“Making money is art, and working is art, and good business is the best art.”
–Andy Warhol–
***
“Ya udah gini aja, lo usahain dulu ide lo yang kemarin. Kalo ternyata beneran nggak bisa, baru kita diskusi lagi, baiknya bulan depan Gaze-Art mau kita bawa ke mana.”
Nggak perlu dibawa ke mana-mana, paling bagus dibubarin aja. Violet berujar dalam hati, menanggapi keputusan Arvin yang lagi-lagi berhasil membuatnya sakit kepala.
Gadis itu tak habis pikir, bagaimana bisa seorang redaktur pelaksana sebuah media online seperti Arvin, dapat bersikap keras kepala hanya untuk mempertahankan sebuah kanal yang nyaris mati karena sepi pembaca? Irasional!
“Sekarang Gaze-Art cuma bergantung sama elo, Vi. Gue yakin kok, traffic Gaze-Art bisa bagus lagi kalau elo yang pegang,” lanjut Arvin setelah menyesap kopi sorenya dengan hikmat.
Tuh kan. Lagi-lagi Arvin mengeluarkan kalimat saktinya. Berkata seolah Violet mutiara berharga untuk dilempar secara sukarela ke kandang buaya. Basi!
Tak mendapat tanggapan apa pun dari lawan bicaranya, Arvin kembali bersuara, “Jadi gimana, Vio? Atau lo punya ide lain selain itu?”
Violet mengerjap cepat, dunia nyatanya kembali memanggil. “Eh? Kenapa, Om?”
Arvin mengernyit, mendapati ekspresi Violet yang terlihat linglung. “Lo dari tadi nggak dengerin gue, ya?”
Damn it!
***
“Vio, nggak balik?” sebuah pertanyaan yang dibarengi dengan colekan di lengan tiba-tiba mampir, saat Violet tengah membenamkan seluruh wajahnya ke atas permukaan meja.
Tak perlu melihat siapa yang datang, Violet sudah hafal dengan suara si penanya. Siapa lagi kalau bukan Audrey? Rekan kerjanya dari kanal lain. Gaze-Football lebih tepatnya.
Audrey memiringkan kepalanya sejajar dengan Violet, sedetik kemudian, gadis itu mulai mengguncang tubuh sobatnya dengan gerakan brutal. “Viooooo!!! Mending lo balik deh. Jangan tidur di kantor gini, kasian nanti badan lo sakit semua!” peringatnya dengan nada khawatir.
Alih-alih merespons baik, Violet malah mengerang tak suka.
Sebenarnya, gadis itu tak sepenuhnya tidur, ia masih dapat merasakan kehadiran Audrey di sekitarnya, pun mendengar suaranya. Satu-satunya alasan mengapa Violet masih bergeming adalah... saat ini ia sedang ada dalam mode meratap, menyayangkan Dewi Fortuna yang tak juga berpihak kepadanya.
Ketika Violet merasa guncangan di tubuhnya semakin mengganggu, gadis itu menyerah. Setengah hati ia mengangkat kepala dari atas meja, karena kalau ia tetap berkeras, bukan tidak mungkin Audrey akan bertindak lebih kasar dari ini. Seperti... menjambak misalnya.
“Apa sih?!” Violet bertanya ketus. Sore ini, mood-nya benar-benar kacau.
“Hih! Gue kira lo mati tau nggak?” Audrey berkata asal, tak peduli ekspresi lawan bicaranya yang sudah kecut maksimal. “Mati gara-gara cakar-cakaran lagi sama si Arvin.”
“Jangan mulai deh,” sahut Violet kesal, tiba-tiba saja memorinya melayang pada hari di mana ia harus dimutasi ke kanal lain secara paksa. “Gue tadi abis ngobrol lagi sama Om Arvin,” lanjutnya dengan nada putus asa.
Mendengar pernyataan sahabatnya barusan, kedua bola mata Audrey sontak membesar. Cepat-cepat gadis itu menarik kursi di sebelah Violet. Baginya, drama pertarungan antara si ngeyel Violet dengan atasannya yang tak mau kalah itu selalu menjadi hal yang menarik. Atau lebih tepatnya, mendebarkan!
“Gimana-gimana? Lo beneran berantem lagi sama si Arvin?” tanya Audrey setelah mendapat posisi duduk terbaiknya.
“Bukan berantem! Emang lo pikir nyawa gue ada sembilan?” Violet menyanggah dengan nada sewot. Gadis itu kemudian menggaruk kepalanya gemas, tak ia pedulikan rambutnya yang kini terlihat seperti hasil sasakan gagal.
“Emang tadi lo berdua ngomongin apa? Masih nego soal perkara pindah kanal?”
