Bunyi bel berdering nyaring di sebuah sekolah dasar swasta pada saat matahari selangkah lagi naik ke puncak. Murid-murid dengan seragam kotak merah satu per satu mulai keluar dari kelasnya. Sebagian dari mereka memutuskan langsung pulang melihat orang tua atau walinya telah menjemput. Sebagian lagi masih bertahan di kelas masing-masing sekadar menunggu jemputan yang belum tiba. Pembelajaran di hari Jumat telah berakhir, tepat satu jam sebelum azan zuhur berkumandang. Sekolah khusus muslim itu telah membubarkan siswanya untuk persiapan salat Jumat.
Seorang perempuan, pemilik rambut panjang sepinggang, terlihat keluar dari dalam mobil sedan silver-nya. Ia melepas kacamata hitam, kemudian merapikan sedikit blazer beige yang dikenakannya. Fea mengunci mobil sebelum ia memutuskan berjalan mendekati gerbang sekolah di antara para murid-murid yang berjalan keluar.
Mata Fea bergerak mencari putri semata wayangnya, Shenavia. Mencari di tengah keramaian murid dengan seragam yang sama adalah hal yang sulit. Hanya tas saja yang membedakannya. Akan tetapi, Fea tidak terlalu hafal dengan tas yang dikenakan putrinya hari ini. Apa warnanya, bagaimana bentuk dan gambarnya, Fea tidak tahu. Ini pun kali pertama Fea menjemput Navia setelah tiga bulan terakhir. Untung saja ada waktu cukup lengang di akhir pekan, sehingga ia bisa menjemput putrinya seorang diri.
“Mami!” Sebuah suara nyaring lantas berhasil membuat Fea menoleh cepat.
Di bawah atap lobi utama gedung pembelajaran siswa, seorang gadis berkerudung putih melambaikan tangan ke arah Fea. Itu Navia. Fea begitu senang mendapati Navia di sana dan kini sedang berlari ke arahnya.
“Mami!” Navia dan Fea saling berpelukan erat di tengah keramaian sekolah. Keduanya seolah tidak terlalu peduli, baik pada tatapan orang-orang maupun matahari di atas langit. “Aku kangen banget sama Mami.”
“Mami apalagi, Sayang!” Fea mendekapnya erat-erat. Matanya sudah berkaca-kaca dan bisa saja ia menangis di sana kalau tidak ada banyak anak memperhatikan.
Fea membungkuk sedikit untuk menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan Navia. Walaupun tubuh Navia cukup tinggi untuk anak seusianya, Fea masih harus membungkuk supaya ia bisa melihat wajah Navia yang berbalut kerudung putih itu dengan jelas.
Mata sipit Navia yang berkilau indah, wajah segar berseri, serta senyum merekah indah cukup meyakinkan Fea kalau Navia selama ini baik-baik saja. Fea tidak perlu khawatir. Tentu saja. Navia ada di bawah perawatan ayahnya sendiri.
Fea mengecup pipi dan kening Navia beberapa kali dengan lekat. “Mami seneng liat kamu sehat. Gimana sekolah kamu, Nak?”
Navia sudah menjadi murid kelas 3 SD tahun ini. Cepat sekali ia tumbuh. Rasanya baru kemarin Fea mengantarnya di hari pertama masuk sekolah. Masih ingat betul di kala Navia menangis dan merengek saat ia tinggalkan. Terpaksa hari itu, Fea mengambil cuti kerja untuk memastikan Navia memiliki teman dekat yang bisa dipercaya. Navia kini sudah cukup mandiri. Navia juga sudah banyak memiliki teman baik yang menyenangkan. Itu cerita yang disampaikan ayah Navia beberapa waktu lalu.
“Nggak gimana-gimana, Mi. Setiap hari aku senang karena ketemu teman-teman.”
Fea mengelus pipi Navia yang cerah, kemudian menciuminya. "Anak Mami pintar!”
“Tapi nilai aku nggak bagus, Mi.” Navia menunduk sedih.
Sepertinya Fea telah salah menyebut, tidak sengaja menyinggung perasaan Navia. “Kita bicarakan ini nanti, ya, Sayang. Pokoknya hari ini kita mesti happy!” sorak Fea menyemangati.
Fea tidak mau pertemuannya dengan Navia dinaungi awan gelap. Fea tidak mau melihat Navia yang sedih. Hari ini, Fea sudah berjanji untuk membuat Navia gembira. Setidaknya itu janjinya pada diri sendiri.
“Mami punya ini, kamu mau?” Fea merogoh tas gandengnya, lalu mengeluarkan satu batang cokelat kesukaan Navia.
Mata sendu Navia langsung berbinar. Akan tetapi, dalam sekejap ia murung lagi. “Kata Papi, aku nggak boleh makan cokelat dulu. Nanti gigiku sakit lagi.”
