cover landing

I Guess We were Meant to be Together

By Myria Tan


“Kamu udah sampai?” Riva langsung mendengar suara nyaring Diva, kakak sekaligus saudara kandung satu-satunya. Ia terpaksa menerima panggilan itu karena ponselnya tidak berhenti berbunyi sejak lima menit terakhir. Riva mengembuskan napas lalu mengarahkan telunjuknya memencet tombol tanda panah ke atas di sisi lift.

“Heh, kenapa diam aja? Ada apa? Tuh kan, apa aku bilang, harusnya kamu diantar sampai apartemen.” Riva kembali mendengar suara Diva yang semakin melengking.

“Tenang, aku baik-baik aja.” Riva menjawab dengan suara rendah, ia merasa tidak perlu mengeluarkan terlalu banyak energi untuk menjawab pertanyaan Diva. Sedetik kemudian ia melihat pintu lift terbuka. “Aku naik dulu, nanti aku telepon lagi ya, Teh.” Ia langsung memutus sambungan telepon tanpa merasa perlu menunggu jawaban dari Diva.

Riva mematung sambil melihat pintu lift terbuka di hadapannya. Ia melangkahkan kaki memasuki lift dan memencet tombol angka 20, lalu menggigit bibir bawahnya.

Enam bulan bukan waktu yang singkat untuk tidak pulang ke apartemen yang sudah tiga tahun terakhir ini ia tinggali. Riva dapat membayangkan sudah seberapa tebal debu yang menempel pada lantai dan pada setiap barang, berapa banyak laba-laba membuat sarang di setiap sudut. Riva bergidik ngeri saat membayangkan itu, tapi saat ini ada yang lebih ditakutinya ketika ia kembali menginjakkan kaki di apartemen pemberian papanya itu.

Ting. Lift berdenting tanda ia telah sampai di lantai yang dituju. Riva melangkahkan kakinya keluar lift. Ia hanya harus berjalan lima langkah ke arah kanan, lalu berbelok ke koridor sebelah kiri, melewati tiga pintu apartemen, maka ia telah sampai di apartemen miliknya. Tapi kaki Riva terpaku di depan lift, apakah ia harus kembali ke sana? Apakah di dalam sana ia tidak akan menemukan apapun yang membuat ia ingin gila? Atau ia kembali ke rumah Diva saja dan baru kesini jika ia telah siap?

Riva menengokkan kepalanya ke sebelah kanan, terlihat lorong koridor yang sepi. Tapi bukankah ini sudah lama sekali? Ia harus kembali. Ia harus mendapatkan kehidupan normalnya kembali, begitu tekadnya. Riva mulai melangkah pelan dengan hati-hati seolah-olah lantainya akan roboh jika ia menginjaknya terlalu keras.

Riva mengangkat tangannya untuk memasukan pin kunci pintu apartemen, tapi tangannya hanya menggantung di udara untuk beberapa saat. Hatinya masih berdebat antara masuk atau berbalik pergi. Ia memantapkan diri bahwa ia harus masuk, entah apapun yang akan ia lihat di dalam sana.

Riva membuka pintu dengan satu gerakan cepat. Apartemennya gelap, karena semua gorden tertutup. Ia melangkah masuk dan menyalakan lampu. Ya Tuhan, ini yang paling ia takutkan. Riva membelalakan matanya dengan mulut menganga karena kaget.

Balon yang telah benar-benar kempis karena kehilangan gas, dengan pita-pita yang memanjang sepanjang gorden pintu kaca balkon. Satu buket bunga mawar di atas meja yang kini tinggal tangkai yang menjadi kecokelatan, karena semua kelopaknya telah gugur. Dekorasi ulang tahun yang seharusnya ia lihat enam bulan yang lalu. Adrian telah membuat semua ini untuknya.

Satu bulir air mata jatuh, entah ia harus bahagia atau sedih melihat semua ini. Ia membuka pintu kamarnya, terdapat tulisan ‘Happy Birthday Riva Sayang’ yang ditulis besar-besar dalam kertas karton dan ditempel di dinding. Matanya beralih pada lantai kamar, ia melihat lilin yang hampir habis tiga perempatnya disusun membentuk huruf “I ♥ U” secara berurutan. Riva mulai terisak, tangisannya kian pilu, tubuhnya melorot di ambang pintu kamarnya. Seandainya ia melihat ini enam bulan yang lalu, ia akan menjadi orang yang paling berbahagia di dunia. Lalu apa gunanya ia melihat semua ini sekarang? Saat ini, ia benar-benar merasa ingin gila.