cover landing

Pacaran

By Lisma Laurel


Semarang, Desember 2024

Aku sedang membaca buku ketika putriku datang. Dia membawa foto dan menyodorkannya kepadaku.

“Siapa mereka?”

Aku mengambil foto itu. Tepi foto sudah berwarna kekuningan. Gambarnya pun mulai buram. Pakaian yang dikenakan memudar warnanya. Seragam atas yang seharusnya putih, berubah kusam, sementara celana pendek kedua lelaki dan tiga rok selutut perempuannya, berubah biru bentol-betol, terkena lembabnya udara. Namun, aku masih mengingat siapa yang ada di sana.

“Ini Rizal, Halimah, Ibu, Faiz dan Juwi,” kataku sambil mengurutkan mereka dari kanan ke kiri.

“Siapa mereka?” tanya putriku dengan pertanyaan yang sama.

“Mereka teman Ibu semasa SMP.”

“Apakah kalian lima sekawan?”

Kusunggingkan senyum. Tidak, kami bukan lima sekawan. Kami bahkan tidak punya nama geng. Waktu dulu, kami adalah lima remaja yang menghabiskan waktu dengan mengobrol apabila kelas kosong.

Putriku duduk di sampingku. Pantat kecilnya sedikit memantul di sofa berbahan beludru merah. Dia memandangku dengan mata kecil berbinar-binar.

“Apakah kalian mempunyai pengalaman-pengalaman menarik seperti lima sekawannya Enid Blyton?”

Putriku suka membaca, mirip diriku saat masih kecil. Dia yang masih berusia tujuh tahun sudah banyak membaca buku-buku Enid Blyton. Terutama cerita lima sekawan. Dia sangat menyukainya.

“Tidak, Sayang. Kami tidak seperti Julian, George, Timmy, Anna atau Dick. Kami hanyalah lima remaja biasa.”

“Apakah kalian pernah menghabiskan waktu bersama di sirkus?”

Aku tertawa. “Tidak ada sirkus di Bangil.”

“Aku ingin melihat sirkus.”

Aku membelai rambut panjang putriku.

“Jadi, apakah tidak ada cerita yang menarik?” tanyanya lagi.

Aku berlagak berpikir. Kemudian terdengar suara dari kamar. Ayahnya memanggilnya.

“Ayah akan mendongeng untukku.”

“Oh, ya?” Aku terkejut. Suamiku tidak pernah mendongeng untuk putri kami. Katanya dia tidak sepandai aku.

“Simpan jawaban Ibu. Aku akan mendengarnya setelah Ayah membacakan dongeng.”

Putriku meninggalkan foto itu di meja.

“Di mana kamu menemukan foto ini?”

Dia yang akan masuk ke kamar menjawab, “Rahasia.”

“Fega…”

“Oke, aku akan menjawab, asalkan Ibu menyelesaikan dongeng Negeri Langit-langit itu.”

Fega masuk ke kamarnya. Sejuta kosa kata seakan-akan dicabut dari tenggorokanku. Apa yang dikatakannya barusan? Menyelesaikan dongeng Negeri Langit-langit? Sebulan ini aku sedang writing block. Aku menggeleng sebagai jawaban.

Kemudian aku pun mulai mendengar suara suamiku membacakan dongeng. Aku tahu cerita apa itu. Buku itu aku beli minggu kemarin. Aku lupa judulnya apa. Buku itu merupakan seri Aurel dan Buku Pendongeng. Sejenak aku mendengarkan cara dia bercerita.

Bibirku mengembang. Cara bercerita suamiku sangat membosankan, setidaknya itu menurutku. Bagaimanapun aku tidak ingin menganggu mereka. Bila aku juga masuk ke kamar, suamiku akan berhenti bercerita dan menyuruhku menggantikannya.

Aku meletakan buku Achmad Tohari berjudul Di Kaki Bukit Cibalak di samping foto. Lekat aku memandang foto usang itu. Aku mengulas senyum.

