Hadiah pertama Ais di hari ulang tahunnya yang ke-21 adalah sebuah jerawat baru di pipi kiri.
"Keren banget—dari gue untuk gue," ujar Ais sarkatis. Ditatapnya pantulan di cermin. Salah satu hal yang dia sadari berubah sejak umurnya menginjak kepala dua adalah kulitnya tak lagi semulus dulu. Ais jadi suka rindu masa-masa ketiduran tanpa cuci muka dan bangun dalam keadaan baik-baik saja. Sekarang kulitnya rewel sekali, juga kurang ajar—hanya cocok dengan produk skincare yang harganya membuat kantong mahasiswa megap-megap.
Ais menghela napas dan mengoleskan obat jerawat yang dibelinya setelah menabung berminggu-minggu. Anehnya lagi, berdasarkan pengalaman pribadi Ais dan orang-orang di sekitarnya, jerawat selalu muncul di hari-hari istimewa. Seolah memang berupaya keras untuk merusak hari tersebut. Ais memutuskan untuk tersenyum sekilas pada pantulannya sendiri sebelum keluar kamar—sebuah pembuktian bahwa butuh lebih dari sekadar jerawat untuk membuat mood-nya buruk hari ini.
Pagi itu rumah Ais sudah ramai dengan berbagai aktivitas. Bunda sibuk memasak semur. Ayah tengah membuat kopi untuk dirinya sendiri sambil melirik-lirik televisi yang menyiarkan berita pagi. Aki—panggilan Ais untuk kakek—ada di halaman belakang mengajak main si Jambu, kucing kecil yang beberapa bulan lalu tiba-tiba muncul dari pohon jambu dan terus menyambangi rumah mereka hingga dinobatkan sebagai cucu ketiga Aki. Enin—neneknya—duduk di sofa, fokus mengomentari tayangan berita. Adit duduk di sebelah Enin, bersandar pada lengan besar sang nenek sambil main Mobile Legend di HP. Sesekali adik lelaki Ais itu membalas komentar Enin—tiap kali kalimat Enin berakhir dengan imbuhan "Dit".
"Ini presenternya anak dari penyanyi dangdut yang terkenal pas Enin SMP. Sekarang mah dangdut udah nggak jaman, ya, Dit."
"Iya, Nin."
Ais menyeringai melihat Adit yang tetap menjawab walau dengan satu kata (dan walau perkataan Enin sudah sering dilontarkan pada hari-hari sebelumnya). Adit bukan tipe anak yang banyak omong, tapi dia tidak pernah mengabaikan orang yang mengajaknya mengobrol. Dan Enin sangat suka mengajak siapa saja mengobrol. Kata Ayah dan Bunda, hal tersebut diturunkan pada Ais. Ais, meski merasa dirinya tidak secerewet Enin, mengakui kalau Enin dan juga Aki banyak memengaruhi sikapnya. Kemungkinan karena waktu kecil porsi Enin dan Aki mengasuh Ais lebih banyak dibandingkan Ayah dan Bunda. Makanya, Ais sering menyebut-nyebut bahwa dirinya adalah produk grandparenting gaya surrogate—pengasuhan oleh kakek nenek di mana mereka bertindak sebagai pengganti orang tua. Dia mempelajarinya di perkuliahan.
"Aku ulang tahun loh hari ini," umum Ais seraya menyelipkan diri di sofa, bersandar di lengan Enin yang satunya. Hal lain yang Ais sadari sejak akhir masa remajanya adalah semakin sedikit orang yang mengingat hari ulang tahunmu. Bukan sempurna lupa—kalau ditanya, mereka pasti menjawabnya dengan tepat. Namun, mereka tidak lagi menanti-nantikan hari itu dengan hadiah, kejutan, dan hal lainnya. Bukan berarti kelahiranmu sudah tidak berarti, tapi lebih karena orang-orang di sekitarmu juga menua dan ada terlalu banyak hal untuk diingat ketika kamu bertambah tua. Beberapa hal akan terlupakan begitu saja, apalagi yang berkaitan dengan angka-angka.
"Bener gitu, Dit?" tanya Enin, memastikan Ais tidak membohonginya.
"Iya, Nin."
"Loh, sudah tanggal satu Februari, ya?" Ayah menghampiri mereka bersama kopi di tangannya. Sama sekali tidak sadar bahwa berita yang dari tadi dicuri pandang olehnya sedang membahas pergantian bulan. Ayah duduk di kursi yang terpisah, memperhatikan Ais dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Yakin nih dua puluh satu tahun? Empat belas kali."
"Yeh, itu mah Adit kali." Ais mengibaskan rambut sebahunya. "Aku sih dua puluh satu. Udah cocok jadi wanita karir."
"Kok jadi pada ngumpul depan TV? Sini dong, di meja makan," protes Bunda sambil mematikan kompor. "Aki, masuk Ki, makan dulu. Sarapan," panggilnya.
"Selalu deh si Aki. Jambu nomor satu, sarapan nomor sepuluh kali ya," kata Enin. Wanita itu menggiring anggota keluarga lainnya pergi dari depan TV. "Dit, kamu ajakin Aki masuk dulu."
