cover landing

Signy

By Dhea Safira


07:00-14:30: Sekolah

14:30-17:00: Pergi ke toko buku

19:30-20:30: Ngerjain tugas Fisika

20:30-00:00: Nyicil tugas Biologi+belajar mapel besok

00:00-04:30: Tidur

 

Sekali lagi Signy membaca catatan yang ia tulis di agenda. Setelah puas dengan rencana yang ia buat untuk hari ini, cewek itu memasukkan agenda itu ke dalam ransel. Sebelum keluar kamar, ia mematut dirinya di cermin; memastikan bahwa penampilannya sudah rapi. Setelahnya, ia berjalan menuju ruang makan.

Begitu Signy tiba di ruang makan, sudah ada papanya yang sedang menyesap kopi dan mamanya yang sedang mencentong nasi goreng ke piring.

“Pagi, Ma, Pa.” Signy duduk di sebelah mamanya.

“Pagi, Sayang,” sahut sang mama.

“Kursus Bahasa Jerman-mu bagaimana?” tanya papanya.

“Sejauh ini lancar-lancar saja, Pa,” sahut Signy sambil mencentong nasi goreng ke piringnya.

“Kamu sudah memikirkan jurusan apa yang mau kamu ambil untuk kuliahmu?”

“Papa… Signy kan masih kelas sebelas. Belum waktunya membicarakan hal itu,” kata mamanya.

“Justru itu, Ma, Signy harus memikirkannya mulai dari sekarang, biar dia bisa mempersiapkan perkuliahannya dengan baik. Ingat, Ma, masa depan anak-anak kita ditentukan oleh pilihan yang mereka ambil hari ini.” Papanya tak mau kalah. “Mama lupa, Sony dan Sherly sudah mulai memikirkan dan mempersiapkan masa depan perkuliahan mereka sejak kelas sebelas. Lihat bagaimana mereka menjadi arsitek andal seperti sekarang.”

Seperti yang sudah-sudah, pembicaraan di antara papa dan mama Signy tidak akan ada habisnya. Papanya akan berbicara tentang pentingnya menata masa depan sejak dini, juga tentang tak boleh menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Sementara mamanya akan berbicara tentang keseimbangan dalam hidup; bahwa hidup juga perlu hiburan untuk mengistirahatkan kerja otak supaya tidak gampang stres.

Signy tidak menyimak pembicaraan mama dan papanya. Ia lebih memilih memusatkan perhatian pada nasi goreng. Begitu nasi gorengnya tandas, ia meneguk susu cokelat dalam sekali tegukan.

“Signy berangkat, Ma, Pa.” Signy bangkit lalu berpamitan dengan orangtuanya.

Sebelum Signy meninggalkan ruang makan, papanya bertanya, “Apa kamu sudah membuat proposal rencana masa depan yang kemarin Papa minta?”

“Belum sepenuhnya selesai, Pa.”

“Bisa kamu selesaikan malam ini? Papa mau lihat.”

“Baik, Pa,” sahut Signy. “Kalau gitu, Signy berangkat.”

Dengan langkah cepat Signy berjalan keluar rumah. Satu desahan panjang lolos dari mulutnya begitu ia masuk mobil. Ia baru akan menjalankan mobil ketika sebuah getaran dari dalam ransel membuatnya mengurungkan niat itu.

Dengan malas Signy membuka ransel yang ia letakkan di kursi penumpang, lalu mengambil ponselnya.

Hendra : Diharapkan kehadiran seluruh anggota OSIS SMA Ganayaksa pada rapat anggota yang akan dilaksanakan sepulang sekolah nanti. Mengingat pentingnya rapat kali ini, dimohon seluruh anggota untuk dating.

Berbagai chat langsung bermunculan menanggapi chat dari Hendra—sang ketua OSIS. Signy kembali mendesah panjang. Bahunya melesak. Ia memasukkan kembali ponsel ke dalam ransel, lalu mulai menyalakan mobil.

Kacau.

Rencana yang telah ia susun dengan matang terancam berantakan karena dua hal tak terduga ini. Signy benci dengan hal-hal tak terduga di luar prediksinya.

“Shit!” Signy lebih benci lagi kalau mobilnya tidak mau dijalankan seperti sekarang.

 Ia memukul kemudi dengan keras, tak peduli jika hal itu membuat telapak tangannya memerah.

Ugh, Signy ingin sekali meneriakkan kekesalannya. Ini benar-benar hari yang menyebalkan!

***

Kampret. Kampret. Kampret.

Sudah hampir satu jam Arlov nangkring di lapangan futsal untuk mencari objek foto. Namun, hanya kekesalan yang ia dapat, alih-alih hasil foto yang spektakuler. Tidak ada satu pun dari hasil jepretannya yang membuat Arlov puas. Semuanya mentah, tidak punya jiwa, dan nggak banget.

Sudah beberapa hari Arlov mengalami hal ini: ketidakmampuan dalam membidik objek yang spektakuler. Hal itu berpengaruh besar kepada mood-nya yang jadi tidak menentu, seperti orang yang mengidap bipolar disorder.

Saat sedang mengintip anak-anak yang menari melalui viewfinder kameranyaponsel Arlov berdering. Ada panggilan masuk dari Sugeng.

Manlo nggak lupa kan kalau besok ada pameran foto anak ekskul fotografi?”

