Selepas senja, sebuah taksi terlihat menepi di Bandara Soekarno Hatta terminal 2 E. Seorang lelaki yang terbalut dengan jaket Adidas tampak turun. Buru-buru ia berjalan ke belakang mengambil barang bawaan yang ada di bagasi. Tak sampai semenit, seorang wanita menyusul turun. Uniknya, wanita itu tak mau menunggu hingga semua barang diturunkan dari dalam taksi, lebih memilih melenggang meninggalkannya.
Semua orang yang melihatnya tentu saja jadi menduga-duga, apakah keduanya adalah pasangan?
Sepertinya tidak. Tidak ada aura mesra yang terlihat dari keduanya.
Si lelaki buru-buru menyusul, menjejeri langkah wanitanya. Tangan kirinya dengan sigap meraih jemari tangan lembut wanita yang berjalan dengan langkah cepat tadi. Wanitanya menoleh sekilas dengan tatapan dingin kemudian menepisnya.
“Jangan berpura-pura baik padaku, Aku tak butuh belas kasihanmu.” Wanitanya menolak perhatian si lelaki.
“Maafkan aku, Agni.” Lelaki itu membatin. Langkahnya terhenti, tak lagi berusaha untuk berjalan beriringan dengan wanita yang bernama Agni itu. Perempuan bertubuh semampai, yang mungkin tak seramping saat ia mengejarnya dulu. Agni sekarang lebih berisi, lebih proposional di matanya. Dan tampak menarik dengan gaya busananya yang sekarang. Ia tidak seperti ibu rumah tangga berumur tiga puluhan. Dengan blus dan celana jeans serta rambut yang dikuncir satu ke belakang ia lebih mirip perempuan di pertengahan dua puluhan.
“Akankah kau bisa memaafkanku?” Lelaki itu membersit tanya dalam hati. Ia membiarkan Agni berjalan lebih dulu dan membuntutinya dari belakang. Ia hanya mengikuti langkah Agni menuju pintu masuk pemeriksaan pertama, check in, boarding gate, baru setelah itu menuju ruang tunggu bandara. Ia pun duduk di kursi tunggu yang masih lapang karena penerbangan ke Incheon masih beberapa jam lagi.
“Apa yang sebenarnya kulakukan dengan Yudha?” Agni bertanya pada hatinya. Pria yang tadi berusaha menjejeri langkahnya dan mengenggam jemarinya bernama Yudha. Pria yang telah memberinya dua buah hati yang menggemaskan. Pria yang selama ini ia cintai, namun belakangan menorehkan luka di hidupnya.
Sejak karirnya melesat jauh, Yudha telah banyak berubah. Ia tak lagi terlihat sebagai pria sederhana. Ia yang sekarang lebih mirip eksekutif pada umumnya, berpenampilan mengesankan dan selalu tampak gagah. Kesan yang mungkin bagi perempuan lain di luar sana sangat menggiurkan untuk dikail.
Agni menelan ludah menyadari bahwa Yudha mungkin akan selalu menjadi prospek masa depan bagi perempuan-perempuan lajang di luar sana. Dan drama yang dialaminya kemarin, mungkin saja akan terulang lagi jika ia masih bersama pria itu.
Agni mencoba mengenyahkan bayangan Yudha. Ia tak ingin terus memikirkan pria di sebelahnya. Ia menyibukkan diri dengan membaca surat kabar elektronik dari smartphone-nya selama menunggu keberangkatan.
Yudha yang duduk di sebelahnya memperhatikan wajah Agni dari samping. Perempuan itu.... Ia tak pernah membayangkan sebelumnya akan sedingin sekarang.
Dulu saat pertama kali berkenalan di Forum Nobar Kaskus, ia sudah penasaran. Seperti apa perempuan yang kerap kali berdiskusi di forum.
Agni yang banyak mengulas film box office, seperti pengangguran yang kerjanya hanya ke bioskop. Lalu karena Yudha ingin tahu, ia iseng ikut acara nobar yang digagas Kaskuser setiap Sabtu itu. Ia mengabaikan Sabtunya yang biasa digunakan untuk menjaga pameran di mal. Maklum, waktu itu Yudha masih sales mobil. Belum menjadi kepala showroomseperti sekarang. Yudha datang on timeke bioskop Rajawali yang terkenal di kotanya Purwokerto. Tiba di sana sudah ada Kaskuser lainnya. Kecuali Agni yang belum muncul.
