Zenith

Zenith

Listiya08

0

Dentuman menyentak pendengaran. Intensitas suaranya yang menggelegar membuat jantung berdegup kencang. Hingga, secara otomatis, teriakan histeris bersahutan sebelum saling tubruk sebab orang-orang itu lari tak karuan. Akibatnya beberapa gerobak tersenggol jungkir berantakan, menyebarkan buah dan sayur yang tak sempat diselamatkan sang penjual.

Dua kelompok remaja muncul di balik asap tebal. Lengkap dengan balok kayu, batu juga petasan di tangan. Mereka berdiri berhadap-hadapan di jarak dua meter, dan saling melayangkan tatap meremehkan.

Lalu, perwakilan dari masing-masing pihak maju paling depan. Setelahnya memberi kode agar pasukan mulai menyerang.

Seketika kericuhan meletus di tengah jalan.

Batu berterbangan, adegan tendang dan jotos menjadi tontonan warga sekitar. Kemacetan pun tak bisa dihindarkan. Para pengendara yang kesal lantas melontarkan umpatan kasar, menekan klakson hingga meraung-raung memekakkan pendengaran.

Di belakang punggung Ibam, cowok berkuncir mengacungkan balok kayu. Namun sebelum berhasil dilayangkan pada Ibam, Agung sudah lebih dulu memberinya tendang.

Cowok tadi tersungkur tepat saat Ibam menoleh. Tak tinggal diam, Ibam menyerbunya sebagai balasan meski belum menjadi korban.

"Mampus lo, Sat!" Umpat Ibam sambil terus mendaratkan bogeman.

Tiba-tiba kerikil seukuran jempol kaki menghantam keras alis Ibam. Ibam terjengkang dengan dua tangan sebagai tumpuan di samping badan. Cairan merah menetes ke celana abu-abu yang dikenakan.

Refleks, Agung menarik mundur Ibam. Dibawanya anak itu ke pinggir trotoar. Lampu penerang jalan menjatuhkan cahaya kekuningan di sekitar hingga darah yang seharusnya berwarna merah cerah terlihat sedikit menghitam. 

"Lo nggak pa-pa?" tanya Agung, menatap khawatir Ibam.

Ibam mengusap darah yang mengalir di pelipis. Diperhatikan sebentar sebelum disapukan ke permukaan tiang listrik, mengotori beberapa poster yang ditempel rapat di sana.

"Bam?"

Tersenyum tipis, Ibam menepuk pundak Agung. "Fine." Dan bergegas kembali ke tengah aksi.

"Heh ...." Agung berdecak. Kemudian menyusul Ibam. Gerakannya yang lincah menumbangkan satu persatu lawan yang menghadang. Dia berteriak, mengomando anak-anak berjaket denim pudar dengan lambang merah di lengan atas sebelah kanan.

Jumlah keseluruhan para remaja itu sebenarnya hanya dua puluh empat orang. Namun kelakuannya yang bar-bar sanggup mengacaukan kegiatan di swalayan seperti sekarang.

Sekian menit berselang, rintik hujan mulai berjatuhan. Di bawah cahaya lampu, eksistensi air yang turun nampak seperti shower yang seketika membasahi aspal. Kemudian, aparat datang sambil melesatkan tembakan asap ke langit sebagai peringatan. Sirine ribut, juga lampu birunya yang mencolok di tengah kelam membuat sebagian anak lari kocar-kacir tak karuan. Tak terkecuali Ibam, Agung dan tiga cowok lain yang berhasil terciduk dan langsung diamankan.

Mereka ditanyai banyak hal. Namun, tak ada yang diacuhkan. Hingga, polisi yang duduk bersandar menghela napas dalam. Beliau menegak, menumpukan siku di atas meja dan menyangga dagu menggunakan kedua tangan yang saling bertaut.

"Yang oppa-oppa Korea, siapa nama kamu?"

Bocah-bocah itu mengangkat wajah, saling pandang. Agung menyikut lengan Ibam. Berbisik, "Lo kali, yang dimaksud, Bam."

Ibam menunjuk hidungnya sendiri, bingung. Mendapat anggukan Agung, dia lantas berdeham. "Ibrahim Aryaputra."

"Umur?" Polisi mengeluarkan buku dan pulpen dari laci. Bersiap mencatat data.

"17 tahun."

Menggeleng pelan, polisi berdecap lidah. "Entah mau jadi apa bangsa ini jika generasi mudanya kayak kalian." Setelahnya beliau menunjukan ekspresi lelah. Tawuran antar remaja memang sudah menjamur. Tak peduli sesering apa pihak keamanan berpatroli. "Nomer hp orang tua."

Ibam tak menjawab. Polisi mendongak, mengulang pertanyaan, "Nomer HP orang tua, mana? Sini buruan."

"Nggak punya."

"Nggak punya orang tua?" Beliau mengangkat alis, setengah tak percaya. "Hati-hati. Ucapan adalah doa."

