cover landing

Accept Me As Your Boyfriend

By Raya Mipi


Nuna berjalan sempoyongan menuju pintu ke luar. Kepalanya terasa berat. Ia berhenti ketika kakinya sudah menginjak rumput hijau yang tertata apik di halaman kafe.

Nuna baru saja merayakan kemenangannya mendapatkan juara pertama dalam lomba band tingkat SMA. Sebagai vokalis band, ia patut berbangga diri. Maka dari itu, ketika Ben—sepupunya—menyarankan untuk mengadakan pesta di kafenya, Nuna pun mengiyakannya begitu saja. Tapi seperti kebanyakan pesta, selalu saja ada yang usil menambahkan alkohol ke minuman. Padahal, Nuna sudah mewanti-wanti sebelumnya, ia tidak mau ada yang aneh-aneh.

Seperti orang bingung, Nuna melirik kanan-kiri. Ia berharap bisa menemukan mobilnya ,karena pandangannya mulai melemah seperti lampu charge yang kehabisan daya. Saat itulah, pandangan Nuna berhenti ke satu titik, di mana seorang pria yang ia kenal sedang bertengkar dengan seorang wanita yang jauh lebih tua darinya.

Mata Nuna fokus memperhatikan mereka, seperti penonton yang penasaran dengan adegan selanjutnya. Entah kenapa, Nuna jadi tertarik dengan apa yang mereka lakukan. Mungkin, hanya penasaran saja.

Wanita tua itu berteriak, lalu berbalik. Tapi pria itu langsung memegang tangannya, menahannya untuk tidak pergi. Kemudian, wanita tua itu melepas tangan pria itu dengan hentakan keras. Lalu secepat mungkin, ia masuk ke mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat itu. Ia pun tancap gas pergi.

Pria itu tertegun sampai mobil itu menghilang dari pandangannya. Perlahan, sesuatu yang hangat mengalir di kedua bola matanya tanpa bisa ia cegah.

"Arga, kenapa?" tanya Nuna, yang tahu-tahu saja sudah berdiri di depan pria yang ternyata bernama Arga itu.

Arga terkejut menyadari kehadiran Nuna, seketika ia seka air matanya dengan punggung tangan.

"Arga nangis, ya?" tanya Nuna lagi.

"Apaan sih? Nangis? Nggak!" balas Arga sewot. Jangan sampai deh Nuna mengira ia betulan menangis, hal itu sungguh memalukan.

Arga berbalik, mencoba menghindar. Sontak, Nuna merentangkan tangan, menghalangi jalannya.

"Arga nggak boleh pergi sebelum kasih tahu Nuna, kenapa Arga nangis? Dan siapa wanita tadi?" tanya Nuna penasaran.

"Elo kenapa sih? Kenapa jadi kepo sama urusan gue? Kita tuh nggak akrab. Jangan sok peduli!" kecam Arga tidak suka.

Nuna menggelengkan kepala. "Nuna peduli kok sama Arga. Kalau Arga punya masalah, cerita sama Nuna. Nuna dengan senang hati akan bantuin Arga," kata Nuna dengan senyum lebar. Tapi disambut tatapan aneh dari Arga.

Ini membingungkan. Tidak biasanya Nuna bersikap sepeduli ini padanya. Seperti bukan Nuna saja. Karena setahu Arga, ia dan Nuna bukanlah teman akrab yang terbiasa berbagi cerita.

"Stres lo ya?" sembur Arga kesal sambil menepis tangan Nuna, tapi Nuna tetap saja ngotot tidak mengizinkan ia pergi sebelum bercerita. Sehingga tanpa sengaja ia menarik tangan Nuna, seolah meraihnya ke dalam pelukan.

Untung saja, Arga menyadari hal itu, sehingga tubuh Nuna tidak sampai menyentuh tubuhnya. Hanya saja, wajah Nuna kini berada tepat di depan wajahnya dalam jarak hanya sejengkal. Sangat dekat.

Ada yang bilang, pose seperti ini disebut “area karbon dioksida”, menujukkan jarak antara dua orang yang cukup dekat sehingga bisa merasakan napas satu sama lain. Siapapun yang berlawanan jenis dan masuk dalam wilayah ini, tiba-tiba akan lebih tertarik pada lawannya.

Namun tiba-tiba, Arga merasakan ada bau yang aneh dari Nuna. Bau yang tidak biasa. Bukan bau parfum, tapi alkohol.