“Niatnya sih emang mau ke arah situ. Tapi, tadi pagi gue dapet E-mail dari timnya Edelweiss. Mereka ngabarin kalo Edelweiss fix nolak tawaran gue buat jadi guest-nya Gaze-Art bulan depan. Pusing nggak lo?”
Audrey refleks memegang keningnya, entah dengan cara apa Violet mampu mengirimkan serangan migrain mendadak ke dalam kepalanya. “Bulan depan kan tinggal—”
“Kurang dari dua minggu lagi,” Violet memotong cepat. “Kalau udah kayak gini, boro-boro minta balik ke kanal lama. Bukannya dibalikin ke Gaze-Travel, yang ada gue malah dibalikin ke rumah, alias di-pe-cat!”
Sebelum menanggapi luapan emosi lawan bicaranya, Audrey meringis prihatin. “Gue heran, Edelweiss Edelweiss ini sebenernya siapa, sih? Sok penting amat. Cristiano Ronaldo aja kayaknya nggak gitu-gitu banget.”
“Dia itu pelukis yang lagi naik daun gara-gara web gallery-nya viral. Dan sialnya, tu orang sok-sok nyembunyiin identitasnya gitu. Basi banget nggak, sih?” Violet menjawab cepat, nada tak suka terdengar jelas dalam kalimatnya.
“Gue rasa sih itu emang teknik marketingnya dia, Vi. Biar nilai jual lukisan-lukisannya makin spektakuler. Lo paham lah, hari gini makin bikin penasaran, makin viral, ya makin mahal.”
“Peduli setan nggak, sih? Ini kan cuma interview biasa. Kalo emang dia nggak mau nunjukin wujudnya, kan kita bisa interview by phone. Atau... kalo dia bener-bener nggak mau orang lain tau suaranya kayak apa, masih bisa via email atau chat. Emang dasar dianya aja yang sok penting!”
“Terus sekarang rencana lo gimana? Si Arvin ngasih solusi nggak?” tanya Audrey sembari melipat kedua tangannya di depan dada, yang ditanya justru tersenyum kecut.
Seorang Arvin? Memberinya solusi? Mustahil!
“Itu jadi masalah hidup gue sekarang! Om Arvin maunya gue tetep usahain si Edelweiss dulu. Bayangin! Gue harus ngemis kayak apalagi coba? Dan kalo nanti ending-nya si Edelweiss ini tetep nggak mau jadi guest-nya Gaze-Art bulan depan, bakalan gue juga kan yang harus muter otak buat nyari gantinya?”
Kembali Violet mengacak rambutnya asal. Mengabaikan penampilannya yang kini tampak seperti singa jantan yang sedang kelaparan.
Drama pekerjaan ini benar-benar membuat gadis itu stres! Kalau saja tiga bulan lalu Arvin tak memindahkannya dari Gaze-Travel untuk ditempatkan sebagai reporter senior di Gaze-Art, mungkin Violet tak akan sebenci ini dengan pekerjaannya.
Sebagai catatan, Violet tak pernah membenci seni. Sama sekali tidak. Gadis itu hanya... tidak mengerti tentang apa pun yang berhubungan dengan seni. Benar-benar tidak mengerti. Tiga bulan dalam ketidakmengertian ini berhasil membuatnya muak!
Bisa tidak sih Arvin kembali memutasinya ke kanal lain? Ke kanal mana pun asalkan bukan seni! Sungguh, target traffic yang ia ajukan kelewat tak masuk akal. Memang apa sih yang bisa diharapkan dari kanal seni yang sepi pembaca seperti Gaze-Art ini?
“Gue mau resign!” tiba-tiba Violet berseru yakin.
Kalau saja ini kali pertama Audrey mendengar seruan Violet barusan, mungkin gadis itu akan langsung percaya. Nyatanya tidak. Kalimat itu sudah terlalu sering ia dengar.
“Bulan ini lo udah seribu kali ngomong kayak gitu,” Audrey terdengar cuek. “Love-hate relationship lo sama kerjaan tuh udah jadi makanan gue sehari-hari, Honey. Kali aja lo mau tau.”
Violet mendesah pasrah, dengan lunglai ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Gue nggak benci sama kerjaan gue, Drey. Gue cuma... nggak nyaman sama kanal ini, lo tau kan? Gue tuh buta banget soal seni. Tapi kok bisa-bisanya Om Arvin malah nyuruh gue handle kerjaan di Gaze-Art?”
Audrey menyungingkan senyum tipis. “Lo tau nggak kenapa Arvin keukeuh banget nempatin lo di Gaze-Art?” gadis itu bertanya dengan nada serius.
“Gara-gara reporter senior satu-satunya di Gaze-Art cabut dan Gaze terlalu pelit buat ngerekrut karyawan baru,” Violet menjawab asal, sesekali ia mulai merapikan rambutnya menggunakan jari.
