This chapter includes sexual content
“Kontrak kita akan segera habis. Kamu berniat memperpanjang lagi?”
Suara itu datang dari Mora, wanita dengan tubuh semampai yang sedang berdiri di sisi selatan kamar suite hotel Bamantara Grup di ketinggian dua ratus meter. Memandangi panorama malam yang dihiasi awan mendung dan rintik gerimis. Kulitnya yang semulus sutra bersinar anggun oleh temaram yang mengisi ruang. Ia berdiri dengan tubuh yang masih telanjang. Rambut panjangnya tergerai lepas, menutupi tato di punggung atasnya yang bertuliskan ‘Uguaglianza’.
“Tentu.”
Pria berusia 40 yang sedang bersandar di atas ranjang itu menjawab. Holand Antonius, atau yang kerap disapa Mr Holand. Pria kaya raya dari keluarga pemilik media terbesar di negara ini. Pemegang saham terbesar beberapa stasiun televisi yang kini menjabat sebagai eksekutif level c dari Media Metropolitan. Singkatnya, ia adalah sosok di balik semua pemberitaan media di seluruh negeri. Manusia paling berpengaruh terhadap kinerja media
“... Kenapa masih bertanya?” lanjut pria berkaki jenjang yang sedang turun dari ranjangnya. Ia menatap curiga punggung Mora di antara sinar redup yang mengisi ruang. Mengambil sebuah kamera yang ia letakkan di atas meja sofa. Berjalan mendekati punggung indah yang menariknya seperti kumbang.
Holand adalah kumbang yang berterbangan mencari kehidupan, sedangkan Mora adalah kembang yang sedang mekar. Mereka berbagi suatu hal yang tak dapat dibagi kepada orang lain.
Cekrek!
Kilat lampu flash menerpa punggung Mora. Membilas lekukan pinggang itu dengan cahaya putih yang lembut. Potretnya tersimpan dalam kamera di genggaman Holand. Kamera langka yang ia dapat melalui sebuah lelang di San Francisco beberapa tahun silam. Yang telah terisi dengan potret tubuh artistik Mora: hidungnya yang menukik tajam seperti panah, bibirnya yang merekah, matanya yang hangat nan sayu, kulit lehernya yang tipis, hingga lekukan punggung dan pusar. Tiap sudut tubuh Mora ia abadikan dengan kamera yang konon katanya pernah digunakan oleh mendiang Putri Diana sebelum nyawanya terenggut lewat kecelakaan. Pria yang sebentar lagi memasuki usia paruh baya itu mengumpulkan potret tubuh Mora bagai mengoleksi lukisan paling langka di dunia.
“Aku dengar kamu akan menikah.”
Suara lembut Mora kembali terdengar. Wanita itu masih bergeming menatap panorama luar seraya menyesap rokok superslim berdiameter 17 milimeter.
Holand yang sedang memeriksa hasil jepretannya itu seketika menoleh pada Mora. Keningnya mengernyit bingung. Ia hanya bergumam, “Setiap tahun pasti ada yang menyebarkan rumor seperti itu. Orang-orang itu hanya bisa menggunakan cara murahan untuk menjatuhkan reputasiku,” sambil kembali memperhatikan tubuh artistik Mora yang terpotret dengan kamera kesayangannya.
“Rumor pernikahan tidak akan menjatuhkan reputasimu.”
“Well. Tapi cukup menyebalkan. Aku tidak suka
“Jadi kamu masih tidak ingin menikah?” tanya lembut Mora. Ia memberikan ketukan ringan pada batang rokok yang terselip di antara jari telunjuknya. Menjatuhkan tembakau yang telah menjadi abu itu ke dalam gelas kosong bekas sampanye. Sekilas melihat ke arah Holand dengan ekor matanya. Menatap lelaki itu yang sedang sibuk dengan kameranya.
“Tidak. Tidak akan pernah.” Pria itu menjawab. Ia meletakkan kamera itu kembali ke atas meja. Berjalan menghampiri Mora dan mendekapnya dari belakang. Mencium aroma tubuh wanita itu yang telah bercampur dengan aroma tembakau kering. “Sudah tiga belas tahun berlalu. Aku tetap tidak akan menikah apa pun yang terjadi. Aku sudah cukup memilikimu, Sayang,” desusnya pelan lalu mengecup ceruk leher Mora. Mengendus aroma tubuh wanita kesayangan yang telah bersamanya cukup lama.
“Ini sudah tahun ke tujuh. Kamu tidak bosan bersamaku?”
Pertanyaan itu justru membuat Holand terkekeh. Ia mempererat
“Ada jutaan hal membosankan yang kulakukan sepanjang hidup, kamu bukan salah satunya. Kamu tahu, hubungan kita lebih dari yang tertera di atas kontrak. Tidak ada yang bisa menggantikan posisimu, Mora. Tidak bahkan aku sendiri.”
Bibir Holand mendarat di pundak Mora. Menyisir kulit lembut wanita itu dengan bibirnya yang hangat. Tangan-tangan kekar yang membelit tubuh Mora itu menemukan tempat terbaik untuk memberikan rangsang. Pria itu membelai sesuatu yang hangat di antara celah kaki Mora. Menelusupkan jari tengahnya di antara celah yang basah itu. Membuat tubuh wanita itu