 
   
             
            “Nduk, menjadi perempuan itu harus melalui tiga fase. Pertama  sebagai putri, kedua sebagai istri, dan ketiga sebagai ibu. Kalau kamu sudah  mencapai ketiga fase itu, barulah kamu bisa dikatakan sebagai seorang perempuan  yang sempurna.”
Savita Ishwari ingat betul dengan nasihat yang disampaikan oleh ibunya  sebelum ia beranjak dewasa. Fase menjadi perempuan yang sempurna. Namun,  nasihat itu tidak sepenuhnya bisa dijalankan oleh Savita karena masih ada satu  fase lagi yang belum ditempuhnya, yakni menjadi seorang ibu.
Sudah tujuh tahun Savita menikah dengan Dipta, dosen filsafat di  kampusnya dulu, dan selama itu pulalah Savita sama sekali belum mampu  memberikan keturunan bagi sang suami.
Yang paling menyakitkan adalah ketika Savita harus menjenguk adik ipar  Dipta yang baru melahirkan di rumah sakit. Seperti yang terjadi sekarang, di  mana Savita tidak bisa masuk ke ruangan dan hanya berdiri mematung di depan  pintu.
Bagaimana bisa Savita melangkah ke sana? Rasanya sangat berat, apalagi  saat melihat paras bersinar cerah dan senyuman melebar yang ditampilkan oleh  sang suami. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di ruangan itu, Dipta sudah  langsung berhambur ke brankar adik iparnya. Tangannya yang kokoh itu tak  canggung mengangkat bayi montok nan lucu yang baru sehari terlahir di dunia  ini. Savita merasa tempatnya tidak berada di dalam, melainkan di luar ruangan  agar tidak merusak kebahagiaan yang ada di tengah-tengah keluarga sang suami.
“Savita sini!” panggil Dipta sambil menoleh ke arah Savita. “Dia lucu, kan?  Siapa namanya tadi?” Dipta menoleh ke arah adik iparnya, meminta konfirmasi  atas nama anak itu.
“Viktor, Mas,” jawab perempuan yang sedang berbaring di atas brankar.
“Oh ya, Viktor. Habis namanya bule sekali. Aditya, Bunga, kok sekarang  tiba-tiba Viktor?”
“Suamiku yang membuatnya, Mas. Katanya, karena ada klien baru yang  bekerja sama, namanya Viktor.”
“Astaga, benar-benar aneh si Dewa ini,” celoteh Dipta sambil  menggeleng-gelengkan kepala. Lalu, ia menaruh lagi bayi mungil itu ke tempat  tidur.
Benar bukan? Savita tidak dibutuhkan di sana. Hanya keberadaan Dipta  saja sudah cukup untuk keluarga ini. Seandainya Savita tadi menolak untuk ikut  dengan berbagai alasan, mungkin saja ia tidak akan merasakan perasaan iri  sebesar ini kepada istri dari adik iparnya. Rasa iri karena bisa mengandung dan  melahirkan anak.
“Beri aku anak, Vit. Aku benar-benar  ingin punya anak,” pinta Dipta dengan suara serak di  tengah-tengah pergulatan ranjang mereka malam itu. Tidak hanya sekali Dipta mengungkapkan  keinginan terbesarnya untuk memiliki keturunan. Sudah ratusan kali, atau  mungkin ribuan. Entahlah. Saking seringnya Savita bahkan tidak bisa  menghitungnya sama sekali. Yang ia ingat kalimat tersebut dilontarkan Dipta 10  hari yang lalu dalam pelukan mesra mereka ketika pria itu hendak mencapai  puncaknya. Dan itu adalah malam terakhir mereka melakukan hubungan suami-istri,  sebelum flu menyerang Savita dan menyebabkan perempuan itu harus menjauh dari  sang suami.
“Astaga, cucuku laki-laki lagi!”
Mendadak suara perempuan tua memecah percakapan di ruangan. Suara itu  tidak asing bagi semua orang yang ada di ruangan, tapi semua diam ketika  mendengarnya. Sejenak semuanya membeku, menunggu ucapan yang terlontar  selanjutnya.
Saat perempuan tua itu mendekati brankar, sontak Savita menyingkir dari  tempatnya dan merapat ke sisi sang suami yang kini duduk di sofa. Namun, belum  sampai Savita ke sisi sang suami, rentetan kalimat terdengar kembali dari mulut  perempuan yang merupakan ibu mertuanya tersebut.
“Senangnya bisa menggendong cucu dari menantu sehat yang tidak mandul.  Apa kamu tidak iri melihat ini, Vit?”
Jantung Savita bergemuruh. Mulai  lagi, pikirnya. Dengan sekuat tenaga ia mengatur napas, mencoba untuk tetap  tenang tatkala hatinya dihunjam rasa marah yang luar biasa. 
Tak masalah jika perempuan tua itu menghinanya. Toh, selama ini ia sudah  terbiasa mendengarnya. Akan tetapi, perlukah sampai sejauh ini? Menghina di  depan semua anggota keluarga?