Gadis itu datang paling terakhir, sepuluh menit sebelum Charlie’s Angels: Full Throttle dimulai.
“Hai.” Perempuan itu menyapa semua Kaskuser. Kecuali Yudha yang baru pertama kali bergabung.
“Hai, Ni.” Semua balas menyapa dengan akrab. Mungkin Agni rajin datang makanya semua mengenal
“Sibuk, Ni?” Salah seorang bertanya padanya.
“Iya, sibuk milah artikel yang pas buat akhir pekan. Biasalah.” Agni tak merinci jawabannya.
Hampir semua temannya ber-oh ria mendengar penjelasan Agni. Sementara Yudha hanya diam menyimak dan memperhatikan gadis ayu yang penampilannya sederhana ini. Rambut kepang satu, dengan pakaian casual dan ransel di pundaknya.
“Eh iya, ini Yudha. Yang suka gabung di forum, tapi baru sekali nongol.” Salah seorang anggota forum mengenalkan Yudha pada Agni
“Agni.” Agni mengulurkan tangannya
“Yudha.” Yudha menjabat tangan yang halus itu. Waktu bersitatap, ia merasakan keteduhan di bening mata Agni.
“Agni ini pimred harian Purwokerto. Dia juga suka nulis resensi film di iker nasional.” Temannya menjelaskan.
“Saya pikir kamu anak rumahan.” Yudha menggumam kagum. Tidak menyangka gadis yang dikenalnya di forum, tidak pernah membicarakan hal-hal lain di luar film, ternyata punya pekerjaan yang jauh lebih hebat dari dirinya.
“Iya bener kok, saya anak rumahan kalau lagi nggak kerja sama nonton.” Agni menanggapinya dengan candaan, membuat semua temannya tertawa.
Agni yang pintar, bersahaja, rendah hati, dan humoris menumbuhkan rasa keingintahuan Yudha untuk mengenalnya lebih dalam. Hal yang tak pernah terbersit sebelumnya di pikiran Yudha. Selama ini yang ada dalam pikirannya hanyalah mengejar karir. Sampai ia bertemu Agni. Agni yang berbeda dengan gadis kebanyakan.
***
Agni-nya yang dulu selalu hangat dan meneduhkan kini seolah berubah menjadi puncak gunung es yang sulit ia daki. Dan dalam keadaan beku seperti sekarang, Ia jadi merasa takut kehilangan. Takut ditinggalkan olehnya. Takut ia tak akan memilikinya lagi.
“Aku ingin setelah perjalanan ini, kita bisa memulainya dari awal lagi,” Yudha menggumam pelan.
Agni yang mendengar mendengus sinis, memasukkan smartphone-nya ke dalam saku dan duduk melipat tangan dengan tatapan lurus memandangi orang-orang yang lalu lalang.
“Bisakah kau memaafkanku? Aku bersumpah tak akan mengulanginya lagi.”
Agni tak menjawab, terdiam mengigit bibirnya. Ia masih belum lupa luka yang digoreskan Yudha belum lama ini. Semua terekam jelas dalam ingatan tiap kali Yudha memohon dan meminta maaf padanya.
“Aku mau ke toilet.” Agni tak tahan. Ia beranjak meninggalkan kursinya.
Wanita itu buru-buru menuju toilet untuk menumpahkan tangisnya, Ia tak ingin pria itu melihatnya berurai air mata. Ia benci kalau harus terlihat lemah.
Peristiwa Agustus yang lalu masih terekam jelas di benaknya. Saat Agni datang ke kantor Yudha, showroom mobil Kencana cabang Tomang. Bukannya sambutan ramah dari bawahan yang ia terima, tapi wajah kikuk mereka yang tengah beristirahat di jam makan siang.
“Pak Yudha ada?” tanya Agni menghampiri meja salah satu sales counter yang paling dekat dengan pintu masuk ke ruang karyawan. Ina, begitu nama yang tercantum di nametag-nya.
“Nggg... ada.” Ina menjawab gugup.
Jawaban Ina membuat Agni dilanda keheranan. Bukan apa-apa, mereka pernah bertemu pada dua kali Family Day yang diikutinya setelah dua tahun sebelumnya Yudha dipromosikan menjadi pimpinan di salah satu kantor cabang Jakarta. Seharusnya bukan aura kekikukan lagi yang ia terima, tapi sapaan hangat dari para bawahan suaminya.
