Nagarakretagama 49 : 2
Aku ingat jelas detik demi detik peristiwa itu, dimana lelaki yang amat kurindukan merangkul dan membawa tubuh mungilku ke atas kuda. Dari mata sembabnya yang terlihat putus asa, samar-samar guratan kecemasan luar bisa tampak di dahinya. Anak panah maut yang hampir saja merenggut nyawa tak berartiku ini masih tertancap kuat di sampingku. Andai laki-laki itu telat satu detik saja, mungkin sukma ini sudah terlepas dari raganya. Masa depan akan berubah. Mata pelajaran sejarah yang dipelajari mungkin akan berbeda dengan hari ini.
Dyah Wijaya, nama laki-laki itu. Seorang laki-laki yang bisa dikatakan sebagai sepupu jauh, kakak ipar, sekaligus pujaan hatiku. Lama hati menyimpan perasaan padanya. Anugerah tak terduga dari Yang Kuasa, mencintai lelaki yang sudah menjadi suami ayunda Tribhuaneswari, kakak tertuaku itu.
Oh Gayatri! Perasaan terkutuk ini mengapa semakin hari kian menguat?
Usai diletakkan tubuhku dengan lembut di atas kuda, Dyah Wijaya melajukan kudanya secepat mungkin. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Pandangan mulai kabur kemudian menggelap dengan sendirinya. Derap kuda serta dentingan senjata kian menghilang. Hanya satu doaku saat itu.
"Yang Kuasa, bila hari ini Engkau mengambil nyawaku, izinkan aku melihat Kakang Wijaya untuk terakhir kali dan merasa damai dalam pelukannya. Masa-masa itu... Ah Singhasari, Ayahanda Prabu Kartanegara, aku merindukanmu."
***
Istana Singhasari, 1274 M
"Terpujilah para Buddha, Bodhisattva, para dewa dewi, dan para leluhur. Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah akan dituai. Yang berbuat kebajikan akan mendapatkan balasan kebajikan dan pembuat kemungkaran akan menerima karmapala sesuai perbuatannya. Semoga dengan kebajikan yang telah hamba lakukan akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk keselamatan bagi istri hamba dan anak kami yang tengah dilahirkannya. Semoga semua makhluk di alam semesta ini berbahagia,"
Doa Ayahanda Prabu Kartanegara terdengar begitu lembut dalam ingatan ibunda saat detik-detik aku dilahirkan ke dunia. Ini cerita dari Prameswari Sri Badjradewi, ibundaku. Dalam cucuran peluh dan perih sakit yang di deritanya, dia mendengar doa ini samar-samar dari balik pintu kamar. Ayahanda Prabu saat itu bersimpuh dan berdoa untuk keselamatan ibunda dan diriku.
Sudah lebih dari empat dawuh teriakan, lengkuhan, dan erangan sakit ibunda menakut-nakuti Ayahanda Prabu. Hingga terdengar perdebatan panas antara Nyi Brangah, dukun beranak yang membantu kelahiranku, dan Ayahanda Prabu yang memaksa masuk untuk melihat kondisi Ibunda. Sudah jelas Nyi Brangah melarang.
"Ampun, Gusti Prabu, laki-laki pamali melihat perempuan melahirkan,"
Ayahanda Prabu menenangkan diri dengan menarik napas panjang kemudian memeluk bergantian tiga gadis kecil yang terlihat seperti kakak-kakak perempuanku dalam ingatan saat sudah dewasa. Mereka adalah Tribhuwana, Narendraduhita, dan Pradnyaparamita.
Ibundaku bertubuh mungil dengan panggul yang bisa dibilang kecil, itu sebabnya jalan keluarku sempit. Hal yang seperti ini sudah diperkirakan jauh hari oleh Nyi Brangah. Ukuran tubuhku juga lebih besar ketimbang umumnya bayi.
Setelah waktu berlalu, perlahan-lahan aku merasakan ubun-ubunku melewati jalan lahir. Kaki-kakiku berusaha mencari pijakan untuk mendorong begitu pula tangan-tanganku berupaya mencari gapaian namun semuanya terasa licin. Pada satu detik mendebarkan itu, tumitku menemukan pijakan samar-samar, bersamaan dengan terdengarnya aba-aba Nyi Brangah yang ditujukan pada ibundaku untuk mengejan. Dengan sekali entak dan dorongan lemah Ibunda, kepalaku sampai di bawah panggulnya.
