 
   
             
            SENIN, Minggu Pertama Mei | 06.30 AM
Ini bukan hari impiannya,  pagi-pagi buta mendapat kabar meninggalnya seseorang. Perlahan jemarinya  meraba-raba pinggiran nakas, menuju ke tengah lalu ke sudut nakas yang merapat  pada dinding. Ujung telunjuknya menyentuh jam tangan digital Hello Kitty yang sudah  bersamanya selama 5 tahun terakhir. Ia mendengar suara berderit memilukan saat  menarik benda itu kedekatnya. Matanya menyipit menatap jarum pendek.   Pukul 6 lebih 40 menit. Ya ampun, dia baru kelar mengerjakan laporannya jam 2  pagi, dia pasti ketiduran menjelang jam 3 pagi. Buku, map, catatan, coretan, laptop, bungkus kacang  kulit.  Semuanya berserakan di atas tempat tidur ukuran single miliknya.  Dengan pikiran kosong ia berusaha menggerakkan tubuh untuk berguling turun.  Kakinya mengambang sebentar di tepi tempat tidur sebelum benar-benar menyentuh  lantai. Diseretnya sandal kelinci besar menuju kamar mandi.
“Nggak mau pergi tapi  harus... nggak mau pergi tapi harus...”  gumamnya berulang-ulang di depan  wastafel, berharap mendapat suntikan semangat dari kalimat itu.  Ia  mengembuskan napas kuat-kuat.  Wajahnya kusut masai.  Matanya merah  kurang tidur.  Ia melotot ngeri.  Kantong matanya sudah punya kantong, jumbo size!
“Aaaaarrrggghhh!  Disaster!”   jeritnya, menyalakan shower dengan kekuatan penuh.
Selesai berurusan di kamar  mandi ia menuju ke lemari pakaian.  Seluruh tubuhnya segar, matanya  terbuka lebar dengan kesadaran terkumpul penuh. Disempatkannya melirik kaca,  memastikan tampangnya sudah mendingan.  Meski begitu, ia masih enggan berkonsentrasi  pada kabar mendadak yang diterimanya pagi ini.  Ia mulai memilih pakaian  yang pantas dikenakan dalam suasana duka.
Sebagian besar pakaiannya  berwarna kalem dan polos tetapi tiba-tiba saja semua terlalu ceria untuk  dipakai.  Pink, ungu pastel, tosca, magenta, mana warna hitam?   Pikirannya mulai nggak sabar.  Come on, Jakarta adalah macet,  macet pasti Jakarta, semua orang harus menyiapkan an extra time untuk  ke mana pun.  Tangannya memilah semakin cepat, memangnya dia nggak punya  warna hitam?
Got it, ketemu warna hitam!  Gadis itu melenguh panjang ketika menarik  keluar selembar tanktop.
“Done?”   Tiba-tiba suara cempreng Vika mengambang mengejutkan.  Lupa kalau dia  menghubungi sahabatnya itu – antara sadar dan tidak beberapa menit setelah  menatap si Hello Kitty – agar menemaninya menghadiri acara pemakaman  ini.  “Atau kita mampir ke toko baju dulu untuk beli gaun hitam?”
“Acaranya jam 9, macet,  bolak-balik, kayaknya nggak bakal sempet.”
“Good, kalau nyadar  sebaiknya buruan ganti baju deh.”
Stevia menggigit bibir,  berjalan tersaruk-saruk ke arah kamar mandi lalu keluar lagi dalam waktu kurang  dari 5 menit.  “Ready,”  katanya seraya meringis memamerkan  deretan giginya yang rapi.
Terusan cokelat tua yang ia  kenakan tepat mencapai lutut.  Cukup pantas kalau saja bagian pinggang ke  bawah tidak diberi kerut dan ruffle jadi mengembang, seolah  ada gas ditiupkan ke dalamnya sampai menggembung.  Sedikit udara lagi akan  mengubah roknya menjadi balon helium yang bisa terbang ke mana-mana.  Tapi  daripada mengenakan warna-warna yang membuatnya dikenali dari jarak satu  kilometer, gaun ini lebih masuk akal.
“Lu yakin pake gaun  itu?”  Vika memasang wajah sangsi sambil berdiri, menyambar kunci mobil  yang ia letakkan secara sembarangan di atas kasur Stevia, melirik jam tangannya  sejenak. 
