalan area Malioboro tidak pernah terlihat sejak Rabu sore waktu itu. Awalnya Aga mengira mereka pindah ke daerah lain untuk mengadu nasib, tetapi itu terlalu mustahil bagi anak umur dua belas tahunan untuk bermigrasi ke tempat antah-berantah. Tak mudah hidup di tengah kemewahan Kota Pelajar. Pindah ke kota lain tidak akan menjamin keberuntungan nasib mereka, sementara Aga selalu berjanji memberikan perlindungan pada anak-anak itu dari para preman serta pedofilia yang menyebarkan teror kepada masyarakat.
Aga mendesah panjang, kemudian menaikkan poni rambutnya yang lepek sehingga terlihat jelas struktur tegas pemuda kelahiran tahun ’99 tersebut. “Tubuh dan pakaiannya utuh. Tidak ada tanda-tanda perlawanan atau perebutan barang milik korban. Hanya organ dalamnya yang hilang.” Ia menganalisis segala kemungkinan yang terjadi pada si mayat.
“Pencurian organ!” sahut Habin. Suara seraknya hampir menarik perhatian orang-orang yang berjalan di sekitar mereka. “Bisa jadi Elite Cross mencuri organ korban lalu menjualnya ke suatu tempat. Kudengar harga satu ginjal mencapai puluhan juta. Motif itu sangat cocok untuk mereka yang gila harta.”
Aga menoleh. Mata hitam pekatnya berbinar di bawah rimbun pohon mangga. “Ucapanmu barusan cukup masuk akal.” Ia melipat kedua lengannya sembari menatap lantai paving. “Kayaknya aku ingin memastikan sendiri.”
“Jangan bilang, Kak Aga mau menemui dan memaksa ketuanya yang super angkuh untuk mengakui tabiatnya.” Sejenak, Habin bisa membayangkan kengerian dari sosok ketua Elite Cross. Waktu itu, Habin pernah bertemu dengannya ketika berada di pusat kota. Siapa pun yang bertemu, pasti akan merasakan aura psikopat yang lebih mengancam daripada kehadiran Ted Bundy.
“Cuma itu cara yang tersisa, Bin.” Nada bicara Aga selalu kalem, tetapi meyakinkan.
“Tapi … tapi orang gila itu punya backingan di mana-mana. Nggak akan mudah membuatnya buka mulut.”
Pembicaraan mereka terhenti ketika mereka melihat sekelompok mahasiswa berbondong-bondong menuju gedung rektorat, tak jauh dari lokasi penemuan mayat. Sorak-sorai mereka serukan berkali-kali supaya kepala rektor serta para pegawai kampus keluar dari tempatnya. Mereka tetap melakukan aksi gila tersebut untuk mempertanyakan bentuk tanggung jawab kepala rektor serta keamanan para mahasiswa dari kasus pembunuhan yang mulai menghantui masyarakat.
“Demo lagi? Kapan, sih, anak-anak dajal itu mau nurut sama aku?” keluh Habin seraya mengacak-acak rambutnya.
“Sudahlah, kubantu menenangkan mereka.”
Tak lama, mereka berdua ikut menyusul para demonstran. Suasana makin memanas ketika beberapa dari para mahasiswa melempari atap kampus dengan kerikil dan kaleng bekas. Alhasil, beberapa fasilitas kampus seperti kaca jendela dan pot bunga, rusak. Ada juga yang hanya mengibarkan bendera merah putih diiringi nyanyian yel-yel yang tidak berirama. Kebanyakan peserta demonstrasi adalah laki-laki.
“Kampus bajingan! Di mana letak keadilan?!”
“Rektornya lebih busuk daripada kotoran anjing!” Ujaran kebencian terus mereka lontarkan satu per satu.
Di sisi lain, Aga berhasil menerobos ke barisan terdepan dan diikuti oleh Habin yang membawa pengeras suara. Aga mengambil megaphone tersebut dan mengangkatnya tepat di depan mulut. “Harap tenang, semuanya. Jangan menjadi serangga yang menjengkelkan.” Seluruh demonstran terdiam, menatap Aga penuh penasaran. “Sebagai mantan ketua BEM, saya sangat mengerti kekhawatiran teman-teman mengenai keamanan kampus ini setelah terjadi beberapa kasus pembunuhan, sementara rektor terlalu sibuk mengumpulkan harta dibanding menyelesaikan masalah di kampus kita!” tegas Aga.
“Benar!” sorak para mahasiswa serempak. Mereka semua mendukung perkataan Aga penuh semangat.
“Tapi, kalau saya jadi kalian, saya tidak akan melakukan aksi-aksi anarkis ini. Buang-buang waktu. Suara-suara fals kalian cuma dianggap radio rusak sama Pak Sukarno.”
“Berarti Kakak menyalahkan aksi kami? Katanya mahasiswa bebas menyuarakan pendapatnya,” protes seorang mahasiswa dari barisan kedua.
