Rinai gerimis terus mengguyur gedung-gedung kota yang angkuh hampir seharian. Jalanan yang licin membuat laju kendaraan melambat menimbulkan kemacetan tak terelakan. Setidaknya masih ada yang harus disyukuri, banjir tidak melanda menambah serapahan manusia.
Lupakan perihal gedung-gedung yang saling berlomba menggapai langit, di sudut lain kota dekat jalan raya terselip bangunan kecil bernama Legian Bakery. Sebuah toko roti kecil berwarna krem berpadu dengan cokelat tua dengan gaya klasik yang tampak apik.
Hujan malam ini telah membuat Seena terlambat menutup toko. Pelanggan yang mengambil pesanan ikut terjebak kemacetan, mau tidak mau Seena harus menunggu. Pukul 21.40 lampu Legian Bakery baru padam lalu disusul dentingan lonceng yang berbunyi nyaring, pintu dibuka dan ditutup kembali dengan tergesa.
"Sial!" umpat Seena, perempuan berambut hitam legam yang baru saja mengunci rapat Legian Bakery.
Setelah mengunci pintu, Seena merapikan ikatan rambutnya yang nyaris terlepas. Akhir-akhir ini mulutnya memang lebih sering berserapah, terlebih memaki dirinya sendiri. Jika bukan karena besok harus datang ke toko sedari pagi buta, ia mungkin tidak akan merasa sekesal itu. Ia harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan Legian Bakery, demi menyelamatkan ayahnya.
Setengah tahun terakhir setelah menyelesaikan kuliahnya, Seena harus membiasakan diri berjibaku dengan adonan roti dan panasnya mesin pemanggang. Ia juga harus mengubur dalam-dalam mimpinya menjadi seorang jurnalis dan bekerja di stasiun televisi ternama demi meneruskan usaha kedua orang tuanya. Sungguh mengelola Legian Bakery bukan hal yang mudah bagi Seena yang notabenenya belum piawai mengelola manajemen dan keuangan toko.
Ia tidak pernah menyangka, mimpi dan kerja kerasnya selama kuliah harus karam begitu saja oleh keadaan. Apalagi ia tidak memiliki minat terhadap bisnis. Sekarang, cita-citanya bekerja di belakang layar industri pertelevisian hanyalah angan-angan semata. Seragam rapi yang ia dambakan harus rela ditukar dengan celemek kumal yang dikotori terigu.
"Maaf ya Yah, malam ini Seena tidak mengunjungi Ayah," batinnya.
Seena melangkahkan kaki meninggalkan ramainya tepian jalan raya, berbelok ke sebuah gang sempit. Tubuhnya yang kecil terus menyibak gerimis, melewati jalan kecil yang hanya disinari lampu-lampu penerangan jalan redup.
Sekitar sepuluh menit, ia kembali memijakkan kaki di depan jalan besar kemudian berhenti di depan sebuah rumah mewah. Ia menarik napas sebanyak-banyaknya.
Beberapa kali ia menekan bel, sampai akhirnya pintu tinggi itu terbuka menampakkan seorang pria tua.
"Seena? Kirain tidak jadi datang." Begitulah ucapan yang menyambut kedatangannya.
"Ayo masuk," ajak pria itu lagi.
Seena tersenyum tipis. "Tadi sedikit terlambat menutup toko, maaf ya Paman, Seena datang terlalu malam."
Suasana rumah besar itu menyambutnya dengan dingin, angin-angin penolakan terhadap kedatangannya mampu sedikit Seena rasakan. Apalagi ketika istri pamannya itu turun dari anak tangga dengan raut muka masam.
"Mbok yo kalo bertamu itu tahu waktu, sudah larut begini masih keluyuran," sindir Rena, bibi Seena ketika melewati mereka menuju dapur.
"Jangan terlalu didengarkan Na, kamu sudah tahu sendiri watak bibimu memang begitu adanya."
Sekeras dan selama apa pun Seena berusaha membiasakan diri dengan sikap Rena ia tetap tidak pernah bisa sepenuhnya berlapang dada. Ia berusaha menahan rasa sakit yang ia rasakan, namun batasnya? Ia tak pernah tahu sampai kapan ia mampu berdiam diri.