“Memangnya kenapa?”  Sedikit terburu ia mengikuti langkah cepat Vika menuju keluar.   Mobil sahabatnya parkir melintang secara sembarangan di depan pagar tetapi  memang hanya sekitar 5 menit mobil itu perlu parkir.
Dia sedang memikirkan jalur  paling cepat.  Sesuatu yang sia-sia saja.  Diperkirakan sekitar 12  juta orang memadati Jakarta per kilometer persegi!  Lebih dari separuhnya  berada di jalan pada jam berangkat kerja seperti ini.  Vika  mendengus.  “Kayak gaun anak-anak.  Ngomong-ngomong, siapa yang  meninggal ini?” 
Ya, selama bermenit-menit  ia juga menanyakan hal yang sama, siapa yang meninggal?  Otaknya dilanda  kebingungan dan rasa tak percaya membaca sebaris nama yang di sms-kan ke  ponselnya.  “Namanya Alma Margareth, pasien, hampir teman.”
Vika menoleh sedetik,  buru-buru menginjak rem ketika dua orang anak laki-laki berseragam putih  abu-abu mendadak melesat menyeberang di antara kemacetan.  Ia yakin  anak-anak itu nekat menyeberang sembrono karena takut terlambat sampai di  sekolah sementara jembatan penyeberangan terlalu jauh dan plang di atas zebra  cross bertuliskan ‘Anda dilindungi undang-undang apabila menyeberang di sini’  sudah lama tidak ada, jadi menyeberang di mana aja sama.  Ia mengumpat  pelan, mengembalikan konsentrasi kepada Stevia.  “Hampir?  Emangnya  lu nggak mau temenan sama pasien?”
“Aku harus objektif, selama  pertemanan nggak mempengaruhi kinerja, aku mau.”
“Jadi... hampir teman itu  seperti apa?”
“Saling say hello lewat text,  menanyakan hal-hal remeh yang manis seperti udah makan belum?”  Ia menghela  napas, Alma sering melakukan itu, ia hanya sesekali membalas.  Itu pun  dengan kalimat pendek yang dingin.  Setitik penyesalan menelusup.   Mungkin, kalau dia lebih care sedikit aja, dia akan tahu  kenapa mendadak gadis itu tiada.
“Oh, memang seperti apa  biasanya lu sama pasien lu yang lain?”
Ia menghela napas  lagi.  “Seperti kamu dan dokter umum.  Datang, ketemu, bicara, dapat  resep kalau si pasien memang perlu obat, terus pulang.”
“Gue dan dokter  umum.”  Vika membeo.  “Nggak ada yang namanya ‘hubungan’ antara gue  dan dokter umum.  Gue bisa ke dokter umum yang berbeda tiap kali gue sakit  sedangkan lu, mereka selalu kembali ke elu kan?”  Vika menginjak rem untuk  kesekian kali dalam 10 menit terakhir.  Mobil itu tak berdaya melawan kemacetan.   Sambil menahan sabar dan berharap mereka tidak terlalu terlambat tiba di acara  pemakaman, keduanya diam menatap jalan.
Stevia mengangguk pelan,  amat pelan.  “Ya, beberapa,”  sahutnya lirih.
“Mereka merasa terhubung  sama lu tapi lu enggak.”  Vika mengetukkan  jari ke setir, menandakan ia mulai diserang rasa tak sabar sementara kendaraan  di sebelah mobil mereka menurunkan kaca menampakkan lelaki setengah baya yang  asyik mengangguk-angguk  mengenakan headset, menikmati macet!
“Kenapa nadamu menyudutkan  begitu?”  Pikirannya  melayang.  Alma Margareth, 27 tahun,  sukses, setidaknya orangtuanya sangat sukses hingga mampu mendanai usaha fashion yang  digeluti Alma.  Dia penjual yang selalu nampak ceria di depan customer.   Kecuali psikisnya, Alma sehat.  Gadis itu menegakkan tubuh agar oksigen  bisa terpompa dengan lebih baik ke paru-parunya.
