 
   
             
            Wonho datang ke rumah  Eunji, kekasihnya selama dua tahun terakhir, sambil membawa dua kotak daging  sapi Korea. Saat itu, Eunji  baru saja selesai mengeringkan rambutnya. Ia mengenakan celana pendek dan kaos  berwarna biru yang agak kebesaran. Wonho sudah sering ke sana untuk sekadar  makan bareng, sehingga Eunji tidak begitu menyambutnya. 
“Uh,  di luar dingin sekali,” ucap Wonho sambil melepaskan  jaketnya.
Eunji  melirik kantong plastik yang dibawa Wonho dan tanpa disuruh, Eunji menggelar  panggangan portable di atas meja. Sedangkan  Wonho menyiapkan piring dan membuka kulkas untuk mengambil air mineral. 
“Wah,  ada kimchi!” ucap Wonho sambil  menunjuk beberapa kotak plastik yang tertata rapi di kulkas. “Ada sundae juga. Hmm, tadi Ibu ke sini ya? Bagaimana  kabar Ibu?” 
“Ya,  baik, seperti biasa,”  kata Eunji sambil mengikat rambutnya menjadi messy bun.
“Oppa*, kenapa beli  daging sapi? Aku sedang ingin makan jajangmyeon.” (*Kakak laki-laki, disebutkan oleh perempuan)
“Kalau  begitu kita delivery jajangmyeon saja,” ucap Wonho santai sambil  meraih ponselnya. 
“Tidak  usah, aku sudah keburu lapar.” 
Eunji  mencuci tangan lalu mengambil nasi dua mangkuk dari rice cooker. Panggangan sudah memanas, Eunji menata daging di atasnya,  menimbulkan bunyi gemerisik yang enak  didengar. 
“Hmm…  enak sekali,” ucap Wonho pada  suapan pertama.
“Oppa, ada yang mau kukatakan,” ucap Eunji di tengah-tengah  santapan  mereka.
“Hm,  ada apa?” tanya Wonho sambil tetap mengunyah. 
“Kita…  putus saja.” 
Wonho  mengunyah sedikit lebih lambat, tapi kemudian dia tersenyum, “Lucu sekali,” ucapnya sambil  mencubit pipi kanan Eunji dengan tangan kirinya. 
“Oppa, aku tidak bercanda,” sahut Eunji dengan nada  kesal.
“Tunggu  dulu, hari ini bukan tanggal penting, kan? Apakah aku melupakan sesuatu?” 
“Oppa tidak salah apa-apa. Aku hanya merasa  hubungan kita tidak berjalan ke mana-mana,” ucap Eunji melunak.
Wonho  berusaha mencerna, “Oh, jadi kamu minta dilamar?”
“Oppa! Bukan itu maksudku!” ucap Eunji  frustasi. “Aku hanya ingin sendiri dulu.”
“Jika  ini karena jajangmyeon tadi, aku  minta maaf, kita bisa memesannya sekarang.” 
“Jajang… Oppa, hal ini tidak ada hubungannya dengan jajangmyeon.”
Wonho  meletakkan sumpitnya di atas meja. Raut wajahnya berubah serius. “Kalau aku  tidak ingin putus, bagaimana? Mau pacaran atau putus, semua berdasarkan keputusan  dua belah pihak. Setidaknya, beri aku alasan, kita bisa membicarakannya,” ucap Wonho kalem.
“Aku  tahu itu. Tetapi…” Suasana hening sejenak. Eunji menelan ludah, “Aku sudah  tidak sayang sama Oppa. Tidak ada  alasan lain.”
Wonho  hanya terdiam, tidak melanjutkan percakapan. Ia memandangi daging di atas  panggangan, tetapi pikirannya berkecamuk entah ke mana. Ia akhirnya berdiri,  mengambil jaketnya, dan berpamitan pulang. Ia lalu mengendarai mobilnya menuju  sebuah restoran.
“Ibu,  apa kabar? Changkyun di sini?” sapa Wonho kepada seorang ibu bercelemek yang  sedang mengelap meja.
“Aigoo*, Wonho! Sudah  lama tidak kemari, dan kau sudah setinggi ini saja,” ucap ibu itu ramah sambil  menepuk bahu Wonho. (*Astaga)
“Nak!  Wonho datang!” teriaknya, kemudian menyuruh Wonho duduk dulu.