"Ayo, Gusti Prameswari! Bayinya sudah terlihat. Coba dorong lagi! Kerahkan seluruh tenagamu!"
Tanpa perintah lanjutan dorongan kuat kurasakan. Selebihnya berlangsung sangat cepat. Kepalaku keluar, lalu aku ditempatkan menyamping guna memudahkan bahuku keluar, disusul bahuku satunya lagi. Dengan jemari kanannya Nyi Brangah menggapai ketiakku yang licin, sedangkan yang satunya lagi bersiap menadahi punggung atas, leher, serta dasar kepalaku. Terakhir dia menarikku perlahan hingga seluruh badan dan terakhir kaki-kaki keluar.
"Seorang sekar kedaton(putri raja), Gusti!"
Dyah Dewi Gayatri, demikian nama itu diberikan untukku.
***
Ketidakhadiran saudara atau anak laki-laki untuk meneruskan dinasti tidak pernah Ayahanda Prabu keluhkan. Beliau menyayangi semua putrinya dengan kasih sayang yang sama. Meski dalam hati, ibundaku sedikit kecewa dengan kelahiranku lantaran dia sudah berharap tinggi akan melahirkan anak laki-laki yang bisa dijadikan penerus kerajaan. Alih-alih kecewa, Ayahanda Prabu justru sangat merasa senang. Beliau bahkan bersedia melimpahkan semua ilmu pengetahuannya padaku.
Begitu sayangnya beliau padaku sampai di usia sewindu, Ayahanda Prabu mengajak keluar keraton untuk ikut kunjungan kerja ke sejumlah desa yang terkena musibah bencana alam dan perbaikan tempat-tempat ibadah. Baik itu tempat pemujaan bagi pemuja Siwa maupun Buddha. Di samping itu pula aku sering diajak menemani Ayahanda Prabu untuk berdana(sedekah umat kepada para bhiksu). Bahkan pernah sekali aku dibawa Ayahanda Prabu ke pasewakan(tempat raja menggelar rapat), tempat raja menggelar rapat dengan para pejabat negara. Beberapa pejabat itu aku mengenalnya seperti Kebo Anengah, Mpu Raganata, dan masih banyak lagi.
Hari itu aku tidak begitu ingat dengan apa yang dibicarakan di pasewakan, namun suasana riuh dan membosankan itu berubah setelah tamu yang ditunggu Ayahanda Prabu datang. Dia Bibi Dyah Lembu Tal bersama putranya. Ayahanda segera membubarkan pasewakan. Para pejabat pergi. Namun yang datang hanya Bibi Dyah Lembu Tal saja. Di mana putranya?
Diajaknya Bibi Dyah Lembu Tal untuk duduk di bale bengong(gazebo) tepi sagara, danau kecil di dekat kaputren sembari beristirahat. Dalam raut wajah yang masih terlihat berduka, wanita yang kurang lebih berusia seperti ibundaku itu tersenyum ramah sembari mengutarakan niatnya untuk tinggal di Singhasari. Aku tidak berani mendekat, hanya mengintip mereka dari gapura taman kaputren.
"Singhasari juga rumahmu, Dinda Dewi. Kau boleh tinggal di sini. Begitu pula dengan putramu,” kata Ayahanda Prabu menyambut hangat. “Akan kuberikan dia jabatan yang sesuai di Singhasari. Meski ayahmu Bathara Narasingha dan ayahandaku Prabu Wisnuwardhana lama mangkat, kekeluargaan di antara kita tentu tidak luntur begitu saja,"
"Benar, Kakang Prabu. Usai kematian Kakang Jayadarma, aku sadar mungkin saatnya aku kembali ke Singhasari dan menjalankan dhamma*."
(*Ajaran Budha yang berisikan kebenaran tertinggi yang membimbing manusia untuk mencapai kebebasan.)
"Aku turut berduka cita atas kematian suamimu, Dinda Dewi,"
"Apakah kehadiran kami tidak merepotkan, Kakang Prabu?"
