ZIZI 2

ZIZI 2

pesulapcinta

0


"Shaqeena Zianka Quiniela." 

Detik berikutnya, langkah Zia berhenti. Lantas memutar tubuhnya menghadap seorang wanita berdandan menor yang barusan memanggil namanya. 

Wanita itu namanya Bu Sugiyem, tapi anak Fakultas Seni Rupa sering memanggil Ndoro Ayu karena rambutnya berkonde. Tak hanya itu, Bu Sugiyem sering memberikan tugas tanpa penjelasan dan harus selesai tepat waktu. Jika lewat dari tenggat yang ditentukan, maka siap-siap saja mendapatkan tugas lebih banyak dari sebelumnya. Satu lagi, beliau sering memanggil mahasiswa dengan nama lengkap. Skill menghafal nama lengkap memang sudah tidak diragukan lagi. 

"Iya, Bu?" 

"Kamu bukannya daftar lomba lukis itu? Sudah kirim karyamu?" 

"Alhamdulillah, sudah, Bu."

"Bagus."

Bu Sugiyem melengos pergi. Iya, cuma begitu saja. Beliau memang seperti itu, tidak ada basa-basi lainnya. Kalau disandingkan sama Zidan, kira-kira siapa yang bakal menang? 

Baru beberapa langkah Zia merasakan bahunya dirangkul dari belakang. Zia menghidu wangi parfum khas milik seseorang, ia sudah hafal siapa orangnya. 

"Udah bubar kelas lo?" tanya Zia pada cowok yang tadi merangkul, kini berdiri sejajar dengannya. 

"Baru aja, sih. Lo hari ini ada endorse?" 

"Harusnya, sih, ada, tapi Sherly kagak telepon gue dari semalem. Mungkin bakso aci punya dia belum jadi." 

"Oh, terus sekarang lo mau ke mana?" 

"Kagak ke mana-mana. Paling gabut di rumah." 

"Ya udah temenin gue makan, yuk! Lo pasti belum makan, kan?" 

"Lo tau aja kalo gue laper. Kuy!" 

Namun, ponsel Zia yang berdering menginterupsi mereka berdua. Zia mengeluarkan benda itu dari saku celana levisnya, ada telepon dari Sherly. 

"Zi, lo udah bubar belum? Ke kafe deket FK, gue udah sama Salza. Gue bawa bakso acinya." 

"Oke. Gue OTW."

Zia memasukkan kembali ponselnya ke tempat semula. "Sorry, ya, Ris, lain kali, deh, gue temenin lo makan."

"Siapa yang tadi telepon lo?" tanya Aris, nama cowok itu.

"Sherly. Dia udah deket sini. Entar kalo fix gue telepon lo, ya. See you!"

Zia berlari kecil menyusuri lorong kampusnya. Letak kafe dengan tempatnya sekarang memang jauh. Sial memang kalo mau ketemuan sama Salza, dia maunya di kafe deket FK biar bisa sambil nungguin Ulil. Salza memang berhasil mempraktikan apa yang ia dapat dari bacaan Wattpad ketika menjadi pacarnya Ulil.

Lonceng berbunyi ketika Zia membuka dan menutup pintu. Ia berjalan menuju meja yang di tempati Sherly dan Salza. 

"Baru keluar, Zi?" Salza bertanya setelah mengalihkan ponselnya sebentar.

"Udah dari tadi."

"Nih, gue udah bawain bakso aci buat lo." Sherly menyodorkan sterefoam berisi bakso aci buatannya.

Zia menerimanya. Kuah merah menggelora, aroma daun bawang serta wangi cabai menguar. Tanpa berpikir panjang Zia menyantap bola bakso pertama. Lidahnya seketika mengecap rasa asin, gurih, manis, dan pedas. Untuk urusan perut memang Sherly juaranya.

"Pecah! Nggak nyesel gue nolak ajakan Aris demi ini!" seru Zia setelah menelan makanannya.

"Aris? Anak Fotografer itu?" Telinga Salza tegak setelah Zia menyebut nama Aris. Zia mengangguk.

"Emang tadi mau diajak ke mana?"

"Diajak makan, tapi Sherly telepon gue. Nggak jadi ikut, deh."

Zia terus melahap baksonya sampai Sherly kegirangan, sedangkan Salza menatap Zia penuh selidik.

"Sebenernya lo sama Aris ada hubungan apa, sih?"

Zia berhenti. Sherly menatap Salza. "Lo kenapa, sih, dari tadi nanya mulu? Jangan ganggu Zia!" seru Sherly mengingatkan Salza. Namun, Salza mengabaikannya.

