cover landing

Living with An Idiot

By K. A. Dachune


Prolog

 

Terkadang, ingatan masa lalu begitu tajam. Mereka menusukku, di mana saja, bahkan dalam mimpi, lalu mereka melumpuhkanku sampai aku pikir aku tidak bisa merangkak. Untungnya itu dalam mimpi, itu hanya imajinasi, jadi aku minta sesuatu yang lain, sebuah perisai emas dan baju zirah dari emas. Bukan untuk pamer, tapi untuk mencegah tusukan dari masa lalu.

Itu sakit. Bagaimana jika mereka mencoba menumbuhkan mangga di dalam tubuhku? Dan bagaimana jika yang mereka minta adalah semangka? Bayi semangka? Aku bahkan tidak bisa melahirkan semangka dari masa lalu...

Tapi... mimpi itu sudah lama tidak muncul. Aku bahkan lupa bagaimana bermimpi. Dan setiap pagi, selama enam bulan... yang aku tahu hanya aku bangun pada pagi hari dan terengah-engah.

“Kau sangat manis, lezat, harum, Sayang.” Ethan memelukku, menciumi wajahku.

“Kau juga,” balasku.

Lalu, tiba-tiba kami mendengar suara kentut dan menjauh satu sama lain. Aku memelotot ke arahnya. “Goddammitt, Ethan! Kubilang jangan kentut kalau selesai bercinta! Aku benci kentutmu!” teriakku sambil melempar-lempar bantal ke arahnya. Ethan balas memelotot, “Aku tidak kentut, bodoh! Kentutku tidak berbunyi seperti itu!”

Lalu, aku mulai lagi seperti biasa kalau pertengkaran sehabis seks terjadi, aku akan menarik selimut dan melempar-lemparkan bantal kepadanya. Dan dia akan memakai celana bokser, lalu balas melemparku dengan sepatu, kaus kaki, bikiniku atau buku dataku.

Apa? Dia melempar buku dataku? Dan bikiniku?!

“Mati kau, Ethan!” pekikku. “Sudah kubilang jangan sentuh bikiniku!”

***

 

Bab 1

 

“Sekarang pergi dari apartemenku!” teriakku dari ambang pintu kamar mandi, sementara rambutku masih penuh busa sampo dan tubuhku dililit handuk.

Aku menatap Ethan dengan kesal, dia memakan piza yang baru kupesan, dan aku tidak dapat satu pun. Dia menghabiskannya.

“Ini cuman piza tolol, Barbara!” ujarnya sambil memasang tuksedo dan mengibar-ngibarkan piza seperti bendera.

Yeah, itu piza. Tapi, piza rasa keju, dan aku sangat suka piza rasa keju. Tidak boleh ada yang menghina piza keju!” cerocosku sambil berjalan ke arahnya dengan berlagak seperti bos. “Apalagi memakannya, kau paham, orang tolol?”

Dia mengerutkan alis dengan kesal, “Hei, jaga bicaramu, perempuan idiot. Ini cuma piza! Piza! Dan aku menyisakan satu untukmu!”

Dia bilang aku idiot. Lagi. Aku benci orang tolol itu memanggilku idiot. Apa dia tolol? Dia memang tolol!

Aku mengeraskan rahang. “Keluar-dari-apartemenku orang tolol!”

“SIAPA YANG KAU SEBUT TOLOL, TOLOL?! AKU MEMANG MAU KELUAR! APARTEMENMU SANGAT BAU!” teriaknya kembali sambil mengancingkan tuksedonya dengan cepat.

“Bau? Apa katamu bau?” Aku meraih bantal gulingku dan bersiap membunuhnya. “Lalu, apa maksudmu kemarin kau bilang apartemenku bagai surga? APA SURGA BAU?! PERGI! PERGI!” Aku memukulinya dengan guling.

Dia mencoba bertahan dengan menutup wajahnya, kemudian berlari kecil menuju pintu dan melihatku dengan sengit di sana.

“Aku bohong! Apartemenmu bau! Bahkan serangga enggan masuk ke sini! Perempuan idiot!” Lalu, dia menuruni tangga dan hilang dari hadapanku.

Tapi, tiba-tiba dia muncul lagi di pintu kamarku dan melempar boneka unicorn ke kepalaku yang penuh sabun.

Begitulah awalnya, aku tidak pernah tahu bahwa kebahagiaan—dan pertengkaran sialan—ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang akan kuhadapi.

Dan inilah kisahku, kenapa aku menjadi bodoh—tolong katakan betapa aku seksi juga.

***

Lagi-lagi, aku harus menjalani pendelegasian. Aku benar-benar lelah dan jariku hampir patah saat terus mengetik di keyboard. Dan beberapa kali aku harus merevisinya. Sialan manajer itu. Melanie Johnson.

Ini terlalu banyak.

Aku melihat jam dinding di samping bilik kerjaku, kemudian mengerang kesal. Istirahat makan siang terlalu lama dan aku lapar. Kurasa aku butuh spageti dengan saus tebal dan bola daging yang besar. Pasti enak.

