Autism Spectrum Disorder. Gangguan perkembangan otak untuk berinteraksi dan berkomunikasi bukan lagi menjadi hal baru dalam hidupku. Berjalan dengan jari-jari kaki, mengibas-ngibaskan tangan, atau memukul kepala secara berulang menjadi pemandanganku setiap kali berada di rumah. Meskipun termasuk ke dalam gangguan perkembangan yang berat dan kompleks, namun dokter mengatakan ia termasuk ke dalam jenis penderita ASD dengan IQ superior. Bayangkan saja IQ-nya 165, ia cukup beruntung karena hanya 3% dari penderita ASD yang memiliki kemampuan seperti ini.
Ayah, demikian aku memanggilnya. Meskipun panggilan itu bukan berdasarkan pertalian darah, namun lebih kepada ikatan batin dan emosi yang terbentuk di antara kami.
Aku tahu tidak ada penyembuhan untuk penderita ASD, hanya penanganan berupa terapi dan medikasi. Oleh karena itu, sejak Oma Yustin meninggal lima tahun lalu aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjaga Ayah sampai kapan pun. Sebelum berangkat kuliah biasanya aku menemaninya berjemur pagi sambil berbicara dengan pelan dan sederhana tentang kegiatan yang akan aku lakukan di hari itu. Dalam beberapa saat, ia akan memproses apa yang aku katakan, lalu lanjut menarik tanganku untuk bermain seharian.
Untuknya aku akan selalu menjadi anak berumur delapan tahun, teman sebaya yang asyik untuk bermain pesawat kertas, menggambar Iron Man, dan bermain petak umpet.
Sembilan belas tahun, mungkin ini adalah usia terberat dalam hidupku. Entahlah, aku hanya merasa terlahir berbeda. Bahkan untuk usia anak remaja, pikiranku lebih seperti ibu-ibu berumur tiga puluh tahun, disibukkan untuk mengurus anak (dalam hal ini, Ayah) dan urusan rumah. Menjadi dewasa bukanlah hal mudah, namun keadaan memaksa untuk terjun di dalamnya meskipun aku belum siap. Memaksa dan menyiksa.
Di balik keterbelakangan mental yang ayah miliki, ia adalah orang yang berjasa dalam kehidupanku. Ia membentuk dan menata aku tanpa sadar. Kiara Denaputri, seorang anak yatim piatu yang tumbuh dengan sifat mandiri, bertanggung jawab untuk segala sesuatu, dan bertekad untuk tidak menyerah dalam menghadapi semua masalah. Manja adalah musuh terbesarku. Setidaknya itu yang coba aku lakukan.
Bapak kandungku meninggal di usia muda, saat aku masih berada dalam kandungan. Aku hanya melihat wajahnya lewat potongan-potongan foto yang disimpan Ibu. Ibuku sama halnya dengan Bapak. Tuhan tidak memberikanku kesempatan untuk berlama-lama dengannya. Saat proses persalinan, terjadi pendarahan yang tidak berhenti dan tekanan darah yang terus menurun, bahkan transfusi darah pun tidak sempat dilakukan, dan saat itulah aku kehilangan Ibu. Terkadang ingin kembali ke masa kecil di mana aku tidak meratapi kisah pilu keluargaku, hanya bermain bersama tetangga sekitar, Ayah Damar, dan Oma Yustin.
Aku masih ingat sekali saat Oma Yustin bercerita betapa jatuh cintanya Ayah Damar kepada Ibu, dengan keterbelakangan mental yang dimilikinya seolah ia tahu betul bahwa cintanya tak membutuhkan balasan atau pengakuan. Namun, ia begitu gigih menjaga Ibu sejak Bapak meninggal, menemaninya ke bidan, masak makanan kesukaan Ibu, dan mengusap perut Ibu setiap kali merebahkan badannya di atas sofa. Kondisi Ayah Damar dulu jauh lebih baik, ia seperti memiliki semangat dalam hidupnya dan melakukan banyak kegiatan dengan segala keterbatasan yang dimiliki.
Semua itu berubah sejak Oma Yustin meninggal lima tahun lalu. Meskipun ia masih memiliki Tante Dewi, saudara kembarnya, namun keberadaan Oma tidak bisa digantikan. Tante Dewi adalah sosok wanita cerdas, mandiri, pengambil keputusan, mudah bergaul, dan menyenangkan, namun ia memiliki satu prinsip hidup yang tidak akan berubah sampai kapan pun: tidak menikah.
Untuknya berbagi hidup dengan orang lain bukanlah pilihan karena ia dedikasikan hidupnya untuk mengurus Ayah, memenuhi semua kebutuhan mulai dari obat-obatan, kebutuhan sehari-hari, sampai dengan keinginan Ayah untuk memiliki rumah pohon dan yang lainnya, itulah mengapa ia bekerja begitu keras.
Jika dalam satu hari aku bisa meminta lebih dari 24 jam, itu pasti akan aku lakukan. Waktuku bergerak cepat, terlalu cepat malahan. Terseret dengan kegiatan kuliah, mengurus ayah, dan urusan rumah. Tak ada waktu untuk memikirkan diriku sendiri, bahkan aku ragu adakah hal penting dalam diriku, yang hanya melibatkan aku dan rasaku, atau aku dan mimpiku. Aku tak tahu.
Jika kamu berkhayal tentang cerita cinta, nanti saja. Aku tak punya waktu.
***