"Gue sama Aris cuma sebatas kerjaan aja. Nggak lebih."

"Tapi, kok, dia ngajak lo makan?"

"Ya emang kenapa? Nggak salah, kan? Cuma nemenin makan, bukan nemenin mandi."

Salza menghujani kepala Zia dengan jitakan mautnya. "Dasar nggak peka!"

"Apaan sih? Anjir, gue lagi makan. Jangan ganggu!"

Nah, kan. Zia sudah mulai ngegas. Sherly tadi sudah mengingatkan.

Sepuluh menit kemudian sterefoam bersih sebab isinya sudah berpindah ke perut Zia. Sherly memberikan teh botol pada Zia.

"Gimana, Zi? Enak nggak?" tanya Sherly setelah Zia meneguk minuman itu hingga tersisa setengah botol. Zia mengangkat dua jempolnya.

"Besok gue ajak Aris buat shoot bakso aci punya lo."

"Ih, serius? Wah, thanks banget!"

"Zidan tau nggak?" Lagi-lagi Salza bertanya di luar topik. Zia mulai gemas.

"Tau, tapi emang belum pernah ketemu aja."

"Kalo Aris tau?"

Zia tertegun, menyadari sesuatu. Tunggu, seingatnya memang belum pernah menceritakan apa pun tentang Zidan pada Aris. Lagian, untuk apa Aris tahu? Toh, urusan dia dan Aris hanya sebatas pekerjaan. Nggak lebih. Jadi, tidak ada alasan untuk mengumbar urusan pribadi pada cowok itu.

"Kok diem? Jangan-jangan lo nggak bilang kalo sekarang lagi pacaran sama Zidan ke Aris?"

"Ya, emangnya buat apa, sih, Sal? Jangan lebay, deh."

"Lo yang nggak peka!"

Zia memutar bola matanya. "Lo dari tadi kenapa sih? PMS?"

"Gue cuma nggak mau lo nyakitin Zidan kayak dulu, Zi."

Zia menelan salivanya. Kemudian melirik Sherly. Dasar Salza, malah membuka luka lama.

"Ya nggak akan, lah. Zidan ngerti gue sama Aris cuma kerja. Udah lo nggak usah khawatir."

Ponsel Zia berdering. Zia mengambil benda itu. "Nah, orangnya telepon."

Zia menggeser ikon telepon berwarna hijau ke atas, menampakkan wajah Zidan setelah telepon terhubung.

"Lagi di mana?" tanya Zidan.

"Di kafe. Ada Sherly sama Salza." Zia menyorot kameranya ke arah Sherly dan Salza.

"Lo mau nemenin gue ke rumah sakit?"

"Kebiasaan langsung to the point. Iya, gue mau. Ketemuan di rumah sakit aja, gue pake motor soalnya."

"Oke."

Layar kemudian berubah menjadi wallpaper yang dipakai Zia. Khas Zidan, diawal nggak salam, pas ditutup pun sama.

"Gue cabut dulu, ya. Udah tau, kan, gue mau ke mana?"

***

Dua tahun bukan waktu yang singkat bagi Zia untuk bisa dekat dengan Zidan. Setelah memutuskan kembali bersama, Zia berusaha membuka hatinya untuk Zidan. Memang tidak mudah pada awalnya, dan sekarang lihatlah Zia berhasil bertahan dengan cowok itu sampai dua tahun. Bisa dibilang Zia menjilat ludahnya sendiri. 

Sekarang Zidan sedikit mencair. Suka mengajak ngomong duluan, suka bercanda walau jayus, ya walaupun mulut bon cabe level lima belas nggak pernah hilang, kacang pun tak pernah ketinggalan. Untung Zidan dapet cewek sabar kayak Zia. Coba kalau dapetnya Salza, sudah bubar dari dulu. 

Mungkin ini yang dinamakan: seorang laki-laki akan merasa nyaman menunjukkan sifat aslinya jika sudah bertemu dengan wanita yang tepat. 

Ngomong-ngomong tentang Zidan, dia tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Selama dua tahun ini, Zidan memilih fokus pada pengobatan muscular dystrophy-nya, juga mengurus rumah singgah. 

Sekarang Zia di mana? Gadis itu sedang menunggu Zidan keluar di depan ruang terapi. Ia baru tiba lima belas menit yang lalu. Untuk mengusir rasa jenuh, Zia membuka akun Instagram-nya. Jemarinya lincah bergerak menjelajahi explorer. Ia juga membaca beberapa berita yang sedang populer hari ini. Seperti virus yang sedang gempar di negeri sebelah.