Kepergian Alma terlalu  mendadak.  Kemarin sore mereka masih bertemu untuk membahas sumber depresi  gadis itu.  Alma mengatakan kalau ia tidak bisa tidur selama empat hari  lantas gadis itu terburu-buru pamit karena ditelepon salah satu kliennya yang  datang ke butik.  Mereka janjian ketemu lagi sore ini di tempat  praktik.  Sekarang baru pukul delapan kurang sekian menit.  Status  Alma sudah berubah dari hidup menjadi mati. Alma takkan muncul.  Hari ini,  besok, selamanya.  Ia tak berani membayangkan seperti apa pemandangan yang  akan dilihatnya nanti.
Hpnya bergetar tepat ketika  ia kelar mengganti profilnya dari umum menjadi getar karena takut ketika semua  orang sedang khusyuk berdoa benda itu mendenging-denging menggila mengganggu  semua pelayat, entah mengapa belum apa-apa ia sudah merasa tegang.
Deretan angka tanpa nama  muncul di layar.  Ia tidak pernah mengangkat telepon tak dikenal.   Tetapi ketegangan di otaknya sedang memegang kendali, tanpa diperintah telunjuk  kanannya menekan tombol terima.  Suara berat seorang laki-laki yang kebanyakan  merokok dan jarang ketawa terdengar kaku menyapa telinganya.
“Dokter Stevia Santoso?”
Alisnya mengkerut hingga  nyaris berkumpul di pangkal hidung.  “Benar, siapa?”
“Kami dari pihak kepolisian  ingin menyampaikan surat pemanggilan, di mana posisi Anda sekarang?”
Dengan gugup Stevia  menyebutkan alamat Alma Margareth.  Sedetik berikutnya ia langsung merasa  super bodoh.  Mau apa mereka?  Apakah mereka akan ikut datang ke  acara pemakaman itu, mengawasinya seolah-olah dia residivis yang berencana  kabur?  Memangnya apa yang sudah dilakukannya?  Kenapa secara  otomatis ia memberitahukan posisinya?  Gugup pula!  Seharusnya ia  memancing informasi dulu sebelum membocorkan keberadaannya!
Tenang Stev, nggak ada yang  perlu ditakutkan kalau kamu nggak melakukan apa-apa.  Dan kamu memang nggak melakukan apa-apa!   Kata hatinya menenangkan.  Selanjutnya ia menyimpan hp itu ke dalam tas,  mengancingkan tas lalu menelungkupkan kedua tangannya di atas tas.  Semua  itu dilakukannya slow motion.
Vika meliriknya.   “Telepon dari siapa?”
“Nobody,”   sahutnya dengan napas tersengal.  ia tak ingin Vika berpikir yang  aneh-aneh atau jadi ketakutan padanya.  “Polisi, Vik, aku baru aja  ditelepon polisi!” pekiknya dalam hati.  Kenapa aku  ditelepon polisi?  Mereka nggak berpikir bahwa aku penyebab kematian Alma  kan?  Tengkuknya bergelenyar, obat-obat itu, gumamnya dalam  diam. 
Mobil bergerak semakin  pelan.  Kepala Vika menjulur-julur mencari celah di mana ia bisa  menyelipkan mobilnya sedekat mungkin dengan tempat acara, sementara Stevia  menerawang setengah melamun memandang deretan mobil dan karangan bunga yang tak  terhitung.  Rumah duka masih sekitar 40 meter lagi tetapi mereka tak  mungkin mendekat.  Vika mematikan mesin. 
“Kita turun di sini,”   katanya menyerah seraya membuka pintu.  Udara dingin berembus menerbangkan  partikel tak terlihat di jalanan yang meskipun penuh orang, terasa  lengang.  Manusia yang hilir mudik datang dan pergi tanpa suara.   Kepala mereka tertunduk menyesalkan usia belia yang berakhir pagi ini.   Keduanya beriringan mendekat ke arah tenda putih di mana beberapa anak muda  berdiri menyambut pelayat dengan wajah datar.  Setiap orang digiring  melewati deretan kursi plastik bertutup kain putih berenda menuju ke pintu  berbentuk kupu-kupu yang membuka lebar.
Dada gadis itu berdebar tak  terkendali sewaktu kakinya berada di ambang pintu, berusaha tidak gugup ketika mendekati  peti kaca.  Alma berbaring seperti putri salju yang tersihir menunggu  pangeran berkuda putih menemukannya, terpesona dan memberi true love  kissuntuk membangunkannya.  Cantik tanpa cela seolah dia berada di  dalam peti itu demi pemotretan krim pelembap muka yang bekerja saat pemakainya  tertidur pulas.