“Aish, mulai deh keluar tololnya. Bukan itu!” seru Audrey, gemas. “Arvin tuh nempatin lo di sana ya karena dia percaya sama lo. Sejauh ini kan kerjaan lo nggak pernah ngecewain dia.”
“Dan kalo lo emang niat dimutasi ke kanal lain, seenggaknya tunjukin dong usaha lo! Minimal kerjaan lo di Gaze-Art dijelek-jelekin dikit kek, bukan malah ngasih ide spektakuler macem wawancara eksklusif sama si Edelweiss itu. Terus sekarang liat, waktu lo nggak bisa menuhin standar yang lo bikin sendiri, lo juga kan yang kelimpungan?” lanjut Audrey panjang lebar. Seketika, Violet berhasil dibuat mengerjap tak percaya karenanya.
“Lo bener, Drey. Emang bukan sepenuhnya salah Om Arvin. Gue yang bikin dia ngarep ketinggian. Jadi sekarang wajar kalo dia malah senewen gitu sama gue,.” Violet malah menanggapi di luar konteks, membuat Audrey kembali mendengkus pasrah.
Dengan kreativitasnya yang anti-mainstream, seringkali Violet dijuluki si genius dalam jajaran redaksi Gaze.id. Namun, kalau sudah tidak fokus begini, sepertinya julukan si beloon terdengar lebih cocok untuk disandangnya.
“Kalo lo capek, mending sekarang lo kerjain hal-hal yang nyantai dulu. Dibikin have fun aja lah. Biar semua deadline artikel hariannya Gaze-Art di-handle dulu sama anak-anak kanal lo. Setau gue, Astrid sama Maya juga bisa diandelin, kan? As you said,” usul Audrey yang hanya ditanggapi Violet dengan senyuman hambar.
Entah mengapa, semua terlihat buntu di hadapan Violet. Dan kalau boleh jujur, gadis itu sudah lama ingin kabur dari situasi ini. Habis bagaimana? Pekerjaan yang dilakukan dengan setengah hati hanya akan menyiksa diri, bukan?
Dan bodohnya, Violet justru tetap memaksakan diri berada dalam kubangan siksaan yang ia buat sendiri. Tak ubahnya pohon yang diterpa angin kencang, tetap berdiri tegak meskipun angin tersebut jelas-jelas menyulitkannya.
“By the way, ini jam berapa?” Violet mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantor. Langit gelap yang bisa ia tangkap dari dinding kaca di sampingnya tiba-tiba mengingatkan gadis itu akan sesuatu.
“Jam tujuh lewat dikit,” ujar Audrey usai melirik sekilas ke arah jam di tangannya.
Violet mengerjap tak percaya. “Jam berapa?” tanyanya sekali lagi, kali ini berusaha menajamkan indra pendengarannya.
“Jam tujuh!”
“SERIUS?!!”
Audrey mengerutkan dahinya, bingung dengan reaksi berlebihan yang tiba-tiba Violet tunjukkan. “Kenapa sih?”
“MALEM INI TUH ADA OPENING PAINTING EXHIBITION-NYA EDELWEISS!!” Violet menjerit histeris. Hampir saja ia melupakan event penting yang wajib ia datangi. Untuk keperluan pekerjaan, tentu saja.
“Emang mulainya jam berapa?” tanya Audrey, tiba-tiba kepanikan ikut menjalarinya.
“JAM TUJUH!!”
“Sumpah?” Kedua kelopak mata Audrey melebar hingga batas maksimal.
Violet tak ada waktu untuk bersumpah. Dengan gerakan cepat, gadis itu langsung mengemasi barang-barangnya yang masih tertinggal di atas meja kerja. Sementara Audrey membantu mematikan laptop rekannya yang sejak tadi masih menyala.
Setelah yakin laptop telah sepenuhnya mati, Violet kemudian berlari ke arah loker. Memasukan benda berharga itu ke dalam sana, lalu kembali berlari menuju lorong depan. Tempat di mana fingerprint absent-nya berada.
“Drey, gue duluan ya! Om Arvin bisa mencak-mencak kalo gue nggak dapet liputannya,” Violet pamit, suaranya tak terlalu keras begitu menyadari Audrey berada tepat di belakangnya, mengekori.
“Once again, Darling. Umur Arvin itu cuma lima tahun di atas kita. Berhenti panggil dia pake embel-embel ‘Om’!” Audrey mengingatkan.
Alih-alih menanggapi, Violet justru langsung berlari menuju lift, meninggalkan sahabatnya yang masih berdiri di sekitar meja resepsionis.
“SORRY! KEBIASAAN!” Violet berseru lantang tepat sebelum pintu lift tertutup sempurna, menyisakan Audrey yang saat ini hanya mampu menggeleng maklum di tempatnya berdiri.
***