Di luar sedang hujan. Rintiknya yang deras membuat kami sekeluarga harus membatalkan liburan akhir pekan ini. Aku bersandar pada punggung sofa. Di depan sana ada jendela kaca besar. Dari sini, aku bisa melihat hujan dan mulai mengenang masa lalu.

***

Bangil, Mei 2010

Aku lahir pada tanggal lima bulan lima tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima ketika jam menunjukkan pukul lima pagi. Kata ibu, aku lahir hari Jumat Wage—hari kelima bila diurutkan dari Senin. Aku lahir di rumah kecil di desa bernama Diwet. Ejalah kata D-I-W-E-T, terdiri dari lima huruf. Bahkan namaku apabila dieja juga terdiri dari lima huruf: R-A-L-I-N.

Seluruh hidupku dilingkupi angka lima. Aku pun urutan kelima dalam keluarga apabila dihitung dari Bapak, Ibu, kakak pertama, kakak kedua, aku dan adik. Aku pernah berandai-andai bila saja jodohku nanti memiliki nama terdiri dari lima huruf, maka, ini adalah sebuah kebetulan ajaib sekaligus mengejutkan.

Seperti yang aku sebutkan. Nama panggilanku Ralin. Lengkapnya Ralin Rahmawati. Hobiku adalah membaca dan berkebun. Aku memiliki cita-cita menjadi penulis cerita anak sepanjang masa seperti Roald Dahl. Namun, kisah ini bukan tentang perjuanganku menjadi penulis, melainkan cinta pertamaku.

Aku ingat hari itu. Di hari Kamis pada bulan Mei, tepat sehari setelah ulang tahunku yang kelima belas, aku mengayuh sepeda dengan kecepatan penuh. Aku tadi berangkat pada pukul tujuh kurang lima belas menit. Aku tidak tahu, apakah ini semacam alarm alam bawah sadar atau bukan. Yang kutahu, aku selalu berangkat jam segitu, walaupun sudah bangun pagi dan menyiapkan peralatan sekolah pada malam harinya.

Ketika waktu masih menunjukan setengah tujuh, aku akan mendengar suara Ibu memanggil dari dapur. Menyuruhku untuk cepat-cepat makan, tapi aku masih berganti seragam di kamar.

Aku baru keluar lima menit berikutnya. Aku senang menggerai rambut panjangku. Meskipun teman-teman sering menyebutku kunti apabila mereka sedang kesal kepadaku, tapi aku tidak berniat mengganti gaya rambut. Aku senang rambut panjang digerai. Terlihat seperti model iklan sampo di televisi.

Aku segera menyantap sarapan. Ibu tidak akan jauh-jauh dariku. Dia adalah sirene hidup. Saat jarum panjang jam semakin maju, Ibu akan berteriak menyuruhku untuk cepat makan. Pastinya dia akan mengomel karena aku senang berlama-lama di kamar mandi.

Untunglah aku sudah terbiasa dengan semua itu. Bila tidak, aku mungkin akan tersedak. Aku makan sambil memakai sepatu. Sangat menghemat waktu, kan?

Dan benar saja. Hari ini aku menyelesaikan rutinitas berangkat sekolah pada pukul tujuh kurang lima belas menit. Aku cepat-cepat meminum air putih, mencium tangan Ibu dan berlari ke halaman depan.

“Apakah kamu tidak mengucapkan salam?”

“Assalamualaikum,” teriakku sambil menaiki sepeda.

Sebenarnya sekolahku tidak dekat. Ada sekitar 2 kilometer, tunggu, aku tidak pernah menghitungnya. Pokoknya untuk ke sekolah, aku harus keluar dari Rt 04 Diwet yang berada di ujung desa.

