Musim giling 1937. Seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu meriah.  Jerit centil dan lirikan mata menggoda para penari jathilan mengundang  tepukan dan seloroh nakal penonton. Kenong dan kempul dipukul beriringan,  disusul suara selompret yang  meliuk-liuk. Minggu lalu, Reog Singoyudan didaulat untuk tampil membuka prosesi  awal musim giling. Dahulu, sebelum diboyong oleh Tuan Murray, aku sering  membantu bapak mempersiapkan sesaji sebelum pertunjukan dimulai. Aku adalah  satu-satunya gadis yang ada dalam rombongan Reog Singoyudan, putri dari  pimpinan reog bernama Wongso Ngadiman.
Gesekan roda lori pada bantalan besi membuat  suara decit nyaring sebelum berhenti di depan gudang Pabrik Gula Pagotan. Suara  loko uap juga tak kalah keras, meraung karena beban yang ditarik bertambah  berat. Seorang masinis Indo dengan pembantu pribuminya mengemudi dengan  semangat, seolah mereka adalah penakluk ular raksasa Baruklinting. Para mandor  sibuk mencatat ini-itu, memerintah kuli-kuli angkut untuk membongkar muatan  lori pengangkut tebu. Di sisi yang lain, bocah-bocah berkuncung mengikuti  lori yang mengular dari ujung-ujung kebun tebu hingga pintu masuk pabrik gula.  Bocah-bocah bertelanjang dada dan bersual (celana) goni itu memunguti  satu atau dua lanjar tebu yang tercecer. Beberapa ada yang sudah tidak sabar,  mengunyah tebu muda di tempatnya. Sementara yang lain bertahan dan mengempit  batang-batang tebu di ketiak mereka sambil terus mengekor di belakang lori yang  merayap pelan. Mereka tidak akan berhenti hingga petugas pabrik menghalaunya.  Jika sudah begitu, bocah-bocah akan buyar, berlarian menuju tepi sawah untuk  mengerat tebu-tebu yang mereka dapatkan. Orang-orang yang melewati jalan raya  harus berhenti untuk memberi jalan pada lori pengangkut tebu yang mengiris  jalan. Demikian pula pedati yang kutumpangi. Kamiran harus menunggu  berlalunya lori-lori itu sebelum terseok menuju Pasar Pagotan.
Boleh jadi penduduk di sekitar pabrik gula bersuka cita, sawah  yang mereka tanami tebu sebentar lagi dipanen. Mereka mungkin akan mendapat  sebenggol-dua benggol persenan dari pabrik gula untuk tebu-tebu yang tumbuh di  sawah mereka. Untuk beberapa hari, mereka akan bisa membeli beras, makanan yang  sudah langka itu. Namun,  kegembiraan tersebut tidak  berlaku untuk Mruwak, desa di kaki Gunung Wilis yang selalu miskin itu. Musim  giling atau bukan, mereka akan selalu kelaparan. Hari ini aku akan membeli  bahan makanan untuk mereka, memenuhi pedatiku dengan beras, kelapa, dan kedelai.
Mruwak memang bukan seperti desa-desa lain di karesidenan ini.  Lurah Mruwak menolak untuk mengganti tanaman padi dengan tebu. Tentu saja  kelakuan desa ini membuat pemerintah Hindia Belanda naik pitam.  Mereka sengaja membelokkan aliran sungai yang membelah desa itu dengan  membangun dam. Lambat laun, sawah menjadi kering, padi yang ditanam kurus  kekurangan air. Satu-satunya harapan mereka adalah hujan, yang sayangnya, juga  ikut memusuhi Mruwak. Sudah bertahun-tahun penduduk Mruwak gagal panen. Aku  yakin, Mruwak dijadikan contoh bagi desa-desa yang hendak membangkang aturan  pemerintah Hindia Belanda. Mruwak sengaja dibuat mati perlahan-lahan.
Mruwak memang begitu dibenci sekaligus ditakuti oleh orang-orang  Eropa. Pasalnya, banyak keturunan prajurit Monconegoro Timur berdiam di sana.  Sisa-sisa semangat pemberontak itu masih ada dan terpelihara. Monconegoro Timur  dahulu adalah pusat pertahanan daerah timur di masa kerajaan Mataram. Sifat  berani dan membangkang dari warga Mruwak membuat pemerintah Hindia  Belanda was-was sehingga mereka mengawasi dengan ketat  gerak-gerik desa Mruwak.
"Selamat pagi, Nyai. Kedelai dari Babakan  sudah datang. Apa Nyai berminat?"
"Selamat pagi, Ki Kusran. Berikan aku  setengah pedati. Nanti kubayar setelah selesai masa giling tebu."
Ki Kusran berdiri menyambutku dengan  semangat begitu tahu siapa yang datang. Sambil menggulung ujung  kainnya, dia memapahku turun. Pedagang itu segera memerintahkan  kuli-kulinya bekerja. Setengah pedati diisi kedelai yang dimampatkan, kedelai  dari Babakan yang sudah termasyhur mutunya, putih dan gemuk. Sisanya diisi  kelapa dan jagung.
Di awal musim giling, Pasar Pagotan juga ikut  menggeliat. Pasar tak hanya berisi kedelai dan gabah, barang-barang yang biasanya  sulit didapat sekarang terpajang di lapak-lapak. Pedagang-pedagang Tionghoa  yang biasanya hanya berjualan di kota, kini mampir ke Pagotan, membawa pupur,  gincu, gerabah, dan keramik yang kualitasnya baik. Tak hanya itu, kain linen  halus dan batik dari Solo juga banyak tersampir di pedati-pedati saudagar kain.  Pengunjung pun mulai semarak. Tak hanya kuli-kuli panggul berbadan kekar  mengilap yang berseliweran membantu majikan mereka, Pasar Pagotan juga mulai  riuh dengan noni-noni Belanda bergaun dan berpayung putih. Belum lagi nyai-nyai  bersanggul dan berkebaya bagus yang terlihat berjalan-jalan di pasar bersama  anak-anak mereka yang setengah pribumi, bangsa Indo. Perempuan-perempuan  itu saling sapa, memamerkan perhiasan yang tersemat dari ujung rambut hingga  kaki. Mereka saling puji dalam iri, tetapi terkikik menghina begitu beradu  punggung. Aku melihatnya seperti kontes perempuan paling pintar menghamburkan gulden (mata uang Belanda zaman  dulu) milik majikan mereka. Jelas aku tak ingin bergaul dengan mereka,  tempatku bukan di sana.
Di pasar, orang-orang juga mulai  berdesas-desus. Tidak hanya membicarakan panen tebu dan pangan yang semakin  mahal, mereka juga kasak-kusuk membicarakan sebuah bangsa bermata sipit yang  tak kenal takut. Dari sudut tempat yang satu ke sudut yang lain, pembicaraan  mereka sama; bangsa timur yang mulai menggeliat, bergerak ke penjuru Asia.  Kabarnya, bangsa ini membuat pemerintah Hindia Belanda gusar. Aku  tidak mengerti pembicaraan mereka dan kuputuskan untuk melanjutkan perjalananku  begitu pedati terisi. Roda pedati segera menggelinding ditarik dua ekor sapi,  terseok-seok beradu dengan jalan berbatu menuju Mruwak, desa tempatku berasal.  Hari ini aku memulai lagi lakonku, mencoba menggerus dosa yang entah sampai  kapan akan kutanggung; dosa sebagai seorang nyai.