“Hei! Aku bukan menggajimu untuk melamun!” Seseorang memukul bilik kerjaku sampai aku terlonjak dari kursi, lalu aku melihat siapa dia.

Tentu saja, dia bosku. Orang paling disegani di sini, dan terkenal sebagai pria tegas dan berwibawa, plus bisa membuatmu menunduk terus meski hanya dengan berada satu ruangan bersamanya. Tapi hanya di sini, di kantornya, dan semua tempat di seluruh dunia, kecuali di ranjangku.

Di ranjangku, dia sangat tolol.

Yeah, dia Ethan Jackson. Monyetku sayang.

Aku menatapnya dengan senyum miris. Aku benci bertemu dengannya setelah bertengkar hebat tadi pagi, dia selalu datang, padahal jabatanku dengannya dipisahkan oleh manajer. Aku cuma karyawan magang. Sementara dia bos besar.

Dan sedikit mengganggu ketika dia menggodaku seperti ini sementara aku bekerja. Tentu, dia tahu bagaimana membedakan peran di perusahaannya dan di ranjangku. Tapi, setiap saat aku melihatnya di kantor, aku bisa melihat pikirannya berputar seperti, “I need bed, condoms, and Barbara. And repeat every minutes, okay?”.

Tidak. Cukup.

Jadi, saat dia menggangguku seperti ini, yang harus kulakukan adalah tunduk dan patuh, dia bosku, kan? Dan aku tidak bisa menendang pantatnya di sini, kan? Aku bisa dipecat.

“Yes, Sir,” balasku akhirnya. “Maafkan aku. Sekarang biarkan aku bekerja.”

Dia memasang wajah seriusnya dan menatapku seperti aku adalah karyawan yang membuat perusahaannya bangkrut. “Ada masalah apa dengan pekerjaan? Kau tidak suka? Bosan? Kau bisa mengundurkan diri sebelum kontrak kerja diberikan.”

Sialan! Lihat, semua orang menontoni aku yang sedang dimarahi bos. Hhh. Apa kalian tidak punya pekerjaan lain selain menonton kami?

“Kalau aku bertanya, kau seharusnya melihat dan menjawab pertanyaanku. Apa kau tahu kalau diam seperi ini tindakan yang tidak sopan pada bos?” Dia berujar lagi dengan nada tinggi.

Aku menggigiti bibirku dan mengutuk. Lihat saja Ethan, kalau kau berani menginjak apartemenku lagi, aku akan balas dendam.

Sedikit kutukan membuatku optimis, jadi aku menarik napas dan menjawab, “Maafkan aku, Pak. Aku tidak bisa fokus karena aku lapar,” jawabku dengan senyum formal yang dipaksakan. “Aku tidak makan pagi tadi.”

“Persetan!” tukasnya masih dengan wajah yang menakutkan. “Lapar bukanlah alasan. Kau harus profesional, ini menyangkut perusahaan!”

Oh ya? Dasar lubang pantat!

“Benar sekali.” Aku mengangguk setuju. “Aku bisa fokus kalau Anda pergi. Oh! Dan satu lagi. Aku tidak bisa makan pagi karena pizaku habis! Pacarku, yang sekarang sedang koma di rumah sakit, menghabiskannya! Jadi aku hanya makan kardus pizanya.”

Dia mengangkat alis seolah tidak menduga jawabanku.

“Maksudku,” tambahku. “Dia bukan pacarku, dia cuman semacam pria gelandangan yang menumpang karena belas kasihan.”

Ethan mengedikkan bahunya tidak peduli. “Dasar pria malang,” gumamnya.

Itu kau, tolol! KAU! Singkirkan wajah tanpa dosa itu!

“Hei!” serunya. “Aku tidak peduli ya, kenapa kita harus membahas pacarmu—yang tentunya dia pasti seksi sekali? Aku sedang bahas cara kerjamu, gadis muda!”

Aku menatap mata gelapnya yang dalam. Pasti tanganku akan sakit kalau meninju hidungnya. Hei, ide yang bagus! Aku akan coba lain kali.

Ponselku berdering, membuatku mengalihkan tatapanku ke ponselku, dan jam makan siang tiba, membuat dadaku bersorak ria di dalam. Yeah! Aku butuh burger dengan tujuh lapis daging!

“Siapa itu?” tanyanya dengan ingin tahu.

Aku meraih ponselku ke dada dan berdiri dari kursi kerjaku. “Don’t be curious, Sir! And by the way, this is a lunch time!” Sambil menghardiknya, aku keluar dari bilik kerja melewatinya.

“Hei, karyawan idiot! Siapa itu?”

Sebelum melanjutkan langkahku, aku berbalik dan memberinya tatapan kematian, “Ini pacarku, dia butuh uang untuk operasi kebiri, paham?!”

“Sialan,” gumamnya.

***