Ia bengong di situ lebih  dari 5 menit.
Lelaki muda yang baru  datang membuatnya tersadar, pria itu berdiri tepat di hadapannya, memandangnya  sambil lalu, menatap serius pada wajah Alma. Semuanya serba sebentar.   Ekspresi menganalisa, mencari sesuatu, heran, ngeri, bahkan seperti… puas! Berganti-ganti dalam  hitungan detik.  Dengan cepat pria itu menunduk memberi penghormatan  terakhir kemudian keluar.
Stevia ikut melangkah  keluar.  Apakah Alma sempat dibawa ke rumah sakit?  Apa jenazah Alma  divisum?  Apa hasil visumnya?  Ia melihat lelaki tadi memilih duduk  di deretan kursi paling belakang.  Di sebelahnya duduk lelaki lain,  mengenakan kaca mata hitam trendy yang membuatnya tampak gagah sekali.   Semoga saja ia tetap mengenakan kacamata sampai akhir acara.  Beberapa  lelaki justru jadi kurang menarik ketika melepas kacamata hitam mereka, ah,  mikir apa sih?
Sejenak ia celingukan  mencari Vika.  Ketika ia melangkah ke dalam tadi, Vika tak ikut  masuk.  Temannya itu memilih mencari tempat duduk dan menunggu di  luar.  Akhirnya ia menemukannya, dilihatnya Vika duduk di deretan paling  belakang, 8 kursi dari dua pria yang menarik perhatiannya tadi.  Tangannya  menahan rok yang mengembang terkena angin ketika melewati deretan tempat duduk  menuju ke arah Vika sambil menggumamkan permisi beberapa kali.
Perlahan ia duduk,  memindahkan tas cangklong ke pangkuan dan melirik jam tangan.  10 menit  lagi kebaktiannya dimulai.  Tubuhnya miring ke arah Vika agar bisa  berbisik.  “Aku belum pernah ikut kebaktian, apa sebaiknya kita tetap di  sini atau pergi?”
Vika menatap lurus ke  depan.  “Pergi sebelum kita terjebak dalam prosesi panjang yang nggak kita  mengerti.”
Benar, toh ia tak bisa  berkonsentrasi maupun khusyuk berdoa.  Ada polisi yang ingin datang ke  kantor.  Apakah para polisi itu sudah punya data dirinya?  Memegang  fotonya?  Astaga, dia membayangkan bagaimana polisi mengunduh fotonya dari  semua akun jejaring sosial miliknya, mengeprintnya besar-besar lalu membagikannya  ke anggota polisi se-Jakarta.  Jakarta yang overpopulated,  Jakarta yang menghasilkan satu ton sampah setiap hari, Jakarta yang takkan  pernah kelar menyelesaikan masalah macet dan banjir siapa pun gubernurnya.  Ia menelan ludahnya  susah payah, mengangguk siap berdiri.  “Oke, kita pergi sekarang.”
“Sebentar.”  Vika  menutupkan telapak tangannya ke punggung tangan Stevia, memaksa Stevia duduk  kembali dengan heran.  “Aku nggak tahu kalau kamu ternyata kenal Ezra  Adiputra,”  bisiknya.
“Siapa?”
“Come on, cowok  paling hot selama 5 tahun terakhir.”
“Please Vik,  ini acara pemakaman.”  Ia mendengar lonceng berdenting merana dari dalam  rumah.  Orang-orang yang sibuk mendengung rendah.  Anggota keluarga  dan aktivis gereja berlalu lalang sambil berkoordinasi.  Tetamu menunggu  dalam diam, penuh kesedihan.  Benar-benar dosa rasanya kalau membicarakan  cowok hot.
Namun beberapa lelaki  memang tampak hot.  Seorang model, seorang aktor FTV,  eksekutif muda (sangat muda) yang terlalu sukses sebelum waktunya dan  segerombolan pria super rapi yang meskipun hot harus  dipertanyakan orientasi seksualnya.  Stevia mengenal salah satunya, lelaki  dengan foundation, bedak tipis dan maskara itu, pernah mengantar  Alma ketika berkonsultasi.  Suatu malam saat Jakarta diguyur gerimis,  konsultasi ketiga mereka.  Siapa ya namanya?  Udin, Ujang,  Cecep?  Bukan, namanya terdengar sedikit lebih nyentrik.  Mark, ya,  itu namanya.
