cover landing

Wayang Jimat

By bukuditeras


Prolog

Gadis itu berdiri menunduk di dekat batu besar yang terlihat mengilat basah terkena air. Gelap yang melingkupi tempat itu tak mampu membungkam pesonanya. Sosoknya yang terlihat bercahaya dalam pekat malam membuatnya tampak indah sekaligus misterius. 

Sejenak kemudian, suara selembut tiupan angin di pucuk-pucuk pinus mengalun.

“Rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro. Kelawan mekak howo, howo kang dur angkoro. Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubedo. Hinggo pupusing jaman. Meper hardening ponco, saben ulesing netro. Linambaran sih kawelasan, ingkang paring kamulyan. Sang Hyang Jati Pengeran.”

Sesaat setelah menyelesaikan satu bait, sosok itu mengangkat wajah. Tatapan matanya mengisyaratkan rasa sakit tak terkira, selaras dengan rintihan minta tolong yang tersirat dalam setiap kalimat yang dia lisankan.

Anjas tercekat. Sekujur tubuhnya gemetar. Bukan karena udara dingin yang seketika menerjang, tetapi oleh kentalnya aura kesedihan yang menjalar tiba-tiba.

Kidung itu lagi. Ia nyaris hafal di luar kepala. Kidung sendu itu seolah menjadi kerak yang mengikis kewarasannya.

Sosok itu bergerak. Tangannya yang saling menggenggam di depan perut, perlahan turun dan menggantung dengan ganjil di samping tubuh. Lengan itu terlihat lebih panjang dari kebanyakan manusia.

Dengan gemulai, tangan itu menyisir rambut yang terurai panjang melewati lutut.

Anjas benar-benar terpana. Hitam yang disangkanya jubah, ternyata adalah rambut si gadis, menutupi tubuh yang ternyata ... telanjang!

Lelaki muda itu mengerjap kaget saat sosok di depannya tersenyum. Semakin dia perhatikan, lengkungan bibir itu membentuk seringai aneh sebelum terdengar geraman halus dan gumam lirih, “Tolong aku.”

***

Bab 1

Waktu makan siang sebenarnya masih beberapa jam lagi, tapi meja kantin fakultas rasanya tak bisa menunggu. Semua penuh dengan kelompok-kelompok kecil beranggota tiga sampai lima orang. Bahasan mereka nyaris sama. Penelitian gabungan untuk skripsi.

Di tepi sebelah kanan, tiga orang duduk dengan wajah tegang. Beberapa lembar kertas penuh coretan dan buku terserak di meja. Tiga gelas moccacino dingin di gelas plastik sudah penuh embun, berleleran di luar gelas. Tak ada yang berminat menyentuh gelas itu sebelum mereka membulatkan suara.

Terkenal dengan sebutan geng ABC karena kebetulan inisial nama mereka berurutan dan sudah bersahabat sejak semester pertama, ternyata tak membuat mereka bisa langsung satu pendapat. Sudah delapan ide penelitian yang tertulis di satu lembar kertas, dengan coretan tari, kitab kuno, lontar, dan yang lain-lain. Namun, sepertinya belum ada yang berminat untuk mengeksekusi salah satunya.

“Wayang!” Cokro mengetukkan telunjuk ke meja dengan sorot mata tegas. “Ini sudah pilihan ke sembilan dari seluruh ide yang kita catat. Dan semua mental! Aku ndak tahu lagi mau ngerjain apa kalau kalian menolak.”

Dua pasang mata sahabat di depannya menyorot ragu. 

“Jawa Tengah, Cuk—”

Asem! Namaku Cok, bukan Cuk!” potong Cokro setengah jengkel saat Anjas masih bisa bercanda melafalkan huruf o-nya dengan sengaja keliru. Bertahun-tahun tinggal di Jakarta tak bisa membuat Cokro mengalihkan sapaan aku-kamunya.

“Iya, iya.” Yang diprotes hanya terkekeh. “Tapi penelitian wayang Jawa Tengah udah banyak banget tuh di arsip perpus.”