“Saya izin masuk ya, mau antar bekal makan siang.”Agni mencoba menepis kebingungannya dan mengatakan maksud kedatangannya.
Sales counter tersebut tak segera mengangguk, malah menoleh pada rekannya. Rekannya memaksa tersenyum pada Agni.
“Sebentar, Bu. Coba saya hubungi Bapak dulu. Takutnya sibuk.” Sales counter satunya dengan name tag bertuliskan Lily di dadanya mengangkat gagang telepon.
Beberapa menit berlalu, Ia menutup gagang telepon di tangannya. Mungkin karena tak ada jawaban dari seberang.
“Saya masih harus jemput anak sekolah, apa sekarang saya bisa masuk?” Pertanyaan Agni membuat para sales counter jadi merasa tidak enak.
“Maaf, Bu, jadi menunggu. Silakan.” Dengan nada kaku, Lily mempersilakan. Ekspresinya menunjukkan keberatan yang tak dimengerti Agni. Tapi Agni tak ingin memikirkannya lagi, ia melenggang masuk ke ruang dalam.
Supervisor unit dan bagian administrasi yang ada di ruang dalam tampak terkejut saat mengetahui kehadiran istri Kacab mereka.
Agni mengangguk ramah sebelum menyapu pandang ke sekeliling ruangan, mencari meja kerja suaminya. Ia memang baru sekali datang ke kantor suaminya dan tak tahu di sebelah mana suaminya biasa duduk.
Matanya akhirnya tertumbuk pada sebuah pintu yang ditempeli papan nama 'Ruang Kepala Cabang.' Ia berjalan menghampiri pintu dan mengangguk hormat pada tiap karyawan yang dilaluinya. Tiap karyawan yang ditemuinya melayangkan ekspresi yang tak jaug beda dengan sales counter di depan, gelisah seperti tak ingin Agni masuk ke ruangan suaminya.
“Aneh.” Agni menggumam dan coba mengabaikan.
Agni pun memutar gagang pintu dan membukanya. Baru separuh terbuka ia sudah disuguhi pemandangan yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Matanya terkesiap kaget, tak menyangka dengan apa yang dilihatnya detik itu. Customer service kantor cabang tempat suaminya bertugas tampak duduk di atas meja, menghadap suaminya. Baju keduanya tampak berantakan. Dengan bagian atas sama-sama tersingkap.
“Agni.” Yudha seketika menoleh, terkejut mengetahui kehadiran Agni. Ia refleks menjauh dari perempuan yang sempat melekat di depannya.
Keduanya buru-buru merapikan pakaian masing-masing. Usai merapikan diri, perempuan yang merupakan CS itu langsung berjalan keluar dengan kepala tertunduk.
“Agni, ada apa kemari?” Yudha mencoba bersikap tenang, berusaha mengatasi malu karena tertangkap basah istrinya.
“Aku hanya ingin mengantar bekal makan siang.” Agni meletakkan rantang nasi ke atas meja. Ia mencoba meredam irama jantungnya yang berpacu lebih cepat setelah menyaksikan apa yang dilakukan suaminya barusan.
“Aku pulang.” Agni mencium tangan suaminya sebelum berlalu. Ia berusaha tetap bersikap tenang walau sendi-sendi tubuhnya terasa lemas.
Saat itu juga, saat melangkah meninggalkan kantor suaminya, hati Agni terasa remuk redam, hancur sehancur-hancurnya. Bagaimana tidak, pengkhianatan itu terjadi di depan matanya. Ia yakin itu bukan pertama kalinya. Perbuatan mesum itu pasti sudah sering mereka lakukan.
Agni bisa membacanya dari sikap janggal semua karyawan kantor tadi. Mereka semua sudah tahu, kecuali dirinya, istrinya, orang yang selama ini hidup mendampingi Yudha hingga ke pencapaiannya sekarang.
“Kenapa ia tega melakukan ini?”
Agni tak habis pikir. Mengapa hal ini terjadi setelah dua belas tahun mereka menikah? Setelah sekian lama ia menemaninya merangkak dari bawah, hidup prihatin tanpa keluh kesah. Bahkan setelah suaminya mapan pun, ia tak menuntut apa-apa.
“Kenapa ini balasannya?”
Agni tak bisa lagi membendung air mata. Setiap jengkal ia melangkah, ia mencoba merangkai semua kejadian. Termasuk kenapa ia datang kemari dan kenapa ia harus melihat ini.
