YOLO Mrs. Windy

YOLO Mrs. Windy

Ohmyrum_

5

"Om, please! Jangan bercanda se-absurd ini." Windy menyandarkan punggungnya di sofa dan tertawa sumbang.

Mamanya adalah anak tunggal, telah meninggal dua tahun lalu karena penyakit jantung. Papanya juga anak tunggal, satu minggu yang lalu juga menyusul kepergian mama karena terpeleset di kamar mandi dan pembulu darahnya pecah. 

Sekarang, Windy resmi jadi anak sebatang kara, persis seperti Hachi si lebah yang malang itu.

Bedanya, kekayaan peninggalan orangtuanya bisa membuatnya tetap hidup berkelimpahan sampai tujuh turunan nanti. Tidak hanya harta yang ditinggalkan, melainkan juga aset usaha-usaha milik ayahnya yang kini harus Windy kelola dengan baik. 

Namun itu semua hanya estimasi. Masalahnya, Om Demon -pengacara keluarganya- baru saja memberitahu jika usaha perhotelan papanya nyaris mengalami kebangkrutan. Bahkan ada yang sudah resmi tutup. Lalu yang lebih mengejutkan lagi, papanya punya usaha lain yang Windy tidak pernah tahu selama ini, yaitu usaha ayam geprek. Sangat bukan Haidar Herlambang sekali.  Mengingat selama ini, Haidar dikenal sebagai pengusaha sukses di bidang properti dan perhotelan.

Lah ini? Ayam geprek? Yang benar saja? 

Om Demon mengangguk. "Kamu juga harus mengelolanya."

Windy memajukan badannya, dengan serius, ia menatap om Demon. "Gini om, gimana kalau ayam gepreknya skip aja. Kita fokus ke hotel yang di Bali, Bandung Malang, dan Jakarta. Lagian om, aku kan juga punya kerjaan utama. Gak mungkin punya waktu cukup untuk mengurus semua itu. Apalagi warung ayam geprek pasti omsetnya gak seberapa."

Terserah dengan usaha ayam geprek yang menurut Windy remeh itu. Di kesibukannya menjadi CEO Beauty Wins, perusahaan yang bergerak di bidang kecantikan, ia tentu saja akan sangat keteteran mengurus itu semua. Apalagi Windy tidak bisa percaya orang begitu saja untuk urusan bisnis. 

"Win, gak bisa! Perhotelan pasti akan lama lagi naiknya. Pandemi kemarin habis-habisan. Banyak karyawan yang udah di rumahkan. Papa kamu juga udah ambil keputusan buat tutup permanen yang ada di Bandung dan Malang. Apalagi hotel yang lain belum kembali bangkit seperti sedia kala. Kamu juga gak akan nyangka kan kalau papa kamu punya usaha ayam geprek? Tapi, menurut om, Haidar cukup visioner. Usaha kuliner tuh sekarang lumayan menjanjikan Win di post-pandemic ini." jelas Om Demon. 

Windy meringis kaku. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Setelah kepergian mamanya, Windy memutuskan untuk tinggal di apartemen seorang diri, sebab ia pasti akan terus-terusan sedih kalau tinggal di rumah yang setiap sudutnya ada kenangan dengan mamanya. Itu juga yang membuat Windy jarang bertemu Haidar. Ia juga jadi tidak terlalu memperhatikan secara detail bagaimana kesehatan Haidar, apalagi bisnisnya. Setiap bertemu pun, papanya selalu bilang semua baik-baik saja. Jadi Windy tidak terlalu banyak mengkhawatirkannya. Ternyata banyak hal yang terjadi selama ini dan Haidar menyembunyikan semua masalah itu dari Windy, termasuk usahanya yang diujung tanduk.

Sekarang, setelah ia tahu semua, ia justru merasa bersalah karena di sisa akhir hidup papanya, ia tidak memperhatikannya dengan baik. Satu-satunya hal yang harus Windy pikirkan saat ini adalah, bagaimana mengelola semua usaha yang Haidar tinggalkan ini. 

