PROLOG
Kirana semakin dipojokkan di pinggiran kapal yang tidak memiliki pembatas, memungkinkan dirinya tercebur ke dalam laut jika memundurkan kaki bahkan setengah langkah saja. Kirana menggeram. Rasanya dia ingin berteriak, namun tidak akan ada yang bisa mendengarkan suaranya. Lantunan musik yang menggelegar dari dalam kapal meredam suara-suara yang ada di luarnya.
Tiga orang perempuan di depan Kirana semakin menyeringai melihatnya yang tampak semakin pucat. Tangan Kirana bergetar hendak menjambak rambut salah seorang dari mereka, namun dia tidak berani. Berselang beberapa saat kemudian, suara jatuh ke dalam air pun terdengar. Kirana yang tidak bisa berenang hanya bisa pasrah. Membiarkan air menenggelamkannya di kedamaian.
Tidak jauh dari pinggiran kapal, di balik sebuah bangku tinggi, seorang perempuan melihat dengan jelas semua adegan yang baru saja terjadi. Air matanya menetes. Namun, ia sendiri tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menyaksikan semuanya dalam diam. Tanpa sengaja tangannya menyenggol sebuah kaleng minuman saat hendak kembali masuk ke dalam kapal.
Tiga orang perempuan yang telah mendorong Kirana ke laut tadi beralih menatapnya tajam, ikut menyeret perempuan tersebut ke pinggiran kapal, membisikkan sesuatu lalu melakukan hal yang sama; mendorongnya ke laut, lalu mereka kembali ke dalam kapal setelah memastikan tidak ada yang menyaksikan apa yang telah dilakukan terhadap dua perempuan tadi.
Suara musik menyambut langkah mereka bertiga di dalam kapal. Acara perpisahan SMA dilanjutkan tanpa ada yang sadar dua orang baru saja dijatuhkan ke laut.
***
BAB 1
MEI 2011
Suara-suara tim SAR yang bersahutan melalui walkie talkie terdengar samar karena suara ombak juga hujan yang lumayan deras. Beberapa ekor hewan peliharaan kepolisian sudah dilepaskan untuk turut mencari keberadaan tiga orang siswi yang hilang.
“Cek… Cek…,” Walkie talkie milik semua anggota tim SAR yang tergabung dalam pencarian kembali memberikan berita, “di sebelah barat daya baru saja ditemukan sesosok mayat perempuan dan akan segera dievakuasi ke tenda darurat.”
Serak-serak suara dari walkie talkie milik salah seorang anggota tim SAR mengimbau rekan lainnya untuk segera merapat ke sebelah barat daya. Sesosok mayat—nyaris tidak berbusana dengan kondisi mengganaskan, tubuh sudah membusuk dan wajah hancur—ditemukan di sana. Setelah dipindahkan ke dalam kantong mayat, mayat itu pun dibawa ke tenda darurat.
“Bukan!” Kevin menggeleng melihat mayat yang baru saja ditemukan. “Dia bukan Kirana!”
Tim SAR yang bertugas untuk mengantar mayat ke rumah sakit untuk diidentifikasi lebih lanjut mengangguk, segera berangkat setelah mendengar jawaban Kevin. Tidak lama berselang, suara dari walkie talkie kembali terdengar, memberi tahukan telah ditemukan mayat baru tidak jauh dari tempat ditemukannya mayat pertama. Jantung Kevin semakin berdegup kencang menanti kedatangan tim SAR yang membawa mayat tersebut. Berharap mayat tersebut bukanlah Kirana.
“Kondisinya sama. Tidak bisa dikenali wajahnya.”
Kevin mengernyitkan hidung mendekati kantong mayat. Tangannya bergetar hendak mengangkat tangan kanan mayat di hadapannya. “Kirana…” Kevin mengerjap beberapa kali, memastikan bahwa cincin yang masih tersemat di jari manis mayat tersebut bukanlah cincin yang sama dengan miliknya. Tetapi, setelah mengerjap berkali-kali pun hasilnya tetap sama. “Kirana!!!” jerit Kevin yang mulai luruh ke tanah.