Savita berbalik badan. Di ujung embusan panjang, ia pun menjawab, “Iya  Ma. Mama benar.”
“Jangan hanya bilang benar saja! Kamu harus buktikan dong ucapanmu itu.  Beri Mama cucu!”
“Kami sedang berusaha sekuat tenaga, Ma,” balas Savita.
Dipta yang melihat pertengkaran itu merasa jengkel. Ia berdiri dari sofa  dan menghampiri sang istri. “Ayo kita pulang, Sayang. Aku ada pekerjaan,”  katanya seraya membawa Savita keluar dari ruangan itu. Menyelamatkan sang istri  dari sindiran ibunya. 
Sebenarnya usaha apa yang tidak pernah dilakukan Savita? Segala hal  telah ia coba. Setelah lulus kuliah, Savita pernah bekerja di perpustakaan  kementerian pendidikan dan kebudayaan selama 10 bulan. Namun, secara tiba-tiba,  Dipta meminta Savita mengundurkan diri. Supaya tidak kelelahan katanya. Maklum  lokasi tempat kerjanya yang berada di Senayan cukup jauh dari tempat tinggal  mereka yang berada di Jakarta Timur.
Yang dikatakan Dipta ada benarnya. Savita tidak memungkiri bahwa  perjalanan ke tempat kerjanya cukup melelahkan. Setiap hari ia harus pulang  pergi dengan menaiki bus TransJakarta. Kalau beruntung, ia bisa dapat tempat  duduk. Namun, kalau sedang padat-padatnya, perempuan itu akan berdiri selama  hampir satu jam. Belum lagi ia harus turun di berbagai halte untuk berpindah  bus. Mungkin sudah saatnya ia berhenti. Apalagi Dipta mengingatkannya tentang  kehamilan, yang membuat Savita tidak punya pilihan lain kecuali menurut.
Sayangnya, walaupun sudah berhenti bekerja, Savita belum juga menampakkan  tanda-tanda kehamilan. Satu tahun pertama pernikahan mereka, semuanya baik-baik  saja. Keinginan untuk memiliki keturunan tidak terlalu menggebu. Namun, begitu  menginjak tahun kedua, omongan-omongan miring mulai bermunculan, terutama dari  mulut sang ibu mertua. Keadaan semakin parah, karena tahun itu Dewa mengabarkan  bahwa istri yang baru ia nikahi beberapa bulan langsung mengandung anak pertama  mereka.
“Mbak, coba masak taoge seminggu sekali.  Katanya taoge bagus untuk kesuburan,” saran dari istri Dewa kepada Savita. Dan Savita pun mengikutinya. Mulai  dari dijadikan sayur di menu makan malam, sambal, sup, pelengkap lauk pauk,  bahkan sampai gorengan berbahan taoge sudah pernah dimasak oleh Savita.  Alhasil, bukannya mendapatkan anak, perempuan itu malah mendapatkan omelan dari  sang suami yang marah karena bosan melihat benda itu selalu muncul di meja makan.
“Bagaimana kalau Mbak datang ke dokter  kandunganku? Coba diperiksa ke dokter supaya bisa dicari sumber masalahnya.” Kali ini Rara yang mengusulkannya saat adik kedua Dipta itu tengah  mengandung anak pertamanya. Savita pun mengikuti arahan tersebut. Ia  menyisihkan uang bulanan yang diberikan oleh Dipta untuk pergi ke dokter. 
Saat itu ia belum berani memberi tahu sang suami tentang rencananya.  Perempuan itu takut jika yang dituduhkan ibu mertuanya benar-benar terbukti,  bahwa ia bukanlah perempuan yang subur alias mandul. 
“Apa ibu merokok? Suka minum-minuman  keras? Ada kendala dalam periode menstruasi? Atau pernah mengalami masalah  dalam hubungan seksual?” tanya dokter ahli kandungan yang Rara  anjurkan pada Savita kala itu.
“Tidak Dok,” jawab perempuan itu sambil menggelengkan kepala karena  nyatanya semuanya terasa normal-normal saja.
“Ada banyak penyebab infertilitas, Bu. Ada baiknya jika Anda dan suami  Anda menjalani proses pemeriksaan lanjutan.”
Begitulah saran dari sang dokter yang juga dituruti oleh Savita. Sekali  lagi, Savita datang ke rumah sakit untuk melewati rentetan pemeriksaan yang  panjang dan terbilang cukup lama. Kemudian, hasilnya pun didapatkan. Savita  dinyatakan baik-baik saja. Sang dokter sama sekali tidak menemukan kelainan di  dalam rahim perempuan itu.
Karena tidak ada masalah pada dirinya, Savita memberanikan diri untuk  mengajak suaminya ke dokter. Namun, sebelum rencana itu terealisasi, sang ibu  mertua sudah telanjur mendengar dan menentangnya dengan tegas. Savita tidak  bisa berbuat apa-apa lagi.
***