Pastor berpakaian putih  memasuki rumah.  Ia pasti melamun karena tak menyadari ketika pastor itu  lewat.  Padahal ia duduk tepat di pinggir jalan masuk.  “Sekarang  atau di sini sampai selesai,”  bisik Stevia resah.  Ia ingin  cepat-cepat pergi sementara orang-orang bergerak mendekat untuk mengikuti  misa. 
Vika berdiri.
Stevia mengikuti ke mana  arah pandangan Vika.  Lelaki yang tadi berdiri di hadapannya juga sedang  bangkit dari tempat duduknya, memasang kacamata hitam lalu berjalan tergesa ke  arah mereka berdua.  “That’s him?”  bisik Stevia, merasa gila  karena sempat-sempatnya melirik cowok ganteng di saat seperti ini.
“Ya, mapan, matang, seksi.”
Blodyhell!  Laki-laki itu tepat seperti yang dikatakan Vika, meski namanya  tak terdengar sangar, dibandingkan para model yang berseliweran, dia jauh lebih  maskulin dan menantang.  Oke stop!  Otaknya mungkin sudah  lumer akibat panas dan terlalu tegang di acara duka ini. Stevia meninggalkan  kursi, menjauh dari kerumunan kemudian berjalan berlawanan arah dengan semua  orang.  Hanya dirinya, Vika, dan dua lelaki itu yang meninggalkan rumah  duka.  Seharusnya dia tadi membawa kacamata hitam.  Mendadak benda  itu sepertinya bisa melindunginya saat ini.  Beberapa orang menatap ke  arah mereka berempat.
Oh wow, ia baru sadar kalau  mereka terlihat seperti dua pasang lelaki dan perempuan yang tidak punya hati  karena meninggalkan acara justru saat pastor mulai berdoa.
40 meter kemudian, setelah  berjalan beriringan selama entah beberapa menit tanpa saling melirik satu kali  pun, kedua pria itu menyelinap ke sebuah wrangler.  Mesinnya nyaris tak  bersuara sewaktu mundur kemudian melesat entah ke mana.  Sungguh ajaib  bahwa mobil mereka ternyata bersebelahan.  Grandis Vika segera mengekor  kendaraan itu.
“Apa yang harus kukatakan?”  pikir Stevia, melirik sahabatnya sedetik, berpindah menatap  wrangler di depannya.  Mana mungkin dia minta di drop di  kantor polisi.  Vika sahabat yang baik tapi ia agak ember pada orang-orang  yang sudah akrab dan Vika akrab dengan mamanya!  Tanpa diminta saluran  pernapasannya menarik oksigen dan menyingkirkan karbondioksida dengan  buru-buru.  Embusannya terdengar keras.
“Gimana caranya membuat  Ezra menyadari kehadiranku?”  kata Vika tiba-tiba.  “Kita nggak  mungkin menyelip terus berhenti di depan mobilnya kan?”
Butuh beberapa detik  sebelum Stevia menangkap perkataan Vika lantas menyahut.  “Klaksonin aja  sampai mereka berhenti karena heran.  Kalau sudah jengkel, salah satunya  pasti keluar.”
“Hmm... agak aneh tapi  nggak ada salahnya dicoba.  Kalau mereka turun dari mobil terus  gimana?”  Vika terdengar bingung dan penasaran.
“Pura-pura salah orang.”
“Garing.”  Nada  bingungnya berubah menjadi sedikit sebal.  Kalau saja Stevia tak melihat  wajahnya, ia pasti membayangkan seraut wajah ketus yang kesal dengan alis  mencuat.  Kenyataannya Vika hanya menatap kosong ke depan.
“Bilang aja seumur idup kamu  selalu mimpi suatu hari bisa mengemudikan sebuah wrangler.”
“Norak.”
Stevia tertawa  kering.  “That’s it, kamu garing dan norak.  Sekarang drop aku  di perempatan itu, ada klien yang harus kukunjungi.”  Dia harus turun,  menyetop taksi dan ke kantor polisi sebelum polisi mengira dia melarikan diri  betulan lalu melacaknya ke kos dan ke rumah orangtuanya.  Mama papanya  bisa pingsan sambil berdiri tegak kalau sampai itu terjadi.