"Zia."

Zia mendongak. Mendapati Evita dan Zidan di depannya. Zia segera keluar dari aplikasi Instagram. Kemudian berdiri. "Tante."

"Lama, ya, nunggunya?" 

"Oh, nggak kok, Tante. Zia baru aja datang." 

"Kalian mau ngobrol? Saya ke ruangan Dokter Denta dulu." 

Evita kemudian meninggalkan Zidan bersama Zia. 

"Gimana terapi hari ini?" Zia membuka percakapan. 

"B aja." 

"Mau jalan-jalan ke taman sambil nunggu nyokap lo?" 

"Boleh." 

Zia beralih ke belakang kursi roda Zidan, lantas mendorongnya pelan-pelan. 

Taman tampak ramai diisi oleh anak-anak yang memakai pakaian rumah sakit. Mereka sedang kejar-kejaran dengan para suster. Zia berhenti, memasang rem pada dua roda agar tidak bergerak. Zia memperhatikan anak-anak itu. Suasana yang awalnya menyenangkan berubah mencekam ketika ada salah satu anak terkapar dan digendong oleh suster. Anak-anak lainnya yang tersisa mendadak lesu. Zia pun menghampirinya. 

"Kalian kenapa?" 

"Kami sedih. Temen kami tadi jatuh terus hidungnya mimisan," jawab salah satu anak. Zia kemudian mengelus punggung anak itu agar tenang.

"Gimana kalo Kak Zia ajarin kalian gambar."

"Emangnya Kakak bisa gambar?" tanya anak perempuan yang dikuncir rambutnya.

"Bisa. Sini duduk bareng-bareng."

Zia beserta anak-anak itu duduk hingga membentuk lingkaran. Kemudian Zia mengeluarkan alat-alat gambar dari dalam tasnya. Setelah itu membagikan kertas gambar berukuran A4 dan pensil satu-satu.

"Kalian udah pegang pensil sama kertas. Sekarang kalian coba gambar orang itu." Zia menunjuk ke arah Zidan. "Kak Zia ajarin caranya. Pertama kalian harus buat garis lurus membentuk tanda plus, terus bikin garis wajahnya dari atas terus ke bawah. Di antara siku-siku di atas kalian bikin matanya, kayak gini. Habis itu bikin bagian hidup sama mulut di antara garis tengah, kalau udah hapus, deh, garis lurus tadi. Gimana? Gampang kan? Ayo sekarang coba buat."

Anak-anak itu mulai menggambar sesuai arahan Zia. Sementara Zia juga melakukan hal yang sama. Dari arah berlawanan, Zidan terus memperhatikan Zia yang dekat dengan anak-anak. Tidak ada alasan untuk tidak tersenyum ketika melihat momen itu. Pemandangan yang hangat dan indah, bukan? 

Salah satu anak bersorak ketika berhasil mempraktikan apa yang diajarkan oleh Zia. Tak lama saling bersahutan. Zia bertepuk tangan. Telanjur gemas, Zidan mengayuh sendiri kursi roda menghampiri mereka. 

"Eh, foto-foto, yuk!" 

Zia meminta tolong kepada seorang suster yang kebetulan datang untuk anak-anak itu. Suster memotret mereka beberapa kali. Zia mengucapkan terima kasih setelah itu. Kemudian anak-anak pergi bersama suster, sedangkan Zia dan Zidan kembali ke tempat semula. 

Zia duduk di bangku. Jemarinya menggeser foto anak-anak tadi. Hasilnya sedikit mengecewakan karena wajah Zidan datar tanpa senyum sama sekali. 

"Zidan, foto, yuk!" 

Tanpa menunggu persetujuan dari orangnya, Zia sudah mengarahkan kamera ke wajah Zidan. Cekrek! Satu foto berhasil diambil, tapi hasilnya sama saja. 

"Zi, kalo foto sama gue, tuh, senyum dikit, kek! Masa kayak foto KTP gini, sih!" 

"Gue, kan, belum bilang mau." 

Zia gelagapan. Ah, dasar, bener juga. 

"Pake HP gue. Kamera lo jelek." 

Zia melotot. Ingin protes, tapi yang ngomong begitu Zidan. Cowok itu sudah mengarahkan kamera ke wajahnya. Astaga, sabar Zia. 

Akhirnya Zia memasang senyum manisnya. Namun, lagi-lagi gagal sebab Zidan tiba-tiba mencium pipinya saat kameranya dibidik. 

Zia bengong. Dalam dua tahun ia dekat dengan Zidan, ini adalah ciuman pertamanya.

***