Berdecak sebal, Ibam mengeluarkan gawai hitam dari celana abu-abunya. Diletakan kasar ke meja, secara tersirat menyuruh pria berkumis lebat itu mencari sendiri nomor telepon mama.

Polisi menggeleng lagi, tak habis pikir. Beliau meraih benda pipih milik Ibam, mengusap layarnya sebelum memindah nomor ke buku. Begitu selesai, hp dikembalikan dengan cara didorong pelan ke ujung meja. Detik berikutnya, langsung diamankan sang empu ke saku celana. Pertanyaan serupa polisi lontarkan pada anak selanjutnya. Lalu, menghubungi satu persatu nomor telepon orang tua mereka. Berbagai respon didapati, nomor tak terdaftar juga tak bisa dihindari.

"Sebagai sangsi, kalian saya tahan selama dua hari. Dan pertanggung jawaban atas kerusakan yang kalian timbulkan, saya akan serahkan kepada orang tua masing-masing selagi hanya kerusakan ringan dan tak memakan korban berat. Paham!"

Kelimanya mengangguk. Masih berdiri bersisian di depan meja. Polisi bangkit, tenggelam akibat tinggi badannya yang tak sepadan. Beliau lantas berlalu keluar menemui sang rekan. Membuat para remaja tersebut bubar barisan.

Termasuk Agung yang sengaja mengajak Ibam duduk di kursi plastik hijau di sisi ruang.

"Tuh luka, masih sakit?" tanya Agung, memastikan. 

Ibam menggeleng, menyeringai. "Lo mah kayak baru kemarin aja ketemu gue, Bang."

"Ya gimana, Bam. Kadang di kepala gue lo masih sama kaya Ibam empat tahun lalu. Bocah kerempeng yang minta gabung karena dibully temen sekelas."

"Astaga! Luntur wibawa gue, Bang, lo ingetin kejadian itu." 

Agung terkekeh pelan. Suaranya renyah, mengalahkan tarian hujan di atap bangunan. Dia menepuk-nepuk pundak kiri Ibam. Terasa basah, sama seperti miliknya. "Ya, tapi sekarang kan udah beda."

"Pastinya."

Keduanya tertawa, melupakan fakta jika lusa adalah sangsi yang sebenarnya. 

•••

Papa menghela napas. Di balik kacamata, beliau melirik Ibam lewat spion depan. Sementara di sampingnya, mama masih setia dalam diam. Mungkin menunggu sampai di rumah sebelum menumpahkan kemarahan, kekecewaan dan frustrasi yang terpancar jelas dari iris coklat terang mama yang kini menghunus ke depan.

Sayang, kemacetan Jakarta membuat perjalan melamban. Diiringi klakson serta umpatan para pengendara tak sabar, mobil merah papa terjebak di belakang truk pengangkut sampah yang tak henti-henti menyemburkan asap hitam.

Ibam menggeser badan, merapat ke jendela dan menyandarkan kepala di sana. Tak peduli dengan panas cuaca yang menerobos masuk, dia menyibukkan diri bermain ponsel, berusaha tak acuh dengan apa pun yang nanti akan terjadi, termasuk mata papa yang menghakimi.

Mobil berhenti di depan gerbang rumah berlantai dua yang tinggi. Cat putih yang melapisi tembok nampak kontras dengan warna keemasan pada gerbang dan besi pembatas balkon yang mengarah tepat ke halaman depan. Tak lama seorang wanita paruh baya bertubuh gempal mendorong gerbang, tersenyum pada si pemilik rumah yang sudah membuka jendela mobil untuk berterima kasih.

Ibam keluar, menurunkan tudung hoodie hitam yang dikenakan sampai menutupi separuh wajah, berjalan mengekori kedua orangtuanya menuju ruang keluarga. Dia duduk di seberang papa-mama. Sekilas menangkap rupa foto keluarga berukuran 20 R yang terpajang apik di tembok belakang mereka.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini, Bam?" tanya Mama pelan tetapi tajam. Mata beliau sudah basah. Wajahnya mememah.

Ibam melipat bibir, tak bisa menjawab. Jemarinya asyik dimainkan di dalam saku hoodie. Dia sedikit menunduk, tak berani membalas tatapan mama.

"Baru kemarin Mama dipanggil ke sekolah, sekarang ke kantor polisi untuk alasan sama berulang kali. Besok apa? Narkoba?"

"Mama." Ibam memicing, tak percaya jika mamanya berpikir sejauh itu. "Ibam nggak mungkin pakai barang haram itu."

"Belum." Mama mengoreksi, mengusap pipi menggunakan ujung jilbab salem yang menjuntai menutup dada. "Nggak ada kata nggak mungkin kalo kamu masih berada di circle yang sama."

Papa mengusap lembut pundak mama, menenangkan. Dari suara mama yang bergetar, Ibam juga tahu jika mama amat sangat marah. Bahkan sejak menginjakkan kaki di ubin kantor polisi.

"Mam, ucapan itu doa. Pamali."