Bunda mengacak rambut Ais sewaktu gadis itu membantu menyiapkan meja makan. "Selamat ulang tahun, ya, Sayang."
"Makasih, Bun."
Sarapan selalu menjadi satu-satunya momen keluarga Ais utuh di meja makan. Waktu makan lainnya bebas mau dilakukan kapan dan di mana saja, asal sarapan bersama—itu hal yang dijunjung tinggi oleh Ayah. Setelah kuliah di jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen, Ais jadi memandang ritual sarapan bersama ini secara berbeda. Berdasarkan yang dia pelajari, sekarang tidak banyak keluarga yang menyempatkan untuk makan bersama di meja makan. Padahal, makan bersama bisa menjadi kesempatan untuk mempererat hubungan satu sama lain.
"Cie, diajak kencan nggak sama Gara hari ini?" goda Enin begitu semua sudah duduk di meja makan dan mulai menyantap makanan.
Suapan Ais terhenti tepat di depan mulutnya. Bibirnya seketika mengatup, mengulum senyum. "Diajak nggak ya?"
"Jangan ditanya, Enin," protes Aki. "Pedih nanti. Kan bertepuk sebelah tangan." Aki menyolek lengan Ais dan terkekeh.
"Ih, Aki!" Ais cemberut. "Tapi bener sih. Gara kan udah punya pacar, Enin. Adik tingkat."
"Siapa tahu putus."
"Ih, Enin!" Dua detik kemudian, "Ya semoga aja sih."
"Ih, Ais!" Ayah berdecak. "Bisa-bisanya mendoakan orang lain putus?"
"Bercanda, Yah."
"Lama juga ya kamu suka sama Gara, Is," komentar Bunda. "Dari awal SMA kan? Sejak masuk ekskul teater? Sekarang kalian berdua sudah nyusun skripsi, di jurusan yang sama pula. Hampir tujuh tahun bertepuk sebelah tangan."
"Ini kenapa jadi ngomongin Gara semua, sih? Yang ulang tahun kan aku." Ais menggeleng kewalahan. Dia melanjutkan suapannya yang tadi terhalang. Seisi rumah bisa tahu sosok cowok yang disukainya karena bertahun-tahun lalu diary Ais dibaca lantang-lantang oleh Adit—yang pada saat itu masih kelas 2 SD dan tidak sadar kalau dia sedang membacakan sebuah rahasia. Saat itu Ais sedang di sekolah. Pulang-pulang, Enin langsung heboh dan mewawancarainya tentang hal tersebut. Terpaksa Ais mengaku. Awalnya terasa memalukan, tapi lama-lama Ais jadi terbiasa bercerita tentang Gara pada keluarganya.
"Tapi hari ini aku mau pergi ke luar ya," izin Ais. "Dan ada Gara, tapi bukan nge-date, serius."
"Sama siapa lagi?" tanya Ayah. "Ngapain?"
"Marsha, Tifa. Diajak makan bareng."
"Mau di-surprise-in ya?" Kali ini Enin yang bertanya.
Aki langsung menolak tebakan Enin. "Ah, udah gede masa masih surprise-surprise-an. Berlebay itu mah. Iya nggak, Dit?"
"Iya, Ki."
"Surprise ala-ala ini namanya." Sebenarnya Ais hanya diajak makan biasa, tapi dia sudah bisa membaca kedua sahabatnya akan menyiapkan sesuatu. Kue ulang tahun, barangkali. Atau sekadar dekorasi bertuliskan selamat ulang tahun. Ais menambahkan, "Nggak bakalan kaget, tapi kan senang aja."
"Mungkin surprise-nya Gara nembak kamu." Enin masih belum menyerah. Kalau dipikir-pikir, Enin adalah penumpang kapal garis keras Ais x Gara.
"Mana ada." Ais tertawa. "Nah kan, Gara disebut-sebut lagi."
"Si Enin pengen cepat-cepat punya cicit soalnya."
"Iya dong, Ki. Nanti kalau aku keburu mati, gimana?"
Dahi Bunda langsung berkerut. "Enin ngomongnya jangan gitu, ah."
"Makanya nanti abis wisuda cepetan nikah ya, Is." Enin mengedipkan mata pada Ais. "Nggak sama Gara juga nggak apa-apa."
Yang digoda pura-pura tidak mendengar. Ia memperkeras kunyahannya. "Semurnya enak banget, Bun."
"Ih, Dit, lihat tuh kakakmu pura-pura nggak dengar." Enin menyenggol sikut Adit. Ia mencondongkan tubuhnya untuk mendekat pada Ais yang duduk di sisi lain meja, kemudian mengulang ucapannya kencang-kencang, "MAKANYA NANTI ABIS WISUDA—"
Ais langsung tutup telinga. "MMMM, DAGINGNYA LEMBUT BANGET, BUN."
Nikah apanya. Wisuda apanya. Proposal skripsi saja masih menunggu kabar dari dosen pembimbing yang gaib.