***
SEPTEMBER 2015
Tetesan air membasahi puncak kepala seorang perempuan muda yang sedang duduk di pondok berteduh dekat perkebunan teh. Tangannya terulur menyentuh puncak kepala, lalu memberenggut marah. “Bang Dava!”
Seorang laki-laki yang lebih tua dari perempuan itu duduk di sampingnya. Terkekeh geli lalu menggumamkan kata maaf. “Makanya… jangan melamun, Ngi! Kamu mau kesurupan di siang bolong begini, hm?”
“Pelangi nggak akan kesurupan hanya karena melamun, Bang!” sewot Pelangi yang masih kesal. “Ini juga… air apaan coba yang Abang tetesin di kepala Pelangi?”
Dava mengedikkan dagunya ke arah bandar yang tidak jauh dari tempat mereka duduk, membuat kedua bola mata bulat bundar milik Pelangi semakin membulat melihat jawabannya.
“Abang tetesin air bandar ke rambut cantik Pelangi?” tanyanya tidak percaya. “ABANG!!!” Suara menggelegar khas Pelangi pun terdengar hingga ke ujung kebun teh dari tempat mereka duduk-duduk.
Dava dan Pelangi kembali ke rumah setelah sang surya turut kembali ke peraduannya. Suara jangkrik mulai bersahutan dengan suara katak yang bersembunyi di balik batu berair di sepanjang jalan dari perkebunan. Dava tidak henti-hentinya mengusili Pelangi yang takut akan katak, diambilnya seekor lalu didekatkan kepada Pelangi. Apalagi yang akan terjadi kalau bukan teriakan menggelegar Pelangi yang akan membuat warga satu desa kembali membuka jendela yang semula telah dipasak dengan erat.
***
“Ibu!” Pelangi berlari mendekati Laksmi yang sedang menyajikan makan malam untuk mereka sekeluarga. “Ibu, tadi Abang jahilin Pelangi lagi! Masa iya… kodok dari dalam bandar diambil lalu ditaruh di atas kepala cantik Pelangi? Pelangi takut, Bu!” Adu Pelangi yang dibalas gelengan oleh Laksmi.
“Abang, jangan usilin adiknya terus. Nanti kalau adiknya nangis, yang susah siapa juga kalau bukan Abang sendiri, kan?”
Mirsyad ikut geleng-geleng kepala melihat Pelangi yang semakin memberenggut mendengar perkataan istrinya.
“Pelangi!” seru Mirsyad saat Pelangi baru saja selesai mencuci piring.
Segera Pelangi mengeringkan tangannya dengan lap lalu duduk di samping Mirsyad yang sedang membaca koran. “Ada apa, Yah?”
Mirsyad menggulung koran yang sedang dia baca. “Kamu benaran nggak mau kuliah?” tanya Mirsyad.
Pelangi menggeleng.
“Kenapa, hm? Semua teman kamu pada kuliah, Nak. Ayah sama Ibu juga tergolong mampu untuk menguliahkan kamu meski di swasta. Ditambah lagi Abangmu sudah bekerja.”
Pelangi tetap menggeleng. “Pelangi rasa... untuk belajar nggak mesti di lingkungan formal, kan, Yah?”
“Tapi, bagaimana nanti kalau anakmu minta diajarkan pelajaran, hm?”
“Kalau pelajaran SD sampai SMA, Pelangi masih bisa mengajarkan anak Pelangi kelak, Yah!”
Mirsyad menghela napas, menyerah jika terus-terusan berdebat dengan Pelangi. “Ya, sudah, kalau begitu kapan kamu mau menikah? Anaknya Pak Rehan, si Revan itu sudah meminta kamu sama Ayah dari minggu kemarin.”
Pelangi menegakkan punggung. Ekspresinya langsung seperti tidak suka. “Pelangi memang mau menikah, Yah, tapi nggak sekarang juga. Pelangi, kan, baru dua satu.”
“Lah, Ayah sama Ibu dulu menikah saat seusia kamu. Apa salahnya coba?”