"Jadi? Ada apa tadi siang tiba-tiba mengabari paman mau ke sini? Semuanya baik-baik saja kan?" Pertanyaan pamannya membuat Seena tersadar apa tujuannya datang ke rumah megah itu.
"Maaf sebelumnya Paman, Seena dan ayah sedang memerlukan uang lebih. Jika keuangan Paman sedang tidak sibuk, boleh aku minta sebagian uang yang ayah pinjamkan dulu?"
Seena menarik garis senyum, namun senyum itu hanya mampu bertahan beberapa detik. Kemudian terabaikan oleh sepasang matanya yang berangsur sebening kaca. Ia berusaha memilah kata, cara menagih hutang dengan masih sopan.
"Sebenarnya paman juga ingin mengem-"
"Ya Tuhan Seena!" Bibinya datang, memotong pembicaraan mereka. Dengan bibir mengerucut dan alis hampir bertaut, sungguh Seena sudah bosan melihat ratu drama itu.
"Kamu gak lihat kondisi kami sedang bagaimana? Zein baru masuk kuliah, dan Rachel sedang merintis karirnya. Pamanmu ini sedang banyak sekali tanggungan Seena."
Omong kosong! Padahal Rena baru saja membeli mobil baru dan ikut arisan sosialita sana-sini. Seena tentu sudah mengetahui hal itu.
Seena sudah menduga, hal seperti itu akan terjadi. Ia melihat ke arah pamannya, namun sepertinya memang tidak ada sedikit pun harapan yang akan menolongnya di rumah itu. Pamannya tidak berani menatapnya lagi, tidak juga berani membantah istrinya.
"Tapi, Bi, ayah benar-benar sedang membutuhkannya. Apalagi nominal uang ayah yang ada di kalian cukup besar," Seena justru memohon-mohon.
"Apa ayahmu sebenarnya tidak ikhlas menolong kami?" ucap Rena sok sedih dan dramatis.
"Ini bukan perihal ikhlas tidak ikhlas, Bi. Mana mungkin ayah mau memberikan uang sebesar itu jika tidak ikhlas." Kali ini kesabaran Seena hampir kandas.
"Eh, bocah bau kencur berani-beraninya nasihatin orang yang lebih tua!" teriaknya, lalu dengan enteng menggunakan jemarinya untuk menunjuk Seena, tidak tahu diri dan pintar memutar balikkan keadaan. Rena semakin keterlaluan.
"Sialan! Tidak tahu diri, memelas-melas ketika meminjam saat tak memiliki apa. Amnesia ketika sudah memiliki banyak harta!" Sayang kata-kata itu hanya Seena ucapkan dalam hati.
Ia beranjak dari duduknya, menyelempang kembali tas kecilnya.
"Kalau begitu aku permisi. Maaf sudah mengganggu waktu kalian."
Seena harus pulang dengan tangan kosong. Dunia mungkin memang sedang tidak berbaik hati padanya.
Ia kembali memasuki jalan gang, berbaur dengan hujan yang kian bertambah deras.
"Ayah aku harus bagaimana? Bagaimana caranya menyelamatkan ayah dan toko kita?" Ia menengadahkan kepala, berharap ayahnya dalam kondisi baik-baik saja saat ini.
Seena berharap kesulitan yang ia hadapi hanyalah mimpi buruk, tetapi nyatanya hal itu tidak pernah merubah kenyataannya. Setiap ia membuka mata, ia sadar betul tidak bisa lari dari hal-hal sulit yang menimpanya.
Ayah Seena masih terbaring lemah di rumah sakit karena insiden tabrak lari empat bulan lalu. Butuh biaya yang tak sedikit untuk waktu selama itu. Kemarin ia mendapat kabar ada seseorang misterius yang berbaik hati membayar biaya perawatan ayahnya. Namun, ia tetap membutuhkan banyak uang untuk membangkitkan lagi Legian Bakeri yang terpuruk seiring kondisi ayahnya yang memburuk.
"Ayah pasti kuat kok, Seena percaya itu!"
Trrrrrrrrrriiitttttt!!!
Suara jeritan klakson terdengar begitu keras, sebuah mobil menabrak tubuh kecil Seena sampai terpelanting beberapa meter.