“Lain. Jujur, aku sendiri ndak tahu ini beneran ada atau hanya mitos, tapi ndak ada yang berani bicara tentang wayang yang satu ini. Wadi1.” Cokro mencondongkan tubuh ke depan, seakan apa yang dia bicarakan sangat rahasia. Logat Jawa yang masih kental memberi penekanan pada setiap kalimatnya.

“Apaan, sih?” Bania, satu-satunya yang gondrong mulai tertarik. Tangannya terlipat di meja seperti murid yang menunggu wejangan guru.

“Wayang Jimat.” Cokro melafalkan dengan berbisik, seolah kalimat itu satu hal sakral yang tabu dibicarakan.

Kening Anjas dan Bania mengerut dalam.

“Gue belum pernah dengar.” Anjas menggeleng ragu.

Ada rasa penasaran yang tertangkap lewat kalimat anak konglomerat itu. Cowok yang secara aneh tertarik pada semua hal yang berbau Jawa, meski dia lahir dan besar di Jakarta. Namun, semua akhirnya hanya memaklumi, saat tersemat huruf R besar di depan nama Anjas Wirashangga. Satu jawaban yang paling masuk akal adalah, darah ningrat yang mengalir di tubuhnya rindu pada muasal.

“Justru itu!” Cokro kembali mengetukkan telunjuk ke meja. “Ada banyak yang bisa kita gali tentang wayang itu. Keberadaannya. Asal usulnya. Mitos di dalamnya. Cerita di balik pembuatannya. Aspek sosial. Prosesi pemakaian. Mistis yang menyelubunginya. Banyak lagi hal lain. Satu penelitian, tiga judul. Kelar skripsi kita!” Cokro menatap dua sahabatnya bergantian, mencoba menularkan antusiasme yang dirasakan. Meski lulus mungkin tak begitu berarti buat Anjas, tapi akan berbeda untuknya dan Bania. Tanpa lulus, Anjas tetap bisa bekerja dan makmur setidaknya tiga atau lima turunan. Sementara dia dan Bania harus terus menata langkah demi langkah untuk tetap bisa survive.

Ada gamang yang menyelusup di hati Anjas. Namun satu rasa hangat hadir menindas keraguannya itu. Seperti kerinduan tak berbentuk yang menunggu pertemuan. Tak bisa terungkap kata.

“Kalau lo bilang nggak ada yang berani bicara tentang wayang itu, gimana kita mau penelitian coba! Mau mulai dari mana?” Bania skeptis.

“Kamu ni ndak pernah positip kayaknya. Kita kan bisa ngorek data ke daerah asal di mana wayang itu berada.”

“Di mana?” Anjas menyela cepat.

“Lereng Merbabu.” Suara Cokro seperti tercekat di tenggorokan. “Kita akan nanjak ke sana?” Anjas menegaskan.

“Belum tahu. Keterangan yang aku dapat, wayang itu berada di salah satu desa di lereng Merbabu. Lereng. Artinya kita ndak perlu nanjak sampai puncak, tho?” Cowok yang punya darah seni kental dari kedua orang tuanya di Jogja itu menyandarkan punggung ke kursi.

“Ya kalo beneran ada. Kalo enggak? Mampus kita harus ulang penelitian dari awal!” Bania tetap bertahan menjadi oposisi.

Dua pasang mata serentak menatapnya tajam. Biasanya cowok itu memang selalu menjadi penengah antara Anjas dan Cokro, terutama jika mereka sudah adu mulut, bahkan untuk pilihan remeh sekalipun. Baru kali ini mereka justru langsung kompak.

Bania seperti ingat sesuatu. Sigap dia keluarkan ponsel dari saku, lalu jemarinya mengetik dengan cepat.

“Yang lo maksud ini?” katanya sambil mendorong ponsel dengan layar menampilkan satu gambar wayang dengan berlarik keterangan. “Ini ... kita tinggal datang. Wawancara. Beres. Gampang!”

Cowok itu gantian memundurkan punggung agar sahabatnya bisa melihat dengan jelas keterangan di layar ponsel.

Anjas dan Cokro membaca dengan cepat.