Pelangi menarik napas dalam-dalam. “Tapi, Yah, Pelangi masih ingin menikmati masa remaja menjelang dewasa Pelangi. Nanti kalau Pelangi sudah menikah, Bang Revan nggak kasih izin Pelangi main ke kebun lagi, bagaimana? Pelangi, kan, suka main di kebun, Yah….”
Pembicaraan berlanjut ke topik yang tidak menyangkut perkuliahan lagi. Namun, tetap saja pembicaraan mereka tidak lepas dari hal-hal yang membuat Pelangi menggerutu.
***
“Ngi!” seru Dava yang baru saja tiba di kebun. “Abang tadi beli cokelat kesukaan kamu.”
Pelangi yang mendengar perkataan Dava langsung menghentikan gerak tangannya yang memetik daun teh. “Benaran, Bang?”
Dava mengangguk, terkekeh melihat mata bulat Pelangi yang semakin bulat.
“Abang baru gajian, ya?”
Dava menggeleng. “Memangnya Abang beliin kamu cokelat sewaktu sudah gajian saja, hm?” Tangannya ikut memetik daun teh lalu memasukkannya ke keranjang kecil yang dipangku di pinggang Pelangi. “Abang boleh nanya nggak?”
“Biasanya langsung nanya juga!” Pelangi mendengkus.
“Kamu bilang apa sama Ayah tadi malam?”
Pelangi menaikkan alisnya, tanda ia benar-benar tidak mengerti.
“Masalah lamaran si Revan,” tambah Dava kemudian.
“Oh, itu…” Pelangi mengangkat kedua bahunya, melanjutkan langkah ke tempat lain untuk memetik daun teh. “Pelangi cuma bilang, kalau Pelangi masih ingin bebas. Belum mau menikah dulu.”
“Revan tampan, lho, Ngi! Cukup mapan juga di usianya yang baru dua tiga.”
Pelangi mengembuskan napasnya dengan kesal. “Please, deh, Bang! Ini zaman modern. Sudah nggak zamannya lagi yang namanya menikah muda.” Pelangi beralih menatap Dava, “Abang sudah dua lima, kenapa masih jones?”
“Kamu bilang apa?!” Dava pura-pura tidak suka mendengar Pelangi mengatakannya jomblo ngenes.
“Ya… kali, Abang merasa jones. Sudah dua lima, tapi belum juga menikah.”
“Abang, kan, kerja dulu, Ngi. Nanti mau dikasih makan apa anak orang? Batu?”
Dava memang sudah bekerja sebagai PNS, tetapi ia merasa gajinya masih belum cukup untuk membiayai anak orang jika mengandalkan PNS saja. Di sela libur sebagai pegawai, Dava selalu mencari kerja sambilan, uangnya ditabung agar bisa menikah tanpa harus membebani orangtuanya.
***
“Hah!”
Pelangi terbangun dari tidurnya dibanjiri oleh keringat. Mengambil gelas yang ada di atas meja kecil yang terbuat dari kayu jati di samping tempat tidurnya, lalu menenggaknya hingga habis.
“Lagi-lagi mimpi yang sama….”
Pelangi menyeka keringat di keningnya, turun dari ranjang lalu keluar dari kamar. Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua pagi. Pelangi memutuskan untuk duduk di beranda rumah, memandang langit kelam tanpa bintang, hanya ada bulan di atas sana.
Pelangi memejamkan mata. Membayangkan kembali mimpi yang menampakkan sosok dirinya—yang tampak sama persis dengan dirinya—bersama seorang lelaki yang sangat tampan. Mimpi yang sama secara terus menerus menghantui malamnya. Sesuatu yang begitu mengusik—yang coba untuk dicari tahu dan dihilangkan dalam waktu bersamaan.
“Pelangi!”
Seruan Dava membuyarkan lamunan Pelangi yang mengingat kembali mimpinya. Pelangi membuka mata lalu menatap Dava.
“Ngapain di sini sendirian?” Dava duduk di samping Pelangi. Laki-laki itu terbangun karena mendengar suara derit pintu kamar Pelangi, diikuti dengan langkah menuruni anak tangga.