“Hyung*, tumben datang  tanpa diundang,” canda Changkyun.  Ia membawa dua kaleng soda. (*Kakak laki-laki, diucapkan oleh  laki-laki)
Wonho  dan Changkyun sudah berteman sejak kecil, selisih umur mereka tiga tahun. Orang tua Changkyun  memiliki sebuah restoran keluarga,  yang jaraknya hanya lima menit dari rumah Wonho dengan berjalan kaki. Jika  tidak ada kelas, Changkyun akan membantu orang tuanya berjualan. Restoran itu  tertata rapi dan bersih, dengan meja dan kursi bermotif kayu. 
“Aku  hancur, Changkyun. Aku dan Eunji baru saja putus,” kata Wonho sambil membuka kaleng soda, menimbulkan  bunyi berdesis.
“Eh?  Kenapa?! Hyung, mencari cewek baik-baik  seperti Eunji itu susah sekarang.” 
“Bukan  aku, dia yang minta putus”
Changkyun  terdiam sebentar, “Tapi kenapa tiba-tiba?”
“Intinya  dia bilang sudah tidak sayang lagi, tetapi aku juga kurang percaya.” 
“Ah,  aku memang tidak mengerti pola pikir perempuan. Maksudku, Hyung kurang apa sih?” Changkyun tertawa sendiri mendengar perkataannya.
“Jangan  salah paham. Aku tidak sesuka itu padamu, Hyung. Tetapi  aku tahu Hyung orang baik. Pikirkan  saja, Hyung sering membeli makanan take away hanya untuk makan bersamanya. Dia tidak perlu  berdandan dan keluar uang. Hyung juga  percaya saja saat Eunji jalan-jalan dengan ‘temannya’. Padahal kalau aku jadi Hyung, aku akan curiga.”
“Hyung juga menjaga privasi, tidak berusaha mencari tahu password ponselnya. Saat ada masalah, Hyung yang datang kepadanya untuk  ngomong baik-baik. Kalau aku jadi Eunji, aku tidak akan melepaskanmu begitu  saja. Kalau dipikir-pikir, Eunji sendiri juga tidak sebaik itu jadi cewek. Aku  tarik kembali perkataanku sebelumnya,” jelas Changkyun, lalu menenggak sodanya. 
“Changkyun,  ada apa denganmu? Kau berbicara layaknya wanita, hahaha.” Wonho tertawa atas reaksi Changkyun, lalu ikut menenggak  soda. “Tapi aku menyukai Eunji. Bagaimana ya?”
“Eh,  Hyung juga sama saja. Kenapa mengejar  cewek yang tidak pantas dikejar?” kata Changkyun. “Tetapi semua balik lagi ke Hyung. Begini, setahuku, saat cewek  tiba-tiba minta putus, tandanya ia sedang bingung.”
Wonho  fokus mendengarkan.
“Pikirkan  saja, saat kita sudah terlalu lama single,  kita ingin punya pacar. Begitu juga sebaliknya. Hyung... pada dasarnya  kita benci rutinitas. Kita ingin suasana baru. Cewek juga begitu. Eunji pasti  bosan dengan rutinitasnya.  Ia jadi bingung tentang kelanjutan hubungan kalian. Ia lupa alasan awal kenapa  dia bisa suka pada Hyung.”
“Jadi?”  Wonho kesulitan mencerna perkataan temannya itu.
“Jadi,  pada saat seperti itu, dia harus diingatkan kembali alasan kenapa dia memulai  suatu hubungan dengan Hyung in the first place,” ucapnya dengan aksen british.  
“Pendeknya,  untuk sementara menghilang saja dari kehidupannya. Eunji akan merasa kehilangan  kebiasaannya. Ia bingung harus mulai dari mana. Itulah saat  ketika dia menyadari perasaannya yang sebenarnya.”
Wonho  mengikuti saran dari Changkyun. Hari pertama setelah putus, ia sama sekali tidak  menghubungi Eunji. Awalnya memang terasa biasa saja. Ia kembali bertemu dengan  beberapa teman lama. Tidak ada Eunji rasanya tidak apa-apa. Tetapi hari ketiga  dan seterusnya, terasa ada yang hilang. Teman-teman tidak selalu ada untuknya.  Wonho paling tidak bisa makan sendirian. Ia memilih untuk tidak makan daripada  makan sendirian. Itulah sebabnya ia sering kali membawa makanan ke rumah Eunji. 
