Mata Rayan terbuka ketika telinganya mendengar suara yang cukup menganggunya pagi itu. Masih jam lima ketika Catelina, istrinya, memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper.
“Mau pergi lagi?” tanya Rayan dengan suara seraknya, dengan mata masih berat dia duduk dan memandang bayangan istrinya yang berada di depan lemari dan sibuk dengan kopernya.
“Hmm iya, hari ini kan ada pameran di Bandung, Sayang, kamu lupa ya?” Catelina menjawab tanpa menatap suaminya.
“Terus Chris, gimana? Hari ini orang tua murid kan disuruh dateng ke sekolah.”
Catelina diam sejenak, dia melihat ke arah Rayan lalu menghela napasnya pelan. “Kamu kan bisa, aku sibuk banget, masa iya aku harus ngalah cuma gara-gara acara sekolah Chris?”
Tapi masalahnya Catelina sudah melakukan hal ini berulang kali, membuat Rayan yang harus datang ke sekolah ketika ada acara seperti ini. Dia tidak akan mempermasalahkan hal tersebut jika Catelina tidak datang satu atau dua kali. Hanya saja, Catelina sudah terlalu sering tidak pergi ke acara sekolah.
“Kamu bisa, kan?” tanya Catelina ketika melihat suaminya terlihat bingung.
“Oke, mau gimana lagi,” jawabnya. Berdebat dengan Catelina di pagi hari tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali pertengkaran besar yang dapat membuat mood istrinya itu berubah buruk selama berhari-hari.
Usai memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Catelina mengecup kening suaminya kemudian turun ke bibir. “Aku cuma pergi tiga hari, jadi jaga baik-baik Chris ya,” bisik Catelina.
Rayan tersenyum, meraih pinggul istrinya kemudian mencium leher Catelina dengan nafsu. Maklum masih pagi, dan hasrat Rayan muncul saat mencium aroma parfum istrinya menyeruak ke seluruh ruangan.
“Kamu belum mandi, jorok.” Cateline mendorong pelan dada Rayan, melakukan penolakan untuk melakukan hubungan intim ke sekian kalinya.
“Ayolah, kamu nggak akan telat kalo bisa ngeluarin selama tiga puluh menit?!”
“Nggak, kamu selalu bisa bertahan satu jam. Dan aku bakalan telat, Sayang. Ini udah mau jam setengah enam. Manajer mau jemput aku bentar lagi. Dan aku nggak mau dia liat aku berantakan.”
Perfeksionis, mungkin itu kata yang cukup menggambarkan Catelina. Dan lagi-lagi Rayan harus menerima penolakan tersebut dari istrinya.
“Oke, aku ngalah. Tapi jangan salahin aku kalo aku sampe bayar wanita bayaran ya,” goda Rayan.
“Silakan kalo kamu doyan,” sahut Catelina yang sama sekali tidak takut jika suaminya akan melakukan hal-hal yang biasanya ditakutkan oleh para istri di luar sana.
Rayan sendiri menyadari jika istrinya itu tahu bahwa dirinya begitu mencintai Catelina. Sampai-sampai mungkin tak akan berani selingkuh karena dia setia.
Rayan tersenyum tipis, dia turun dari ranjang dan mengantarkan Cateline ke pintu depan.
“Kamu di dalem aja, lihat kamu cuma pake celana begini, kalo sampai Inggrit liat gimana?”
Rayan berhenti di depan pintu, menaikkan kedua bahunya dan menunjuk bayangan Inggrit yang baru saja dipersilakan masuk oleh pembantu.
“Tiga hari ya! Kalo enggak aku bakalan jemput ke sana!” ujar Rayan sambil melambaikan tangannya pada Catelina.
Jika boleh jujur, sebenarnya Rayan menyukai bahkan mengagumi istrinya yang hebat. Bisa membantu perekonomian rumah tangga mereka dan tidak pernah mengeluh dalam pekerjaannya.
Menjadi desainer perhiasan, membuat Catelina sibuk sendiri. Tapi, ada rasa bangga dalam hati Rayan ketika memamerkan istrinya di depan teman-temannya, kecuali urusan ranjang.