Tawa Ayahanda Prabu begitu terdengar gembira, "Kenapa merepotkan Dinda Dewi? Istriku, diajeng Badjradewi pasti senang ditemani olehmu apalagi melihat putramu, Dyah Wijaya. Ngomong-ngomong di mana putramu?"
Bibi Dyah Lembu Tal tersenyum tipis, "Sebenarnya tadi aku sudah mengajaknya untuk menghadap Kakang Prabu, tapi dia bersikeras untuk berjalan-jalan di keraton dulu hingga mendapatkan sesuatu yang indah. Katanya dia ingin mempersembahkannya pada Kakang Prabu,"
Aku menutup mulutku sendiri dan berlari menuju balai kaputren tempat yunda-yundaku(kakak) biasa berkumpul di sana. Berita semenarik ini, rugi bila tidak dibagi-bagi. Tiba di balai kaputren aku tidak menemukan siapa pun, baik itu ketiga yundaku atau ibunda. Kemana semuanya pergi?
Dalam pencarian itu, aku menemukan Sasti, emban yang melayani Ibunda. Dia hanya memberiku informasi bahwa Ibunda dan Yunda Tri sedang berdoa di pura. Sedangkan Yunda Nare dan Yunda Pradnya, keduanya tengah berguru dengan Pendeta Agung Terenavindu. Tentu keempatnya tidak bisa diganggu saat ini.
Aku memutuskan menunggu Ibunda dan Yunda Tri di taman depan pura. Di mana terdapat sebuah pohon bramastana(beringin), di kelilingi bentangan bunga ratna yang keindahannya memanjakan pasang mata. Siapa pun yang melihat, pasti tergoda memetiknya. Karena siang itu begitu terik, aku menyandarkan punggung di bawah pohon bramastana. Mengharap Ibunda dan Yunda Tri segera keluar pura.
Dari kejauhan kulihat bunga ratna bergoyang-goyang sendiri. Seperti ada sesuatu yang menyelinap di sana. Gerakannya semakin tak terarah dan berpindah-pindah. Makhluk apa gerangan di balik semak ratna itu?
Dengan segala keberanian tinggi aku melangkah mendekat. Aneh bukan hewan, tapi aku menemukan punggung manusia di sana. Siapa dan apa yang dilakukan di padang ratna ini. Dia terlihat duduk memeluk lutut seperti tengah bersedih. Matanya terlihat kosong memandang seekor kelinci yang tengah kebingungan di padang ratna.
"Apa yang Tuan lakukan di sini? Mengapa menangis?" tanyaku mendekat.
Laki-laki itu memandangku dengan mata sembab kemerahan. "Ayahandaku baru saja meninggal. Kelinci itu adalah hewan kesukaannya. Katanya dengan membuang barang kesukaan orang yang sudah meninggal, kesedihan di dalam hati bisa berkurang."
Aku ingat di kantong ada lipatan sapu tangan bergambar bunga ratna kesukaanku. Ibunda pernah bilang padaku agar memberikan benda ini saat ada orang yang menangis.
"Ini untukmu, Tuan!" Jemari kecilku mengulurkan sapu tanganku untuk pemuda yang sedang bersedih hati itu.
"Ah terima kasih, adik kecil. Aku bingung harus bagaimana. Aku tidak bisa menangis di depan ibuku. Jika anak laki-lakinya ikut menangis, akan sehancur apakah hatinya?" jawabnya mengelap air mata di pipi.
Aku tidak tahu apa yang dipikirnya. Ulasan senyum mengembang di bibir usai dia mengatakan keluh kesahnya. Bila kulihat laki-laki itu berperawakan tinggi, dadanya bidang dengan lengan cukup berisi. Rambutnya sedikit bergelombang namun tertata tapi oleh sanggulnya. Jika kulihat dari penampilannya usianya tidak jauh dari Yunda Tri atau bahkan lebih muda satu sampai tiga tahun darinya. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Orang seperti dia baru pernah kulihat di keraton.
"Adik kecil, apa kau suka kelinci?"
Kedua telapak tangannya yang besar menangkap tubuh kelinci putih itu. Oh tidak pandangannya seperti menaruh kepercayaan padaku. Meski terlihat sangat lucu, tidak mungkin aku memeliharanya di kaputren. Ibunda pasti memarahiku.
"Tolong rawat kelinciku ini!" pintanya menatap penuh kepercayaan.