"Elo mabuk, ya?" Arga mendorong tubuh Nuna langsung. "Pantesan, ngomong ngaco dan sok peduli sama gue. Hah! Gue pikir kenapa."

"Nggak. Nuna nggak mabuk. Beneran deh." Nuna mengacungkan jarinya membentuk huruf ‘V’, plus senyum lebar yang terlihat aneh. "Pokoknya Arga nggak boleh pergi sebelum cerita!"

"Wanita tadi nyokap gue. Udah ya?" kata Arga akhirnya.

"Terus?" tanya Nuna polos.

Arga mengembuskan napas berat. Ia ingin sekali berteriak sekeras mungkin, melepaskan beban di hatinya. Diliriknya Nuna yang sekilas seperti gadis bodoh karena pengaruh alkohol.

"Nyokap baru aja ninggalin gue, dia meminta gue untuk nggak lagi mencari atau pun menghubunginya." Arga mulai bercerita.

Nuna diam mendengarkan.

"Karena bokap gue udah nikah lagi, jadi nyokap pengen gue tinggal sama bokap dan istri barunya. Padahal, gue pengen tinggal sama nyokap, bukan bokap. Nyokap gue nggak tahu, gue ngerasa sendiri di rumah itu karena bokap sibuk sama ibu tiri gue. Gue seperti dicampakkan. Gue ngerasa sendiri di dunia ini. Nggak punya siapa-siapa. Dan nggak ada yang peduli sama gue." Arga menunduk lemah. Bersamaan dengan itu, Arga merasa lega. Rasanya seluruh beban di hatinya hilang seketika setelah selesai bercerita.

Selama ini, Arga tidak punya tempat berbagi keluh kesah. Tidak ada yang pernah menanyakan Arga kenapa, baik itu Mama, Papa atau pun Ibu tirinya. Yang mereka katakan hanyalah, Arga harus menerima kenyataan bahwa perceraian orangtuanya adalah solusi yang terbaik. Sudah, itu saja. Tanpa memedulikan bagaimana perasaan Arga yang terluka.

Tapi sekarang ada Nuna, sekalipun ia setengah teler. Tapi tidak apa-apa. Arga senang sudah berani bercerita. Setelah ini, terserah Nuna jika ia bisa mengingat atau pun melupakan semuanya. Arga tidak mempermasalahkan hal itu. Toh, ia tidak mengharapkan apa-apa dari seorang Nuna.

"Arga nggak sendiri, kan ada Nuna," komentar Nuna.

"Arga nggak perlu sedih. Sekalipun semua orang di dunia ini nggak peduli sama Arga, sekalipun semua orang di dunia ini ninggalin Arga, tapi Nuna akan selalu ada di sisi Arga. Nuna janji nggak akan pernah ninggalin Arga." Nuna menunjukkan jari kelingking.

"Janji?" tambahnya dengan sungguh-sungguh.

Arga menatap bingung. Kata-kata Nuna itu seketika menciptakan sesuatu di kepalanya, sebuah harapan.

"Gue nggak nyangka, alkohol bisa mengubah seorang Nuna Kasandra menjadi gadis bodoh, polos, dan sok manis seperti ini," gumam Arga setengah tak percaya.

Arga pun menautkan jari kelingkingnya ke jari Nuna dengan enggan. Nuna pun menyambutnya dengan senyum manis, sangat manis, melelehkan hatinya seketika. Namun tiba-tiba, Nuna merentangkan tangannya lagi, meraih Arga ke dalam pelukan tanpa Arga sempat menghentikan ulahnya itu.

"Arga jangan sedih lagi ya, Nuna akan selalu ada buat Arga," kata Nuna sambil menepuk pelan pundak Arga, membuatnya merasa nyaman, sangat nyaman, sehingga ia menghentikan niatnya untuk melepaskan pelukan itu.

Entah kenapa, pelukan Nuna terasa hangat dan juga menenangkan, seperti pelukan Mama yang sudah lama tidak Arga rasakan. Perlahan, tepukan Nuna mulai melemah sampai akhirnya berhenti. Bersamaan dengan itu, pelukannya terlepas, tapi kepala Nuna masih bersandar di bahu Arga.

"Nuna," panggil Arga ragu.

Tidak ada reaksi apapun. Arga melepaskan pelukannya perlahan, tapi tiba-tiba tubuh Nuna ambruk, hampir saja jatuh kalau tidak Arga segera meraihnya lagi ke dalam pelukan.

Gawat, Nuna pingsan!