Kening Anjas berkerut menatap Cokro, seakan minta klarifikasi. “Apa gue salah tangkap kalau tadi gue ngerasa ada aura tantangan, ya?” Suaranya terdengar kecewa.

“Bukan yang ini.” Cokro menggeleng mantap. “Ada yang lebih dahsyat dari ini. Dan tidak sembarang orang bisa melihatnya. Kabarnya, wayang itu ndak bisa diabadikan dengan kamera.”

Helaan napas Cokro terdengar masygul. “Hanya orang-orang pilihan yang bisa membuat wayang itu bisa terdeteksi indra. Semoga kita cukup beruntung untuk bisa mempelajarinya. Aku dengar kasak kusuk di dunia pecinta seni dan kejawen2, ada beberapa orang yang sedang memburu wayang itu. Ini bisa jadi satu materi yang akan kita ambil nanti ... kenapa orang-orang memburu Wayang Jimat!”

Senyap menyelubung. Tiga sahabat itu saling tatap dengan kecamuk rasa yang berbeda.

“Gue mau.” Anjas memutuskan.

“Wo-wo-wooo. Tunggu!” Bania memotong. “Lo nggak bisa mutusin secepat itu, Njas. Kita survei dulu, tuh wayang beneran ada nggak. Kita nggak bisa ambil materi penelitian dengan ngandelin cerita doang.”

“Justru itu. Gue nggak mau penelitian untuk sesuatu yang udah gue tahu. Tantangan ini, Ban. Bilang aja lo takut!” Anjas sengaja meremehkan.

“Sialan lo!”

Bania yang selalu terkesan hati-hati seringkali menjadi hambatan untuk bergerak cepat. Pertimbangannya luar biasa banyak hanya untuk memilih satu hal yang membuat dua sahabatnya kadang tak sabar. Sedikit menyentil egonya, seringkali membuat cowok itu segera mengambil keputusan, dan biasanya setuju.

Latar belakang masuk jurusan Sastra Jawa yang berbeda, menjadikan mereka seperti puzzle yang saling melengkapi. Dan kali ini, sepertinya kekuatan saling mempengaruhi mereka sedang dipertaruhkan.

Anjas memilih Sastra Jawa saat kebanyakan anak pengusaha mengambil jurusan bisnis. Meskipun harus bergulat dan adu argumen dengan ayahnya hingga berbulan-bulan, dia tak menyerah. Sampai kemudian ayahnya menyerah pada kalimat-kalimat yang diucapkan Anjas. Pada satu sisi, Anjas juga menyadari, ayahnya pasti sangat paham bahwa mereka seperti pinang dibelah dua termasuk dalam hal keyakinan. Satu hal yang sangat mereka inginkan pasti akan diperjuangkan sampai titik kesabaran penghabisan.

“Kapan kita berangkat?” Anjas menatap Cokro. 

“Gue kan belum bilang setuju,” protes Bania gusar.

“Lo ada usul lain yang lebih asyik?” tantang Anjas tak mau kalah. “Waktu yang dikasih kan nggak banyak, jadi makin cepat memutuskan, makin cepat kelar juga.”

Bania menghela napas. Entah kenapa kali ini terasa berat menyetujui kesepakatan dua sahabatnya itu. Namun dia merasa Anjas juga benar. Semua tinggal menunggunya bilang ‘iya’ lalu mereka akan segera berangkat.

“Cuma penelitian tentang wayang. Apa yang bikin kamu ragu, tho?” Kening Cokro ikut berkerut menatap Bania yang sudah seperti ditantang menikah.

Lagi-lagi hanya helaan napas yang meloncat dari mulut Bania. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk.

“Gue ikut, dah,” ucapnya lirih. 

“Nah! Gitu dong.”

Anjas menepuk punggung tangan Bania dengan semangat. Lalu menyambar gelas moccacino-nya yang sudah basah oleh embun es.

Mereka tak sadar pada cahaya mentari yang tiba-tiba meredup. Pada angin yang berembus lebih kencang. Pada sesuatu yang sedang menunggu mereka di satu tempat tak terlihat.

***

1 Bersifat rahasia (Jawa).

2 Segala hal yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa