You in Between

You in Between

ranieva

0

Tidak ada hal baik yang terjadi ketika kita bersentuhan dengan alkohol.

Setidaknya itu yang diyakini Mika selama ini. Tujuan awalnya hanya untuk menemani Bianca melepaskan stress yang melandanya seminggu terakhir, tapi ketika Mika sampai, Bianca sudah mabuk. Yang tak diduga-duga Mika, ada Maga di sana. Malah, Bianca sedang bergelayut di bahu dan lengan Maga.

“Gue pikir Bianca sendirian di sini makanya minta jemput gue,” sindir Mika.

Mendengar ucapan halus Mika dengan seratus persen nada sarkastik, Maga hanya menghela napas panjang. “Gue yang nge-chat lo, karena waktu gue sampai, Bianca udah kayak gini dan nggak mau diajak balik.”

“Orang mabuk nggak akan bisa membedakan siapa yang ngebawa dia pulang. Lo kan laki-laki, harusnya bisa bawa pulang Bianca, nggak perlu ngajak gue.”

Maga mengembuskan napas panjang. “Nggak mungkin gue maksa dia balik sama gue, yang ada gue malah dikira mau nyulik dia lagi. Apalagi nanti sampai di apartemen Bianca, yang ada gue ditahan sama satpam dikira mau aneh-anehin anak orang.”

“At least, lo bilang lah di chat kalau yang ngehubungin gue itu lo, bukan Bianca!”

“Lo nggak mau banget ya jemput Bianca—”

“Gue mau jemput Bianca, kalau dia sendirian,” potong Mika, tak bisa menyembunyikan kekesalannya pada Maga.

“Udahlah Mika, nggak lucu kalau kita malah berantem di sini.”

Semakin malam musik klub berubah menjadi lebih kencang, membuat Mika mengernyit karena dia jarang sekali ke klub malam setelah menikah—membuatnya tidak lagi kuat mendengar musik yang mengentak-entak seperti itu.

“Kalau gitu ayo pulang,” pinta Mika, melirik ke Bianca yang sudah sepenuhnya teler. Sepengetahuan Mika, Bianca ini kuat minum. Kalau dia sampai tidak sadarkan diri seperti ini, berarti dia sudah lama minum-minum di sini. Mika menyesalkan sikap ceroboh Bianca yang malah mabuk sendirian, karena bisa saja ada laki-laki yang berbuat jahat padanya.

“Good, sekarang gue bisa bawa pulang Bianca tanpa dituduh mau macam-macam.”

“Gue aja yang nyetir, lo jagain Bianca. Biar dia nggak tiba-tiba meracau dan membahayakan siapa pun yang nyetir. Mobil lo gimana?”

Maga mengedikkan bahu. “Gue tahu Bianca bakalan teler, makanya gue ke sini naik taksi. Lo bawa mobil atau kita pesan taksi?”

“Gue bawa mobil. Ayo cabut, keburu pusing gue di sini.”

Apartemen Bianca memang tidak jauh dari klub malam langganan Bianca, tapi menggendong seseorang yang mabuk memang cukup menarik perhatian. Mika akhirnya memaklumi alasan Maga meneleponnya, karena dengan kehadiran Mika, membuat Maga tidak terlalu dicurigai karena menggendong Bianca yang teler. Meski Mika hari ini harusnya bisa pulang lebih awal, dia lebih khawatir pada keselamatan Bianca.

“Jarang-jarang Bianca teler gini. Dia kuat minum padahal,” gumam Mika. Maga keluar kamar, ketika Mika menggantikan baju Bianca menjadi yang lebih nyaman untuk tidur dibandingkan cocktail dress-nya yang mencolok.

“Dia sering teler sih sebenernya, tapi masih di level bisa dan mau diajak pulang tanpa perlu digendong,” Maga berujar ketika Mika keluar dari kamar Bianca. “Terutama setelah dia keguguran dan suaminya mulai main cewek lain.”

“Untungnya udah jadi mantan suami,” gumam Mika, sedikit geram pada lelaki yang menyakiti Bianca. Meski hubungannya dengan Bianca tak terlalu baik waktu SMA karena Bianca merebut pacarnya dulu, Mika langsung merasa klop bersama Bianca. Menurut Mika, Bianca menjadi sosok yang berbeda dan karena latar belakang mereka sama, dia jadi lebih mudah bertukar pikiran dengan wanita yang hobi berdandan heboh itu.

What about you, Mika?”

Mika yang sedang mengisi gelas dengan air mineral untuk melegakan tenggorokannya, menghela napas panjang mendengar pertanyaan Maga. Setelah ditolak Mika, Maga tak berhenti mengejarnya. Malah lelaki itu semakin jelas menunjukkan keseriusannya.

What about me? What about you, Maga? Kapan lo berhenti ngejar gue?”

Maga yang awalnya duduk di sofa, berjalan menghampiri Mika yang baru selesai meneguk tandas air minumnya di mini kitchen Bianca.