“Lo ini lagi nanya apa mau nyindir gue?” sahut Arlov dengan intonasi suara yang sedikit lebih tinggi dari yang ia niatkan.

“Nyantai dong, ManNggak usah ngegas gitu. Udah kayak cowok yang lagi ditolak cewek aja.”

“Ditolak cewek, nenek lo nungging!” 

Arlov mendengar Sugeng tergelak. “Tinggal lo doang yang belum ngumpulin hasil foto. Lama bener. Lo ambil fotonya di mana, sih? Afrika?”

“Itu lo tahu. Gue lagi foto kawanan buaya yang berenang di Sungai Amazon.” Arlov mulai senewen.

“Sungai Amazon tuh di Amerika, bego! Makanya, sekali-sekali otak lo di-upgrade, biar ada isinya dikit.”

“Gue isap ubun-ubun lo baru tahu rasa.”

“Yee, gitu aja sewot. Pokoknya cepet kerjain. Jangan kelamaan baper.”

“Heh, Garpu Siomay, kalau bukan karena tema yang nggak banget itu, gue nggak mungkin keteteran kayak gini!”

“Alah, nggak usah banyak alasan deh, Pentol Korek. Pokoknya, gue tunggu sampai malam ini. Kalau lo nggak ngumpulin juga, foto jigong lo yang gue pajang!”

“Sompret.” Arlov langsung memutuskan panggilan itu. Ia berencana membanting ponselnya. Namun, mengingat bagaimana ia harus memohon dengan berdarah-darah kepada ayahnya untuk dibelikan ponsel pintar itu, cowok itu terpaksa membatalkan niat.

“Kampret,” gumam Arlov sambil mengacak rambut. “Lama-lama tahi lalat di pipi gue pindah ke dengkul kalau gini caranya.”

Setelah memasukkan ponsel ke saku celana, Arlov kembali mengarahkan kameranya ke arah anak-anak yang sedang menari. Ia mencoba berkonsentrasi menemukan objek yang ia cari.

Anak-anak itu sedang tersenyum lebar; ekspresi yang sama sekali tidak spesial di mata Arlov. Pemandangan macam itu hampir bisa dilihat Arlov setiap hari. Semua orang pasti bisa tersenyum lebar, kan?

Arlov lebih senang menikmati foto dengan objek manusia yang menyimpan banyak emosi dalam sorot matanya. Foto-foto seperti itu lebih memiliki jiwa di mata Arlov. Dan, ia ingin mendapatkan objek seperti itu untuk fotonya yang akan ia kumpulkan untuk pameran besok.

Rencananya, anak-anak ekskul fotografi akan menggelar pameran kecil-kecilan di sekolah. Kegiatan itu dilakukan untuk mengenalkan ekskul fotografi kepada anak-anak Ganayaksa. Selain itu, kegiatan tersebut juga bertujuan untuk mempertahankan eksistensi ekskul fotografi SMA Ganayaksa.

Yang paling membuat Arlov kesal adalah tema pameran untuk besok: The Beauty of Ganayaksa—what the hell, tema konyol macam apalagi itu? Objek foto diwajibkan anak Ganayaksa, baik itu laki-laki maupun perempuan, yang sedang berada di lingkungan sekolah.

Tentu saja Arlov kesal. Manusia tidak termasuk ke dalam daftar objek yang ingin ia foto. Ia lebih menyukai pemandangan alam, hewan, tumbuhan, maupun benda mati. Apa pun, asal bukan manusia.

Sekarang, hari makin sore. Sebentar lagi, anak-anak itu pasti akan pulang. Dan, Arlov belum juga mendapat foto yang ia inginkan. Sempurna. Benar-benar hari yang menyebalkan.

Atau begitu yang Arlov pikirkan, sampai kemudian sesuatu membuatnya memikirkan kembali kata-katanya itu.

***

Semua gara-gara cewek berambut sebahu itu.

Arlov tak sengaja melihatnya ketika ia mengarahkan kamera ke arah area kelas X-6 yang ada di sebelah lapangan futsal. Cewek itu duduk di kursi kayu panjang yang ada di depan kelas sambil memegang selembar kertas. 

Melalui pengamatan yang Arlov lakukan lewat viewfinder kameranya, cewek itu menatap kertas yang ia pegang lalu melipatnya menjadi dua bagian. Sebuah desahan lolos dari mulutnya. Selanjutnya, cewek itu hanya diam. Matanya menerawang entah ke mana. Bibirnya terkatup rapat dan rahangnya berkedut.

Sepanjang beberapa menit tersebut, entah sudah berapa kali Arlov menekan tombol shutter, seolah tak ingin kehilangan momen walau hanya satu detik. Setelah puas memotret cewek itu, Arlov melihat hasil jepretannya melalui layar LCD.

Ada sesuatu dari sorot mata cewek itu yang membuat Arlov tertarik untuk menjadikannya objek foto. Ada banyak emosi yang bermain di sorot mata cewek itu: kesal, marah, kecewa, lelah, dan… takut.

Sempurna. Foto seperti itulah yang Arlov inginkan.

Satu senyuman penuh kepuasan tak bisa Arlov tahan lagi. Rasanya seperti ketika ia mendapat tiket makan gratis all you can eat di saat perutnya sedang keroncongan.

Ah, ini benar-benar hari yang menyenangkan untuk Arlov…

“Kamu ngapain ngambil fotoku tanpa izin?”

… atau tidak.

***