Sebab Catelina termasuk wanita yang enggan berhubungan intim di ranjang terlalu lama. Karena katanya dia mudah lelah dan itu menganggu pekerjaannya.
Namun, sampai sekarang Rayan mau menerima kelemahan istrinya tersebut. Toh, dia sudah memiliki satu anak lelaki yang ganteng mirip Rayan yang kini sudah berusia delapan tahun.
“Mama pergi lagi?” tanya Chris ketika baru keluar dari kamarnya.
Rayan menoleh dan tersenyum terpaksa karena merasa tak enak pada Chris.
“Mau gimana lagi, Mama sibuk, tapi Papa kan bisa dateng ke sekolah, kan?”
“Tapi rasanya nggak sama, Pa! Temen-temenku ibunya semuanya dateng, cuma Mama aja yang nggak dateng,” protesnya. “Aku udah kayak anak piatu yang nggak punya ibu.” Chris berjalan begitu saja menuju meja makan, tidak memedulikan ayahnya yang akan berbicara lagi.
Chris berhak marah, karena Catelina memang sudah sering meninggalkan rumah. Tetapi memberi pengertian pada anak seusia Chris tak akan menghasilkan apa-apa selain membuat anak itu semakin marah padanya.
Anak itu terlihat sedang makan di kursi sambil bermain ponselnya. Rayan duduk di sebelahnya dan membelai rambut anaknya.
“Nanti, kalo Mama libur, Papa bakalan ambil cuti dan kita liburan bareng, gimana?”
Sontak wajah Chris terlihat senang, tapi sedetik kemudian dia tampak kecewa.
“Kenapa? Nggak suka sama ide itu?”
Chris menggeleng.
“Lalu?”
“Kenapa Papa selalu ngalah? Padahal Papa juga kerja, kenapa nggak Mama aja yang ngalah?”
Rayan tertampar oleh ucapan Chris barusan. Benar, selama ini dia mengalah hanya demi menciptakan kedamaian di dalam rumah tangganya dan pernikahannya. Sudah terlalu sering dia mengalah agar Catelina tidak marah bahkan kabur dari rumah.
Rayan pikir, mengalah bukan berarti kalah. Dia hanya tak ingin rumah tangganya berantakan, itu saja. Tetapi, apa yang dikatakan oleh Chris entah mengapa tiba-tiba menyentil perasaannya.
Rayan lupa, kapan terakhir Catelina mau mengalah. Atau sama sekali tidak mengalah?
Saat Catelina berada di luar kota seperti ini, dia akan sangat sulit dihubungi. Dan wanita itu juga tak akan menghubungi Rayan. Sebagai suami dia berhak marah, tapi Rayan mencoba untuk memaklumi Catelina yang sibuk dengan pamerannya.
Ponsel Rayan yang berada di kamarnya berdering, dia bergerak ke kamar usai bilang pada Chris untuk turun duluan agar tidak ketinggalan bus sekolah.
“Kenapa?” tanya Rayan ketika dia sudah mengangkat teleponnya.
“Kamu lupa? Malam ini kita ada acara, proyek kita sukses dan bos bilang mau traktir kita makan malam,” ajak temannya.
“Oh ya, aku lupa. Tapi istriku nggak ada di rumah, aku harus pulang.”
“Kan ada pembantu, Chris udah gede, dan nggak butuh pengawasanmu selama 24 jam, Ray?” kata temannya mencoba meyakinkan.
“Ya sih.”
“Masa istrimu aja yang bisa senang-senang.”
Rayan terdiam.
“Sekali ini aja, kamu nggak bakalan nyesel ikut perayaan malam ini. Oke?!”
Setelah berpikir kilat, akhirnya Rayan mengiyakan ajakan temannya itu. Lagi pula, benar apa yang dikatakan oleh Evan. Jika dia juga perlu bersenang-senang. Melepaskan penat sekali-kali agar lama-lama tidak membuatnya stress.
“Oke kalo gitu,” jawab Rayan akhirnya.