Kebiasaan  memang susah dihilangkan. Suatu hari, Wonho lewat di depan sebuah restoran dimsum.  Aroma gurihnya sampai ke depan restoran tersebut. Wonho teringat betapa Eunji  suka dimsum. Tanpa pikir panjang, ia memesan take away dua kotak dimsum  udang. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Ia merapatkan jaketnya  sepanjang jalan menuju rumah Eunji. Ketika menyeberang jalan bersama banyak  pejalan kaki lainnya, Wonho tiba-tiba tersadar di tengah jalan. Ia baru ingat  bahwa Ia dan Eunji sudah putus. 
“Bodohnya  aku, kenapa aku bisa lupa,”  ucapnya pada diri sendiri.
Wonho  akhirnya menunggu lagi di seberang jalan, ingin pulang saja. Tetapi kemudian ia  memandang plastik yang berada di tangannya. Ia sudah terlanjur membeli dua.  Kalau ia pulang sekarang, siapa yang akan memakan yang satu lagi? 
“Jadilah pria, Wonho!!” ucapnya dalam hati. 
“Emang kau berharap Eunji akan datang padamu dan  mengajak balikan?” 
“Tidak mungkin. Aku lah yang harus mendatanginya  duluan.”
“Tetapi Eunji bilang dia sudah tidak sayang padaku.  Bukankah itu sudah jelas kalau dia memang tidak mau balikan?”
“Aih, tidak apa-apa. Selama aku masih sayang padanya,  aku bisa membuatnya kembali sayang padaku!”
Wonho  menetapkan pilihannya. Ia dengan mantap lanjut jalan menuju rumah Eunji. 
Tetapi  yang selanjutnya ia lihat adalah dua  orang yang sedang berpelukan di depan rumah Eunji, di samping sebuah mobil  berwarna putih yang tampak familiar.
“Eunji?”  panggilnya.
Kedua  orang di depannya langsung melihat ke arah Wonho.
“Ah,  maaf. Saya kira tadi… silakan lanjutkan” 
Wonho  menunduk malu telah mengganggu kedua pasangan itu. Ia naik ke lantai dua,  tempat tinggal Eunji, lalu menekan bel. Tetapi tidak ada jawaban. Sepertinya  Eunji sedang tidak di rumah. Wonho melihat jam, pukul sembilan malam. Wonho  bertanya-tanya kenapa Eunji masih belum pulang. Ia akhirnya duduk sambil  bersandar di sebelah pintu rumah Eunji. 
“Oppa?... Oppa?” ujar suara perempuan.
Wonho  membuka matanya dan melihat Eunji sedang berjongkok di depannya. Ia mengenakan  jaket tebal dan bagian hidung juga matanya sedikit kemerahan. 
“Eunji,  astaga bagaimana bisa aku ketiduran di sini,”  ucap Wonho sedikit malu. Ia kembali melihat jam tangannya, “Hampir jam satu? Kenapa  baru pulang?”
“Oppa pasti kedinginan, masuklah dulu,” ucapnya sambil membuka  pintu. 
Wonho  bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka, dan ia terkejut melihat mukanya  yang tampak pucat akibat kedinginan menunggu di luar. 
“Oppa, aku buatkan teh panas,” ucap Eunji ketika Wonho  keluar dari kamar mandi. 
Wonho  duduk di meja makan dan melihat satu piring dimsum yang sudah dipanasi. Uap  panas sedikit mengepul di atasnya. Wonho baru ingat kalau ia tadi membeli  dimsum. Eunji memakai sweater  berwarna kuning, duduk di hadapannya seperti biasa, lalu memberikan sepasang  sumpit kepada Wonho. 
“Aku  membeli dimsum untukmu, kamu saja yang makan,” kata Wonho. 
“Kita  makan sama-sama saja,”  sahut Eunji.
Wonho  dan Eunji melahap dimsum itu tanpa bicara, malah sibuk dengan pemikiran  masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul satu lewat. Wonho merasa memiliki  keharusan untuk pulang dan membiarkan Eunji istirahat. 
“Tunggu…  Oppa,” ucap Eunji ketika Wonho berpamitan. “Ada yang ingin  kukatakan.”
Wonho  kembali duduk. Hening sejenak. Mungkin karena hari sudah malam, bahkan sudah  dini hari, Eunji menjadi sentimental.
“Aku  minta maaf,” kata Eunji  cepat. “Sebenarnya waktu itu, aku tidak bermaksud berkata seperti itu. Aku  bukannya tidak sayang, aku merasa ada yang tidak benar dengan hubungan kita.  Semuanya datar. Kita bahkan tidak pernah bertengkar.”