“Apakah sehat menemui klien  sedangkan lu baru aja menyaksikan kematian salah satu klienmu?”
“Awalnya aku ngerasa  sehat but thanks God, berkat kata-katamu aku nggak ngerasa sehat  lagi.”
“Sorry.”
Wrangler itu ke kiri,  mereka seharusnya ke kanan tetapi Vika membelokan mobil ke kiri.
“Kenapa kita ngekor  mereka?”  seru Stevia berusaha tak kehilangan kendali.  Kebutuhannya  untuk berhenti sudah seperti pecandu mariyuana yang membutuhkan suntikan untuk  meredakan rasa sakit yang bisa membuatnya kejang-kejang tak keruan.
“Gue ingin tahu ke mana  Ezra.  Ini kesempatan langka.”
“Tapi aku harus turun  sekarang,”  desis Stevia menahan diri.  Kalau satu kali lagi niat turunnya  gagal dia pasti menjerit.
“Tunggu sampai mereka  berhenti baru gue bakal berhenti.”
“Kamu stalk dia, i  can’t believe it!”  bentaknya.
“Shhh... gue kudu nginget  nomor polisi mobil keren ini.”  Vika sama sekali tak menyadari bahwa  Stevia serius dengan kemarahannya sekaligus gemetar mendengar Vika menyebut  kata ‘polisi’.
“Bisa aja ini mobil lelaki  yang satu lagi.”  Gadis itu berdecak.
“I really hate you kalau  lu benar!”
Wrangler berisi Ezra dan  rekannya berbelok ke pelataran kafe.  Pemandangan yang semakin  menjengkelkan Stevia.  Seharusnya tadi ia membawa kendaraan sendiri,  meminta Vika mengekorinya agar bisa bersama ke pemakaman itu lalu pulang  sendiri-sendiri.  Tapi nasi sudah menjadi bubur.  Sebenarnya bubur  juga enak kalau diberi kuah sup ayam tapi dia benci bubur apa pun  lauknnya!  Matanya menyala-nyala manakala grandis Vika berhenti tepat di  samping wrangler kedua pria itu.
Percuma saja ia memasang  wajah cemberut paling seram yang dia bisa.  Vika langsung melompat turun,  tergesa berjalan di belakang kedua pria itu.  Stevia terpaksa ikut turun  tetapi ia memilih berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi.
“Ezra!”  seru Vika.
Great, dia menyerang.  Stevia mempercepat langkah menjauh sambil  menelepon layanan taksi yang sibuk melulu sejak tadi. 
Lelaki jangkung itu  menoleh.  “Maaf?” Suaranya tenang, ekspresinya datar. 
Seharusnya lelaki ini  bernama Jagad, Bumi, Bimasakti, Gagah atau sesuatu yang lain yang mengesankan  kekuatan. Nama Ezra terlalu imut bagi sepasang mata elang yang somehow bisa  kelihatan teduh dan tengah menyorot heran itu.
“Nggak inget ya, kita  pernah ketemu beberapa kali di acara keluarga, gue ingat lu juga datang di  acara pernikahan kakak gue.”
“Oh...”  Pria itu tersenyum seadanya.  Kentara sekali kalau dia tidak ingat  namun berusaha tidak mempermalukan orang lain.  “Apa kabar?”
“Baik, boleh gabung  ya?  Kebetulan gue juga mau sarapan.”
Ezra menoleh ke sebelahnya.
“Sure, temanmu nggak  diajak?”  Pria disebelah Ezra melirik ke arah Stevia yang berdiri di dekat  pohon palem sekitar 4 meter dari situ. “Siapa namanya?”
“I’ll do it.”   Ezra tiba-tiba menepuk perut temannya, berjalan mantap ke arah Stevia  meninggalkan Vika yang menganga dan temannya yang melongo.
Mata  Stevia membesar. Hell no! Dirinya nggak akan mau berkomunikasi  dengan lelaki itu se-seksi apa pun dia. Ia menjerit dalam hati. Please, Vik, selain tindakanmu itu sangat memalukan, lelaki itu sempat kelihatan puas  melihat sosok Alma terbujur kaku!