“Pelangi mimpi aneh, Bang. Sudah sering Pelangi mimpi yang sama, tapi anehnya Pelangi malah suka sama mimpi itu.”
Dava menaikkan sebelah alisnya. “Mimpi apa? Mimpi basah?”
“Ish! Abang ngomong jorok!” Pelangi menutup kedua telinganya, membuat Dava tertawa lebar. Meski dalam hati, sebenarnya ia merasa ada yang lain dari mimpi yang sering diceritakan Pelangi.
“Sudah… tidur sana! Daripada besok kamu metik daun teh sambil tidur!”
Pelangi mendelik mendengar perkataan Dava. Mana ada orang tidur bisa metik daun teh.
***
Pelangi sedang meminum segelas teh di pondok berteduh. Tiba-tiba ada yang menutup matanya lalu berbisik, “Guess who?”
Pelangi menggerutu dalam hati. “Bang Revan, kan? Bau parfum Abang sudah kasih jawabannya langsung.”
Revan melepas tutupan tangannya dari mata Pelangi. “Wah! Ternyata kamu sudah hafal sama aroma Abang, ya?” tanya Revan dengan bangga.
“Bau parfum Abang beda dari yang lain.”
Revan hanya tersenyum tipis mendengar jawaban Pelangi yang terdengar acuh tak acuh. Lama mereka hanya saling diam. Pelangi bukannya tidak sadar Revan meliriknya acap kali. Pelangi takut jika Revan membahas tentang lamarannya.
“Ngi!”
Pelangi melirik ke samping kanan sembari berdeham singkat.
“Bagaimana?”
“Bagaimana apanya, Bang?”
Kesepuluhan jari Revan saling bertaut. Menandakan ia benar-benar sangat gugup. Seandainya Pelangi memiliki pendengaran tajam, tentulah ia akan mendengar detak jantung Revan yang berpacu sangat cepat. “Masalah lamaranku, apa kamu… menerimanya?”
Pelangi menunduk. “Apa yang Abang suka dari Pelangi?”
“Semuanya.” Revan menjawab secepat pertanyaan itu datang. “Abang suka semua yang ada pada diri kamu. Menurut Abang, tolak ukur dari rasa suka bukanlah ungkapan cinta, melainkan pembuktian rasa sayang. Abang sayang sama kamu tulus, bukan karena melihat kecantikanmu saja. Sikapmu, gaya bicaramu, semuanya sangat membuat Abang menyukaimu.”
“Kenapa bukan cinta?” tanpa sadar Pelangi menyuarakan pertanyaan dalam hatinya.
Revan tersenyum tipis. “Cinta itu hanya untuk mereka yang masih labil. Jika memang ingin bersama orang yang dicinta, maka yang harus dilakukan adalah menyayangi dengan tulus, bukan mencintai sepenuh hati.” Revan menunjuk dada kiri Pelangi dengan jari telunjuknya. “Cinta itu hanya perlu ada, bukan untuk dipamerkan. Berbeda dengan rasa sayang yang memang harus dibuktikan.”
“Kakak sayang sama kamu. Suatu hari kamu akan mengerti dengan teori cinta yang Kakak jelaskan barusan. Meski pada suatu hari nanti kamu lupa akan rasa sayang Kakak, ingatlah selalu, bahwa cinta itu hanya perlu ada, bukan untuk dipamerkan. Berbeda dengan rasa sayang yang memang harus dibuktikan.”
Pelangi mengerjap. Kata-kata yang sama. Pelangi menilik manik mata Revan dari dekat. Sirat ketulusan sangat jelas di sana. Jarak mereka sangat dekat. Entah itu Pelangi sadar atau tidak, yang jelas mereka hampir saja berciuman jika saja Dava tidak menarik Pelangi ke belakang.
Dava duduk di antara mereka. Menatap Revan dengan tajam lalu beralih pada Pelangi yang kini menunduk. “Kalian mau menampilkan adegan live di sini, uh?”