Fea termenung. Teringat saat dulu Navia meraung-raung karena gigi gerahamnya yang berlubang. Padahal Navia sudah sering diingatkan untuk tidak makan yang manis sebelum tidur. Akan tetapi, Navia melanggarnya. Diam-diam ia sering jajan permen atau cokelat kesukaannya, lalu memakannya di dalam kamar tanpa sepengetahuan orang tuanya. Sampai suatu hari, ayahnya marah besar karena Navia sakit gigi. Meskipun ayah Navia seorang dokter gigi, bukan berarti Navia bebas mengkonsumsi apa pun yang disukainya karena bisa bebas diobati. Tidak. Akhirnya, Navia dihukum untuk tidak diberi uang saku, dan hanya boleh makan dan minum yang dimasak di rumah oleh asisten rumah tangga mereka.
“Gitu, ya?” Fea menyengir kaku sambil menggoyang-goyangkan cokelat batangnya.
Navia mengangguk. “Aku udah janji sama Papi.”
“Ya, udah. Nggak apa-apa.” Fea memasukkan cokelatnya kembali ke dalam tas, lalu memasang wajah semringah lagi.
“Kita mau ke mana sekarang? Kamu ada ide?” tanya Fea berpikir-pikir. Di hari yang senggang ini, Fea ingin membawa Navia kemanapun yang diharapkannya sebagai pengganti untuk hari-harinya yang sibuk kemarin-kemarin.
“Boleh ke Dufan, Mi?” tanya Navia penuh harap.
“Dufan?” Fea tidak menyangka Navia mengharapkannya pergi ke sana. Ia pikir Navia hanya akan meminta untuk bermain di mall sampai malam suntuk, lalu membeli kebab kesukaannya, dan menikmati es krim sambil menaiki komidi putar.
Navia mengangguk antusias. Namun, karena melihat keraguan di wajah ibunya, Navia murung. “Nggak boleh, ya?” ujarnya.
Kali ini Fea yang terlihat salah tingkah. “Di sini panas, kita ke mobil dulu, ya. Sekalian kita cari makan siang, kita bicarain ini. Oke?”
Fea merangkul Navia dan membawanya ke dalam mobil yang diparkir di luar sekolah. Barulah mereka melenggang ke jalan raya.
Jumat siang hari menjadi waktu yang sepi. Fea mengajak Navia ke salah satu mall di daerah Jakarta Pusat, seperti rencananya hari itu. Jika Navia memang ingin ke Dufan, Fea akan mengabulkannya, tapi sepertinya tidak hari ini. Lagi pula, mereka harus mempersiapkan perlengkapan lainnya.
Sudah dua jam mereka mengitari mall. Sudah ada tiga tas belanja juga yang dibawa. Selain tas berisi buku-buku bacaan baru untuk Navia, Fea juga membelikan baju untuk putrinya. Tadi Fea sempat membawa Navia ke toko baju anak biasa, tapi Navia meminta ibunya untuk membelikannya baju muslim. Akhirnya Fea membelikan cukup banyak pakaian untuk putrinya.
Navia memang sudah banyak berubah akhir-akhir ini. Dia sudah tumbuh lebih dewasa. Mungkin teman atau guru Navia yang merangkul gadis ini untuk lebih banyak menutup aurat, mengingat lingkungan sekolahnya yang agamis. Namun, memang itu tujuan Raffa dan Fea saat memilihkan sekolah agama untuk Navia. Setidaknya, Navia memiliki bekal agama yang cukup, yang tidak bisa didapatkan dari kedua orang tuanya.
Sehabis makan dan membeli kue, barulah Fea mengajak putrinya ke rumah barunya. Saat itu hari sudah malam. Navia sudah kelelahan dan tertidur di jok depan samping kemudi, masih dengan pakaian seragam sekolahnya. Kerudungnya sudah tidak teratur walau Fea sudah berusaha mencoba merapikannya. Fea memang tidak pandai membuat anaknya terlihat rapi. Tidak pandai juga merawat anaknya.
Di sepanjang perjalanan pulang, Fea sering melirik ke arah putrinya yang tertidur pulas. Sambil sesekali memikirkan sesuatu yang sepertinya sudah tidak mungkin lagi terjadi.
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah perumahan elite, di depan sebuah rumah modern minimalis berlantai dua yang tidak terlalu luas tetapi dari desainnya punya kesan yang mewah. Rumah itu tidak berpagar, karena keamanan terjamin 24 jam. Fea memarkirkan mobil sedannya di halaman parkir minimalisnya.
“Nav Sayang, bangun. Kita udah sampai.” Fea menepuk pelan pipi Navia yang lengket karena seharian di luar rumah.
Navia menggumam lalu menggeliat pelan. Kelopak matanya terbuka dan langsung segar ketika melihat rumah baru ibunya yang baru dikunjungi hari ini. “Ini rumah baru Mami?” tanyanya tidak percaya.
Fea tersenyum lebar dan mengangguk. “Mami siapin kamar baru kamu, lho. Semua barangnya penuh dengan warna kesukaan kamu, peach!”
“Serius, Mi?” Navia girang.
“Nginep sini, ya?”
“Iya!”
Fea begitu lega sekaligus cemas. Ia lega karena Navia mau menginap di rumahnya, tapi di sisi lain, Fea juga cemas karena perjanjian dengan Raffa tidak begitu. Fea akan mengemukakan alasan apa pun demi putrinya supaya bisa menginap di rumah ini.