Aku mengayuh sepeda sekencang mungkin. Lima menit perjalanan untuk sampai ke jalan raya. Aku membelok ke kiri, tapi sebelum itu menengok ke belakang dulu. Sepeda-sepeda motor sering melaju kencang tanpa lihat apa pun. Kata Bapak, aku harus berhati-hati. Aku mengayuh sepeda lebih cepat.

Kemudian aku melewati sekolah SMPN 1 Bangil. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah favorit di kota kami. Bila aku mau, bisa saja aku sekolah di sini. Hanya saja, orang tuaku ingin aku sekolah di tempat kakak-kakakku bersekolah dulu.

Aku mengayuh sepeda lebih cepat. Aku sangat andal bila bersepeda. Kayuhanku tidak pernah kendur, seolah-olah kakiku ini adalah mesin kayuh otomatis.

“Ups…” Aku segera menekan rem ketika tiba-tiba sepeda motor di depanku berhenti. Sepertinya mogok.

Jam berapa sekarang? Aku melihat lengan kiriku. Ah, aku kan tidak punya jam tangan. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain mengayuh sepeda lebih cepat lagi.

Di seberang jalan ada Plaza Bangil. Banyak penjual jam tangan di sana. Kapan-kapan aku harus beli satu. Aku dan sepeda biruku melewati jembatan aspal yang membentang di atas Sungai Kedung Larangan. Aku pernah dengar, jembatan ini dibangun dua kali. Namun, itu tidak penting. Sekarang aku harus fokus ke jalan. Sebentar lagi aku akan sampai sekolah.

Masyarakat sini mengenalnya dengan jalan ST. Jangan tanya aku bagaimana sejarah penamaan daerah ini. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Di perempatan jalan, aku harus lebih berhati-hati. Tidak ada lampu lalu lintas di sini. Hanya ada penyeberang jalan yang senantiasa memainkan bendera. Naik dan turun, membantu orang-orang menyeberang ke selatan atau utara.

Sekolahku tidak jauh dari persimpangan itu. Aku melewati beberapa sepeda motor yang menunggu tukang penyeberang menghentikan kendaraan-kendaraan yang lewat. Di samping kiriku, bunga-bunga amarilis oranye bermekaran indah. Di belakang bunga-bunga itu, terdapat tembok berkeramik hitam. Tercetak gambar Tut Wuri Handayani di sisi kanan dan tulisan Departemen Pendidikan Nasional SMP Negeri 3 Bangil di atasnya. Itu sekolahku.

Aku tidak terlambat. Gerbang masih dibuka, meskipun hanya sedikit. Namun, bukan hanya aku sendiri saja yang melewatinya. Masih banyak murid lain yang baru datang. Dengan mulut, aku berseru, kring, kring, kring, menyuruh mereka agar memberikan jalan kepadaku. Aku tidak pernah menuntun sepeda ke parkiran. Aku selalu menaikinya seperti mengayuh di jalan raya.

 Hal yang aku tidak suka di sekolah ini adalah lahan parkirnya sempit. Datang dengan waktu mepet seperti hari ini, lahan parkir sudah penuh. Aku menggeser beberapa sepeda agar sepedaku bisa terparkir. Persetan dengan yang namanya keindahan parkiran. Bukan hanya aku saja kok yang tidak menata dengan apik. Di kanan kiriku, sepeda seperti dijejalkan begitu saja.

Setelah aku memakirkan sepeda, aku akan ke kelas. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang memegang tanganku. Belum sempat aku menoleh, seseorang itu sudah menggegamkan sesuatu kepadaku.

Aku melihat seseorang itu. Dia lelaki kelas 9E. Terlihat dari bet di lengan kanannya. Dia berlari menjauhiku. Kemudian masuk ke kelasnya.

Kulihat tangan. Ada surat berwarna merah jambu di sana. Di sampulnya tertulis, untuk Ralin. Bel sekolah berbunyi. Aku mengerutkan kening. Apakah ini surat cinta? Aku belum pernah mendapatkannya sekalipun. Ini yang pertama.