“Kayaknya sampai lo membuka hati.”

Mika tersenyum miring. “And when the time comes, kalau gue membuka hati buat orang lain gimana tuh?”

Membalas senyum Mika, Maga juga tersenyum sampai matanya tinggal segaris. “We’ll see. Mengingat gue susah suka sama orang, mungkin gue nungguin lo berpindah hati.”

“Gue janda, Ga. Don’t you see? People will always badmouthing us.”

I don’t mind. People will always talk, don’t let them bother you.”

Mika menghela napas panjang. Berbicara pada Maga sama sulitnya seperti meyakinkan Mami untuk tidak buru-buru mencari pengganti mendiang suaminya. Ketika Mika sibuk dengan pikirannya, Maga sudah berjalan mendekati perempuan itu.

“Mika, Kale pasti pengen lo bahagia.”

Mika mendongak, sedikit terkejut karena Maga memperkecil jarak di antara mereka. Bahkan Mika harus mundur beberapa langkah dan berakhir pinggangnya menyentuh kabinet dapur Bianca. Namun, Maga sepertinya tidak berniat memberi Mika kesempatan untuk kabur.

“Maga, gue—”

“Kenapa nggak kita coba dulu? I got nothing to lose, after all.”

Bulu kuduk Mika meremang ketika tangan Maga menyentuh pipinya dan membawa bibir mereka untuk saling bertemu. Untuk sepersekian detik, Mika bisa merasakan rasa manis dari bibir Maga—seperti anggur, sampai dia tersadar dan segera mendorong tubuh lelaki itu keras-keras. Napas Mika memburu, wajahnya merah padam.

Don’t … ever … touch me again!” pekik Mika tertahan sambil telunjuknya mengarah ke dada Maga yang menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

Maga hanya berdiri mematung di dapur saat Mika bergegas pergi setelah memukul dadanya sekali lagi. Dia mengembuskan napas panjang berkali-kali ketika mendengar suara pintu tertutup dan otomatis terkunci. Dia menutup mulutnya sendiri yang baru saja lepas kontrol. Tangan lelaki itu menggebrak kabinet dapur Bianca dan menimbulkan suara keras.

“Sialan, gue kelepasan!” desisnya. “Harusnya tadi gue nggak minum juga! Malah jadi kebawa perasaan gini sih. Bego lo, Magani!”

“Maga?”

Maga terkejut dan ketika berbalik dia mendapati Bianca berdiri di sana dengan wajah berantakan. Sepertinya Mika sempat menghapus riasan di wajahnya, meninggalkan wajah pucat Bianca dengan kantung mata yang menghitam. Setelah menenangkan diri, Maga menghampiri Bianca dan menggandeng perempuan itu kembali ke kamarnya.

“Tidur ya, Bi. Lo nggak boleh hangover ya.” Perlahan, Maga mendudukkan Bianca di ranjangnya. Namun perempuan itu tak mau melepaskan tangannya. “Bi, gue harus balik.”

“Temenin gue dong, Ga,” desis Bianca, menggelayut lengan lelaki itu.

Maga tahu dia harus mulai tegas pada Bianca dan akhirnya dengan berat hati, lelaki itu melepaskan tangan Bianca. “Udah lo tidur, gue tungguin.”

Mendengar kalimat itu, Bianca tersenyum dan menurut ketika Maga menaikkan selimut sampai menutupi tubuhnya. Maga membiarkan Bianca menggenggam tangannya sementara dia duduk di tepi ranjang. Menatap Bianca yang perlahan kembali ke alam mimpi, membuat Maga bertekad memperjelas hubungan mereka bertiga secepatnya.

“Maafin gue, Bi. Gue nggak bisa membalas perasaan lo.”

Sementara itu, Mika buru-buru pergi dari apartemen Bianca sebelum dia kelewat marah dan berakhir melempari Maga dengan barang-barang Bianca. Air mata Mika menetes begitu dia sampai di mobil, sampai Mika tidak berani menyalakan mesin mobilnya sebelum batinnya sedikit tenang. Setelah beberapa menit menangis dalam diam, Mika mengusap wajahnya kasar. Perlahan, dia mengendarai mobilnya, kembali ke rumah, berharap melupakan apa yang baru Maga lakukan padanya.

“Maafin aku … Kale.”

Pikiran Mika berkelana, menyesali pertemuannya dengan Maga. Seharusnya kalau dia tak bertemu Maga malam itu, apakah semuanya akan baik-baik saja? Apakah dia bisa berteman dengan Bianca tanpa takut ada lelaki bernama Maga yang mengejarnya?

Berandai-andai tak membuat Mika tenang, dia masih saja kalut. Air matanya kembali menetes karena sesaat tadi Mika sempat terbuai oleh lelaki bernama Magani Sambara.

“Damn you, Maga. We shouldn’t have met.”

Benar, semua itu bermula karena Mika datang ke reuni SMA.

***