“Saya dan Habin tidak pernah menyalahkan kalian, loh.” Habin mengangguk setuju untuk meyakinkan masa. “Teman-teman yang saya sayangi, aksi kalian tidak akan mengubah keadaan. Cara lain supaya rektor menanggapi masalah ini yaitu kita harus membuat berita mengenai minimnya kepedulian kepala rektor kepada mahasiswa dan profesionalitas pihak kampus yang perlu dipertanyakan dalam menangani kasus pembunuhan baru-baru ini. Selanjutnya kita akan sebarkan tuntutan tersebut ke media sosial supaya menarik perhatian dinas pendidikan. Kalau sudah viral, kepala rektor tidak akan bisa lari dari tanggung jawabnya. Benar tidak?!”
"Benar!!" seru mereka serempak. Saran Aga yang lebih terdengar seperti provokasi, ternyata sangat berpengaruh, ditambah lagi dengan aura kepemimpinannya yang sangat karismatik.
Tak sampai lima menit, para mahasiswa langsung membubarkan diri dengan tenang setelah mendengar perkataan Aga, bersamaan dengan datangnya petugas dari polsek setempat yang hendak mengevakuasi korban pembunuhan.
***
Masih pukul sepuluh pagi sejak usainya aksi demo tadi. Entah mengapa waktu berjalan begitu lambat, tetapi Aga merasakan lelah yang cukup berat. Saat pemuda beralmamater biru itu berada di parkiran, terlihat seorang lelaki berkemeja merah duduk di jok motornya. Mulanya, Aga mengira jika lelaki itu hanya numpang duduk karena kepanasan. Namun, usai sekian detik mengamati, Aga bisa menyimpulkan jika lelaki itu tengah menunggunya.
“Siapa, ya?” tanya Aga tanpa basa-basi. Ia tak bisa menebak siapa orang yang membelakanginya.
“Ah, akhirnya datang juga, Sagara Yudhistira.” Orang itu langsung berbalik dan turun dari motor. “Kenapa mukanya bingung begitu?”
Wajah Aga berubah dingin dan serius. “Orangnya Elite Cross?”
“Correct! Kau seperti peramal saja. Ngomong-ngomong, aku Alta.” Pemuda itu mengulurkan tangan, tetapi Aga menepisnya.
“Ada urusan apa sampai salah satu kacung Elite Cross muncul di hadapanku? Memangnya bosmu tidak punya kaki untuk menemuiku sendiri, hm?” Aga melayangkan tatapan penuh ancaman. Tidak ada lagi senyuman ramah seperti saat menyapa para mahasiswi.
Pemuda berkulit kuning langsat itu memasang wajah pura-pura takut. “Duh, judes banget, sih. Kau sangat berbeda dengan tadi, saat menenangkan para demonstran. Terlihat karismatik dan berwibawa. Mereka pasti mengenal sosok Aga yang manis dan baik hati, ‘kan?” ledek Alta bernada sinis. “Tunggu, bagaimana kalau aku menyebar rumor kebrutalanmu selama ini supaya citra baikmu itu lenyap? Aku tahu, loh, kalau kau hampir pernah membunuh seseorang.”
Aga masih bersikap tenang, meski Alta memancing emosinya. “Coba saja. Menurutmu siapa yang akan mereka percaya? Aku yang sudah dicintai orang-orang atau kau, anggota organisasi yang diduga terlibat pembunuhan baru-baru ini.” Aga bisa merasakan bahwa pemuda di depannya itu mulai gemetaran dan kehabisan kata-kata.
“Hei hei, kalem, okay? Aku kan cuma bercanda. Jangan dianggap serius, dong.”
Saat Aga berjalan untuk ke arah motornya, tiba-tiba Alta melayangkan tinjunya dari belakang. Dengan sigap, Aga langsung menghindar ke kiri sehingga pukulan Alta hanya mengenai udara. “Serangan gegabahmu itu dapat kurasakan dengan jelas, tau.” Aga menendang tulang kering Alta dari belakang hingga membuat pemuda itu terhuyung dan hampir jatuh.
“Ternyata kehebatanmu itu bukan sekadar rumor. Pantas saja kau bisa menjadi pemimpin yang paling disegani,” ujarnya sambil menahan ngilu yang terus berkedut.
“Kalau kau ingin melawanku, bukan di sini tempatnya.”
Alta tertawa singkat, lalu menepuk pundak Aga seraya membisikkan sesuatu. “Bukan aku yang akan menghabisimu.”
“Lalu?”
“Datanglah ke tempat kami nanti malam kalau kau tak ingin bosku mengenyahkan organisasi tersayangmu.” Alta memberikan sebuah kartu nama berlogo ElC atau singkatan dari Elite Cross. Aga meremas kertas mengkilap tersebut menjadi bundar tak tak sempurna.
Ia berbalik menarik kerah baju Alta. Matanya bergetar, menahan amarah yang sejak semalam ia pendam. “Tanpa kau minta seperti ini pun, aku memang akan mengobrak-abrik markas kalian.” Tak lama setelah itu, mereka mengakhiri pembicaraan tanpa adanya aksi adu kekuatan.