Agni teringat kedatangan Bu Dian tadi pagi. Istri kepala showroom mobil Kencana cabang Pejaten membujuknya untuk sekali-kali mengantar bekal makan siang untuk suaminya.
“Suami itu suka perhatian-perhatian kecil, Bu.” Begitu katanya.
“Mas Yudha nggak suka. Dia sudah pernah saya tawari, mau nggak diantar bekal makan siangnya ke kantor. Jawabannya nggak,” jelas Agni yang saat itu sedang memasak, ditemani Bu Dian yang duduk di dekatnya.
“Mungkin karena nggak mau ngerepotin. Tapi sekali-kali kasih surprise kan seru, Bu. Dia pasti senang.” Bu Dian terus menyemangati.
Agni berhenti merajang sayuran dan termangu memikirkan. Mungkin benar, sekali-kali ia perlu memberi surprise pada suami. Mungkin dengan begitu suami akan makin tambah sayang padanya.
“Sudah ah, saya mau pulang, mau ke rumah Bu Ani. Mau tanya jadi nggak ikut arisan ibu-ibu kepala cabang,” tukas Bu Dian membuyarkan lamunan Agni.
Agni meletakkan pisaunya dan mengantar Bu Dian hingga ke teras. Bu Dian masuk ke mobilnya dan mengemudikannya pergi.
Kedatangan Bu Dian pagi itu yang memancing Agni untuk berada di sini. Niatnya memberi surpriseitu mengantarkannya menemukan realitas yang meremukredamkan hatinya dalam sekejap.
Dengan langkah gontai, Agni meninggalkan showroom mobil Kencana dan tak peduli lagi pada dering ponselnya. Itu pasti dari Yudha. Ia enggan menggubris. Ia ingin segera melesat pergi dengan sepeda motor Astrea legenda-nya, sepeda motor tua yang menjadi saksi bisu dua belas tahun pernikahan mereka.
Agni mengendarai motornya tanpa tahu arah dan tujuan. Menit-menit berlalu dan ia hanya berkeliling kota. Dua jam lewat Agni mulai merasakan kram di jemari tangannya, Ia kemudian membelokkan motor ke pusat perbelanjaan terdekat. Ia turun, berjalan meninggalkan tempat parkir. Ia pun meraih ponselnya yang sejak tadi berdering, mematikan panggilan masuk yang telah belasan kali ia dengar sejak meninggalkan kantor suaminya. Agni hanya membuka SMS yang ternyata dari anak sulungnya.
Mama di mana? Kenapa Mama gak menjemput Raka dan adik ? Raka sama adik jadi pulang dijemput Papa nih
Begitulah isi SMS Raka, Agni bisa membayangkan bagaimana gelisahnya Raka dan Mentari, adik Raka, yang selama ini tak pernah luput dari perhatiannya. Ia baru saja melalaikan mereka, Ia tahu ini salah. Tapi ia tak yakin untuk pulang saat ini, Ia seperti orang linglung. Seperti seekor burung yang baru saja kehilangan sayapnya. Apa yang dilihatnya tadi benar-benar meruntuhkan seluruh pondasi kepercayaan yang selama ini dibangunnya. Suaminya telah mengkhianatinya!
Agni melanjutkan langkahnya memasuki pusat perbelanjaan dan menuju bioskop.
"Tolong tiketnya satu,"pinta Agni saat menghampiri loket bioskop yang baru buka.
"Ini, Mbak."Petugas loket menyodorkan selembar tiket. Agni pun membayar dan masuk ke gedung bioskop.
Agni sebenarnya tak benar-benar menonton film yang tengah berlangsung, Ia hanya menumpang duduk di dalam bioskop sembari mencoba menetralisir perasaan dan pikirannya sebelum pulang. Ia tak ingin tiba di rumah dalam kondisi penuh kemarahan. Raka putranya yang berusia sebelas tahun dan Mentari yang baru berusia sepuluh tahun pasti akan kaget kalau menemukannya mendadak marah. Kedua putra putrinya tak pernah melihatnya marah, begitu pun suaminya. Hidupnya terlalu lurus untuk keluar dari kontrol diri. Ia selalu ingin rumah dalam keadaan damai sehingga memberi sejuk pada penghuninya.
Tak lama, terdengar getar dari ponselnya.