“Aku tahu Oppa tidak suka mencari masalah, tetapi  terkadang aku merasa Oppa terlalu percaya  pada omonganku. Saat Oppa tahu aku  berbohong, Oppa juga tidak  mempermasalahkannya. Oppa tidak  cemburu saat aku menghabiskan waktu dengan temanku yang lain. Membuatku  berpikir apakah Oppa benar-benar  sayang padaku atau tidak.”
“Kalau  begitu, aku harus bagaimana? Aku tidak suka bertengkar,” ucap Wonho kalem.
“Kita  tidak harus bertengkar, tapi setidaknya aku ingin Oppa mengatakan langsung saat tidak setuju akan sesuatu. Jika tidak  setuju, bilang tidak setuju. Berlatihlah mengatakan ‘tidak, jangan, tidak boleh’.  Jangan dipendam sendiri,”  kata Eunji. 
“Nah,  Oppa pasti juga punya uneg-uneg.  Katakan saja padaku sekarang.”  
“Hm…  aku sebenarnya senang jika kamu bisa jujur padaku seperti ini. Sering kali aku  tidak mengerti jalan pikiranmu, Eunji. Aku tidak bisa menebak keinginanmu, aku  juga tidak peka. Jadi jika ada yang mengganggu pikiranmu, aku harap kamu  langsung membicarakannya padaku”
Eunji  mengangguk. Mereka kemudian terdiam lagi. Tak lama, mereka bertemu mata, saling  berpandangan sebentar, kemudian saling tersenyum. Perlahan-lahan, mereka  kemudian saling mengobrol –  diselingi  tertawa, makan dimsum, dan minum teh – tentang bagaimana keseharian mereka  selama seminggu terakhir yang dihabiskan tanpa satu sama lain.
***
Sebenarnya  malam itu, saat Eunji melewati sebuah toko burger, ia teringat kepada Wonho. Eunji  tahu betul bahwa burger adalah makanan kesukaan Wonho. Eunji menyadari  perkataannya kepada Wonho cukup keterlaluan, apalagi Wonho selama ini memperlakukannya  dengan begitu baik sampai membawakannya makanan hampir setiap hari. Walau  meminta putus duluan, Eunji masih mengharapkan notifikasi masuk dari Wonho yang  tidak kunjung datang. Ia sendiri bingung, kenapa ia melakukan hal itu. 
Akhirnya  Eunji memutuskan untuk tidak memikirkan tentang harga dirinya untuk kali itu  saja dan membeli satu bungkus burger sebagai permintaan maaf. Sesampainya di depan rumah Wonho,  Eunji merasa kecewa karena yang dicari ternyata tidak sedang di rumah. 
“Apakah  Oppa sedang di restoran Changkyun?”
Jangankan  Wonho, Changkyun ternyata juga tidak sedang di sana. Ia disambut oleh orang tua Changkyun yang  ramah itu. Mereka mengenali Eunji sebagai kekasihnya Wonho.
“Changkyun  sedang sibuk ujian, sehingga tidak bisa kemari. Wonho sudah beberapa hari ini  tidak berkunjung,” ucap ibu  Changkyun dengan ramah. 
Saking  baiknya, ibu Changkyun membungkuskan sup andalan restoran itu dan menyuruhnya  untuk dimakan bersama Wonho nanti, kebetulan malam itu juga dingin sekali.  Eunji kembali menunggu di depan rumah Wonho, padahal ia sudah kedinginan. Eunji  tidak menelpon langsung karena merasa malu.
Terlalu  lama menunggu, Eunji kedinginan. Ia akhirnya membuka sup dari ibu Changkyun dan  memakannya sendiri untuk menghangatkan badan. Tepat tengah malam, Eunji merasa  kalau Wonho mungkin tidak akan pulang, jadi dia menyerah. Eunji berjalan pulang  sambil menangis, dan memberikan burger yang ia bawa kepada seorang bapak-bapak  yang tidur dipinggir jalan beralaskan koran.
Eunji  tentunya terkejut saat melihat ada orang yang ketiduran di depan pintunya, dan  ternyata orang itu adalah Wonho yang ia tunggu dari tadi. Ia berjongkok di depannya, memerhatikan  mukanya yang pucat, dan bibirnya yang mulai membiru. Eunji menyentuh pipi Wonho  yang dingin. Ia tiba-tiba merasa rindu akan momen-momen bahagianya bersama  orang di depannya  itu. Eunji akhirnya membuat keputusan. Ia tidak mau kehilangan Wonho. 
***