"Bam ...." Mama menggeleng lelah. Menangkup wajah. Berkata, "Mama enggak tahu lagi harus gimana ke kamu. Rasanya Mama memang enggak becus jadi ibu. Mama nyesel, Bam. Takut kalau Mama meninggal nanti ...."

"Maaa!" Potong Ibam cepat. Intonasi suaranya merengek. Dia paling tidak suka jika mama sudah membahas soal kematian. "Jangan ikut-ikutan Eyang Putri, deh. Merinding tau enggak. Lagian Mama-Papa tuh masih muda, sehat wal afiat. Jangan mikir kejauhan."

"Umur nggak ada yang tau Ibam. Mati itu pasti!"

"Tapi ...."

"Kamu anak Mama satu-satunya. Harapan Mama. Kalau bukan kamu, siapa lagi?"

Ibam mengatupkan bibir, sadar sang mama sedang ingin berbicara.

"Adik kamu ...." Mama mulai terisak. "Eyang putri benar, Bam. Mama salah karena sudah memanjakan kamu. Salah karena terlalu takut kehilangan kamu. Salah karena membiarkan adikmu meninggal. Mama yang salah, Ibam. Mama."

"Mama ... Ck." Ibam mengusap wajah kasar. Bangkit. Papa menegur Ibam, tetapi tak diindahkan. Tak tinggal diam, papa ikut berdiri, menahan pundak Ibam, memaksanya duduk. "Ibam nggak suka Mama kaya gitu, Pah. Apaan coba, ngomongin mati, pake ngungkit kejadian lalu segala."

"Duduk."

"Papa ...."

"Papa bilang duduk."

"Tapi Mamanya tuh ngelantur ke mana-mana ...."

"Duduk, Ibrahim Aryaputra!"

Terkesiap, Ibam mengerjap sambil menelan ludah. Seluruh badannya gentar. Untuk pertama kalinya papa meninggikan suara tepat di depan wajahnya. Lengkap dengan penekanan, mata melotot dan memanggil nama lengkap.

"Duduk." Ulang papa pelan, penuh tuntutan. Ibam menunduk, kembali ke tempat. Bebarengan dengan Mama yang beranjak. Beliau masuk ke kamar, menutup pintu rapat-rapat.

Papa mengeluarkan debas, melepas kacamata. Memijit singkat pangkal hidung yang selalu Ibam syukuri karena menurun padanya. "Beberapa toko yang rusak sudah Papa ganti rugi. Salah seorang warga yang terkena imbasnya juga sudah Papa beri uang. Jumlah keseluruhan seharga motor sport kamu. Tapi bukan masalah uang yang buat Papa-Mama sekecewa ini, Ibam. Kamu ngerti, kan?"

"Tapi itu bukan Ibam yang rusak."

"Siapa peduli? Kamu ada di sana, terlibat. Jadi tanganmu atau bukan, Papa tetap harus bertanggung jawab atas namamu. Beruntung mereka tidak mau memperpanjang urusan."

Ibam mengangguk.

Papa menyusul mama masuk ke kamar. Ibam mengembuskan napas dalam. Entah kenapa kali ini kedua orangtuanya bersikap berlebihan, seolah perbuatan Ibam setara tindak pengeboman. Bahkan luka di alisnya tak dihiraukan. Apa mungkin karena Ibam menolak datang ke acara peringatan satu tahun kepergian Eyang kakung, memilih membalas dendam pada geng motor kurang ajar itu dan berakhir di kantor polisi? Ibam menarik badan, melipir ke taman samping yang dibatasi tembok berbahan kaca bening ruang keluarga. Kasar, Ibam menggeser pintunya, mengundang perhatian Bi Imah yang tengah membersihkan kolam renang dari daun pohon kamboja. 

"Bi, Bibi masuk. Gue mau sendirian," katanya, mengedikkan dagu ke dalam. Duduk bersandar di ayunan rotan, memanjangkan satu kaki.

Bi Imah mengangguk tanpa suara, menyimpan jaring panjang ke pojok pagar pembatas lalu sedikit membungkuk saat lewat di depan Ibam. Ibam mengeluarkan gawai, mengetik pesan. Angin yang berlalu lembut menyibak rambut Ibam ke belakang. Daun dan bunga kamboja yang menaunginya ikut berguguran.


Anda

Kacau, Bang. Gila.


Pesan balasan masuk seperkian detik kemudian.


Bang Agung 

Kenapa?


Anda

Bokap-Nyokap gue marah. Banget.


Bang Agung 

Ya elah, kirain apa, Bam.


Bang Agung.

Udah ah, enggak usah dipikirin. Lagian itu berarti orangtua lo masih sayang. 


Anda.

Lo di mana sekarang?


Bang Agung.

Basecamp. Skuy, gabung. Anak-anak pada di sini, nih. 


Ibam menggantung jempol di udara, menatap layar gawai sampai menghitam. Wajah murungnya memantul jelas di sana.

Tbc ...