Ma, Raka sama Mentari di rumah nunggu Mama. Mama ke mana?
Rupanya pesan masuk kedua dari Raka. Dari kalimatnya, putra sulungnya seperti heran dan bertanya-tanya kenapa mamanya tak menjemput dan tak ada di rumah. Kenapa tak membalas SMS atau menghubungi mereka.
Membaca pesan dari Raka membuat Agni ingin pulang dan menghambur ke pelukan anak-anaknya, menumpahkan tangis dan berharap bahwa yang dilihatnya tadi siang hanya mimpi buruk dan tak benar-benar terjadi.
Setelah keluar dari bioskop pun, Agni masih mendapat pesan dari Raka.
Mama cepet pulang ya, Raka tungguin. Raka sama Mentari nggak akan mandi sore kalau Mama lama pulangnya.
Agni mendesah panjang saat membaca ancaman tengil putranya. Sejak keluar dari bioskop tadi, ia hanya duduk di coffee shop, menghabiskan bergelas-gelas kopi yang sebelumnya tak pernah ia teguk. Di rumah ia hanya minum jus. Kopi ia sediakan hanya untuk suaminya. Itu pun jika suaminya minta dibuatkan.
Agni baru tiba di depan rumah hampir pukul sepuluh malam. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, berat untuk masuk ke dalam rumah. Apalagi dilihatnya mobil suaminya yang sudah terparkir di garasi. Sungguh, ia enggan bertemu lelaki itu.
"Malam, Bu." Pembantu yang membukakan pagar rumah menyapa. Tatapannya seperti keheranan dan menyiratkan pertanyaan kenapa istri majikannya pulang selarut ini. Ini bukan kebiasaan Agni.
"Raka dan Mentari apa sudah tidur?" Agni mengabaikan tatapan heran dari seorang pembantu yang sudah ikut dengannya lama. Ia mendorong sepeda motornya ke teras rumah.
"Sudah, Bu. Tapi Bapak masih menunggu Ibu di ruang depan." Pembantunya tak langsung masuk, sibuk mengunci pagar rumah setelah semua penghuninya pulang.
Agni melangkah masuk ke dalam rumah. Sempat dilihatnya Yudha yang menunggunya di sofa depan. Namun Agni mengabaikan dan tak berniat menyapa. Ia langsung menuju kamarnya.
Yudha yang menyadari kedatangan Agni langsung menyusul masuk ke kamar. Perempuan itu tampak sedang duduk di tepi tempat tidur menatapnya dengan sorot mata dingin.
"Apa yang ingin kaujelaskan?" tanya Agni sembari sekuat hati mencoba meredam amarahnya dan bersikap tenang.
"Aku hanya mencoba melindunginya. Ia tulang punggung keluarga yang kerap mendapat perlakuan kasar dari pacarnya." Yudha memberi penjelasan. Pria itu duduk di samping Agni dan berusaha meraih bahu istrinya, tapi Agni menepisnya.
"Kau bukan orang bodoh yang tak bisa membedakan mana mesum atau simpati." Agni tak bisa menerima begitu saja penjelasan Yudha. Ia menggeser duduknya menjauh dari Yudha.
"Aku tahu aku salah, tapi aku tak bisa menolaknya. Tiap kali ia punya masalah, ia selalu ingin melupakannya dengan cara itu."
Agni terdiam meski sebenarnya keterkejutan menghinggapinya setelah mendengar pernyataan tak masuk akal itu. Detak jantungnya sudah sedari tadi bergolak hebat. Butiran air mata berusaha dibendungnya pula. Ia tak mau terlihat cengeng di hadapan suaminya.
"Berarti yang kulihat bukan pertama kalinya." Agni menggumam getir. Ia lalu beranjak, hendak meninggalkan kamar. Tapi suaminya meraih pergelangan tangannya, mencoba menahan.
"Jangan menyentuhku. Aku jijik padamu!" Agni menepis tangan pria itu. Ia bergegas meninggalkan kamar, secepatnya ingin segera tiba di kamar anaknya. Siapa tahu, dengan mendekap putra-putrinya, ia bisa memperoleh kekuatannya kembali.
Tapi semakin ia mempercepat langkahnya, kakinya seperti semakin sulit bergerak. Pandangannya kabur, lalu semua terasa gelap.
"Pak! Pak! Ibu pingsan, Pak !" Jeritan pembantu terdengar dari luar.