"Tapi, Tuan—"
Tanpa kata laki-laki itu memetik beberapa bunga ratna dan pergi dan meninggalkan kelinci putih di hadapanku. Dia meletakannya di tanah.
"Hey, kembalikan bunganya! Siapa pun dilarang memetiknya. Ini tetuah dewi penjaga ratna! Bawa juga kelincimu!" kataku mengejar namun langkahnya amat cepat.
Aku berhenti di tepi jalan dekat dengan ruang pasewakan. Napasku terengah-engah. Ku selonjorkan kedua kaki supaya lebih enak. Masih dengan kelinci putih di tangan, seorang anak laki-laki sebayaku datang. Dia Arya Nadendra, kemenakan laki-laki mantan patih Raganata. Aku mengenalnya lama. Dia teman dekatku. Kami sering bercerita dan bermain bersama meski tidak setiap hari karena Arya Nadendra sering disibukkan dengan pendidikan keprajuritan.
"Gusti Putri Gayatri, apa kelinci itu peliharanmu? Lucu sekali!" katanya ikut membelai bulu kelinci.
"Bukan. Kelinci ini bukan punyaku. Seorang pemuda meninggalkannya di taman ratna. Bisakah Kakang Nadendra merawat dan menjaga kelinci ini untukku?" Sengaja kutawarkan hal ini padanya. Memelihara hewan di kaputren sangat tidak mungkin. Jelas ibunda melarang.
"Baiklah. Kemarikan!"
Arya Nadendra menerima kelinci itu saat dua yundaku muncul. Kulihat Yunda Nare dan Yunda Pradnya melambaikan tangan memintaku mendekat mereka. Untungnya saat itu kedua yundaku tidak melihatku mengelus-elus kelinci itu. Bagi seorang sekar kedaton, menyentuh bahkan mengelus hewan yang tidak jelas asal usulnya bisa kena marah nanti.
Aku menghampiri kedua yundaku. Kami berjalan bersama menuju balai pasewakan. Situasi di sana lumayan ramai. Ku lihat ada Ayahanda Prabu, ibunda, Yunda Tri dan beberapa pejabat. Di sana pula ku lihat Bibi Dyah Lembu Tal dan laki-laki yang meninggalkan kelinci putih itu. Dia berdiri di sampingnya. Mungkinkah laki-laki tadi itu putranya?
Bunga ratna berwarna ungu menyelip di telinga Ayahanda Prabu. Jadi laki-laki itu memetik bunga kesukaanku untuknya?
Ternyata kami dikumpulkan untuk berkenalan secara resmi. Keluarga Bibi Dyah Lembu Tal lama menetap di Sunda Galuh. Setelah kematian suaminya, beliau baru kembali lagi ke Singhasari. Saat itu pula kami, putri-putri Kartanegara dikenalkan dengan keluarga bibi. Di sana pula aku pertama kali mengenal nama laki-laki yang kutemui di padang ratna itu.
Namanya Dyah Wijaya.
Wajahnya tetap datar seperti arca meski Bibi Dyah Lembu Tal sudah menekannya untuk bersikap ramah pada semua orang. Segores senyum pun tidak dia tunjukkan. Sungguh dia terlihat angkuh dan menyebalkan.
Selain perkenalan keluarga, Ayahanda Prabu mengumumkan bahwa Dyah Wijaya akan memasuki pendidikan keprajuritan. Sekaligus menyiapkannya menjadi perwira atau mungkin senopati. Kulihat ada beberapa yang kecewa usai mendengar pengumuman itu. Salah satunya yang paling menonjol adalah perwira muda Ardharaja. Dia putra Jayakatwang, raja Gelang Gelang, salah satu daerah bawahan Singhasari.
Dyah Wijaya mengaturkan rasa syukur dan terima kasih pada Ayahanda Prabu. Dia pun berikrar akan mengabdikan jiwa dan raganya pada Ayahanda dan Singhasari. Ayahanda Prabu tampak puas dan tersenyum gembira. Entah sedang meminta restu atas ikrarnya atau hal lain, pandangan ku bertemu dengan Dyah Wijaya. Dia menatapku begitu lama dan penuh selidik. Mungkinkah dia mengenaliku sebagai gadis cilik yang mengaku-ngaku sebagai dewi penjaga bunga ratna?