“Abang salah paham. Ta-tadi…” Pelangi kesulitan mencari alasan. Sebab, ia sendiri tidak tahu apa yang sudah dilakukannya.
“Bukan apa-apa.” Revan membuka suara. “Tadi aku hanya menanyakan masalah lamaran.”
Dava kembali menatap Pelangi. “Bukannya kamu bilang belum mau menikah, Ngi?”
Revan diam. Dia merasa jantungnya ditikam belati mendengar perkataan Dava pada Pelangi. Benarkah Pelangi menolak lamaranku? Revan menatap Pelangi menunggu jawabannya.
Pelangi menghela napas pelan. “Pelangi…” Kepalanya ditunduk untuk menghindari tatapan Revan. Bukan bermaksud menolak, tapi ia hanya ingin membuktikan sesuatu terlebih dahulu. “Pelangi…” Terdengar helaan napas, “…nanti Pelangi akan bicara lagi sama Ayah.”
Revan menggeleng, senyuman dipaksakan di sudut bibirnya. “Nggak usah, Ngi! Jangan dipaksain kalau memang kamu nggak mau.” Revan mengatakannya denga suara bergetar.
Cinta memang tidak bisa memaksakan kehendak. Lebih baik terluka daripada terpaksa.
***
Pelangi menghampiri Mirsyad yang sedang menghitung uang untuk menggaji para pekerja kebun. Berdiri di belakang kursi yang diduduki Mirsyad lalu memijat bahunya, baru kemudian mulai berbicara. “Yah….”
Mirsyad hanya berdeham singkat.
“Mengenai lamaran Bang Revan…”
Mirsyad menghentikan gerak tangannya, menyuruh Pelangi duduk di kursi seberang. “Kalau memang kamu belum siap menikah, Ayah akan menjelaskannya pada keluarga Pak Rehan. Besok kami akan ke sana.”
Pelangi menggeleng. Ia sudah memantapkan hatinya. “Pelangi berubah pikiran, Yah. Pelangi menerima lamaran itu. Pelangi mau menikah sama Bang Revan.”
“Kamu serius, Nak? Ini pernikahan. Bukan pacaran yang bisa putus begitu saja. Kamu pikirkan dulu dengan kemantapan yang nggak akan bisa diganggu gugat lagi. Jangan sampai kamu menyesal, Pelangi!”
Pelangi kembali menggeleng, “Pelangi sudah memikirkan semuanya dengan mantap, Yah. Ini bukan keterpaksaan.”
Hingga hari terakhir untuk batas penentuan jawaban lamaran pun tiba. Mirsyad bersama para saudara laki-laki Laksmi—yang merupakan paman bagi Dava dan Pelangi—sudah bersiap berangkat ke kediaman Rehan. Apalagi kalau bukan untuk memberikan jawaban atas lamaran Revan minggu lalu. Sekaligus melamar Revan, sesuai dengan adat setempat yang mana pihak perempuanlah melamar pihak laki-laki.
“Saya yakin Bapak Rehan sudah paham maksud kedatangan kami.” Mirsyad membuka pembicaraan. Sejurus kemudian persembahan dan berbalas pantun serta serangkaian adat lainnya dimulai.
***
Laki-laki dengan setelan jas mahal dan sepatu mengilat itu turun dari mobilnya. Menyusuri area pemakaman dengan langkah gamang. Seikat bunga mawar merah berada di tangan. Menghentikan langkah di depan sebuah makam, berjongkok, lalu menaruh bunga tadi di depan batu nisan.
“Hei, Kakak datang lagi! Maaf, ya, sudah dua bulan Kakak nggak datang. Kamu apa kabar?” Tangannya mengusap batu nisan yang bertuliskan:
Kirana Mulya, wafat pada 21 Mei 2011.
“Kenapa Kakak selalu merasa kamu belum meninggal, Sayang? Kenapa cuma Kakak yang merasa seperti ini, sementara orang lain enggak?”
Hampir satu jam dihabiskannya bercerita hal yang sama setiap kali berkunjung ke sana. Laki-laki itu pun berdiri setelah mengusap batu nisan. Berbalik lalu pergi dari sana.
***