Fea dan Navia turun sambil membawa barang-barang. Navia melihat dengan saksama pada rumah baru ibunya yang cantik. Ada sinar lampu kuning yang menyorot di sepanjang tembok dari bawah hingga atas. Lampu-lampu taman juga terdapat di sekeliling taman yang hijau. Taman minimalisnya indah dan rapi, plus punya kolam ikan kecil. Navia melihat ke samping rumah, ternyata rumah lainnya juga seragam dan sama persis. Hanya saja setelah dipikir-pikir dan dibandingkan dalam benaknya, rumah ini serupa—walaupun tidak sama persis—dengan rumah ayahnya yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.
“Rumahnya mirip sama rumah Papi, ya, Mi!” kata Navia tersenyum kecil.
Fea terpaksa melebarkan senyumannya. “Iya. Kan rumah itu juga dulu Mami yang bikin.”
“Tapi kenapa Mami nggak bisa tinggal di sana lagi bareng kita? Pasti Mami kesepian banget tinggal sendiri di sini. Ya, kan?”
Fea tersenyum lebar tapi terlihat kalau wajahnya hampa. Memang begitu. Navia yang peka, pasti sadar kalau ibunya kesepian selama ini. Tidak tinggal satu atap dengan anaknya sendiri adalah sebuah kesendirian yang mengerikan. Namun, itu karena ulahnya sendiri yang mengantarkannya pada situasi seperti ini.
“Mami sibuk, jadi di rumah cuma sebentar.” Fea terpaksa harus menjawab seperti ini. Jawaban yang selalu menjadi alasannya sejak dahulu meninggalkan Navia dan Raffa, sampai akhirnya kini ia tinggal di sini seorang diri. Sibuk. Pekerjaan. Karier. Ambisi. Cita-cita. Alasannya selalu berkutat pada hal-hal itu. Ingin rasanya Fea menangis sambil memeluk putrinya, kemudian meminta maaf karena selama ini tidak pernah ada di sampingnya.
Dagu Navia terangkat, lalu mengangguk. Sudah maklum dengan ibunya yang super sibuk.
“Yuk, masuk!”
Navia begitu terpana dengan dekorasi interior rumah milik ibunya yang canggih. Ada satu remote canggih yang mengontrol semuanya di sana. Kata Fea ini adalah smart home, karena dibekali teknologi canggih semacam artificial intelligence. Lampu akan menyala sendiri ketika hari gelap. Pintu rumah bisa dikunci dengan smartlock sistem menggunakan pemindaian wajah dan retina mata. Pendingin udara, lampu ruangan, televisi, bahkan sofa bisa diatur sedemikian rupa dengan hanya mengucapkan kalimat perintah.
Fea menjelaskan, kalau remote-nya rusak, maka semua akan berjalan manual. Tidak ada yang membahayakan. Fea juga memberitahukan putrinya, kalau rumah ini adalah miliknya juga. Rumah ini dan rumah-rumah lainnya di komplek ini merupakan produk perusahaan di mana Fea bekerja.
Dalam arti lain, inilah cita-cita Fea sejak dulu, mewujudkan sebuah rumah pintar yang nyaman, tenang, dan aman. Jatuh bangun Fea membuatnya mendekati sempurna. Sekarang, Fea sudah bisa menikmati hasil kerja keras dan inovasi yang diharapkannya. Namun, ada yang mesti dibayar mahal atas cita-citanya. Rumah tangganya dengan Raffa, satu-satunya lelaki yang dicintainya, hancur. Fea harus kehilangan hak asuhnya atas Navia.
Navia sudah tidur pulas di dalam kamar barunya, di rumah ini. Fea baru saja selesai membersihkan diri. Malam itu sudah pukul 10 lewat. Fea sudah mengirim pesan pada Raffa, meminta izin semalam ini agar membiarkan Navia tidur di rumah barunya. Besok pagi, Fea berjanji akan mengantarnya pulang.
Namun, Fea tidak sadar, kalau pesannya tidak sampai terbaca oleh Raffa. Saat Fea sedang menyisir rambutnya yang baru dikeringkan, saat itulah bel rumah berbunyi. Fea menyalakan monitor LCD kecil yang memperlihatkan tangkapan gambar dari CCTV area halaman. Seorang lelaki tegap berkemeja tengah berdiri di teras. Itu Raffa.
Fea terkejut, lantas berlari ke lantai bawah untuk membukakan pintu. Fea mengenakan mantel tipis untuk menutupi gaun tidurnya. Sudah siap untuk menemui sang mantan, Fea membuka pintu.
“Hai!”
Fea mematung. Melihat wajah Raffa di usianya yang sudah 42 tahun, tetap saja membuat jantungnya berdebar. Bahkan Raffa terlihat terlalu menawan meski wajahnya menyiratkan kelelahan. Fea tetap mengaguminya sejak pertama kali bertemu. Hatinya tidak usah ditanya. Cinta itu masih tersimpan baik di sana meski kini talak tiga sudah berlaku untuk keduanya.
***