"Tapi om, kita harus mengorbankan salah satu buat fokus membangun dan memajukan yang lebih worth it. Dan hotel serta restoran udah cukup. Apalagi itu usaha papa yang udah dari lama." usul Windy.

"Asal kamu tahu Win, dari sekian bisnis papa kamu, setahun terakhir, Haidar tuh justru lagi in too banget sama usaha ayam geprek ini. Seminggu sekali bahkan dia ke sana buat ngecek. Jadi, om harap kamu juga memperjuangkan yang itu juga."

Windy lagi-lagi menghela nafasnya, kali ini lebih kalem. Mencoba menenangkan diri. Membayangkan mengelola semua saja sudah membuat Windy lelah duluan, bagaimana berjalannya waktu nanti? Apalagi ia adalah orang yang perfeksionis. Ia tidak bisa membagi-bagi pikirannya selagi yang satu tidak berjalan sempurna. Windy berbeda dengan papanya yang sekali dayung semua pulau terampaui. Haidar itu multitasking. Om Demon saja sampai menjuluki papanya si tangan seribu. Haidar bisa melakukan banyak hal terutama dalam me-manage bisnis yang tersebar dimana-mana.

Pusing pala Windy.

***

Windy membolak-balik kertas yang harusnya ia baca lalu ditandatangani. Namun, pikirannya sedang tidak ada di sini. Ia sedang berpikir tentang bisnis papanya. Salahkan otaknya yang selalu overthinking dan tidak tenang jika sesuatu belum bisa ia selesaikan. Windy jelas tidak bisa mengabaikan langkah kedepannya untuk menyelamatkan bisnis papanya. 

Seperti telah menemukan ilham, Windy pun menghentikan aktivitasnya. Lalu dengan gerakan cepat, ia membereskan barang-barang dan menenteng tas bermerk-nya. Langkahnya kian gontai berjalan ke ruangan Yona —personal asisten sekaligus sahabatnya, untuk pamit.

Windy terpaksa memarkirkan mobilnya di jalanan besar itu, sebab tempat yang harus ia sambangi berada di gang sempit dan ia harus berjalan kaki menuju ke sana.

Kitten heels-nya beradu dengan jalanan semen yang bertekstur tidak rata dan kubangan air sehabis terkena hujan. Seperti belum pernah memasuki gang sempit, ia cukup heran dengan rumah-rumah yang berdempetan tanpa cela itu. Seorang bapak yang sedang memandikan burungnya menyapa dengan renyah. Belum lagi ibu-ibu yang sedang menjemur baju atau menidurkan anaknya di luar rumah juga menatap Windy dengan tatapan menelisik dan ingin tahu seolah-olah ia adalah manusia langka di muka bumi ini. Saat Windy menoleh ke belakang, ibu-ibu itu rupanya melongokkan kepalanya di pagar rumah masing-masing dan bersembunyi seperti keong setelah ketahuan mengintip. 

Pemandangan apa ini? batin Windy.

Ya maklum, selama 32 tahun usianya, ia tinggal di lingkungan yang elit, bersih dan tertata. Melihat ini semua, rasanya kepalanya jadi tambah pusing. Perumahan yang terlalu padat dengan tembelan-tembelan atap yang tidak rapi dan cat di setiap rumah yang berbeda sungguh menyilaukan matanya. Masih bagus jika cat rumahnya hanya putih, lah ini? Hijau neon, hijau kelepon, kuning kunyit, ungu terong, pink norak, merah cabai dan sebagainya. 

Segerombolan lelaki duduk di gardu di ujung persimpangan gang tersebut. Mereka bersiul-siul saat Windy berjalan melewati. "Mau kemana neng? abang anter yuk."

Bibir Windy terangkat sinis, risih dengan cat calling itu. Langkahnya kian cepat. Kalau dilihat dari maps di ponselnya, tempat yang ia maksud sudah tinggal lima puluh meteran lagi. Mungkin tempatnya yang ada stand banner warna merah itu, pikirnya.

Jalannya terhenti, matanya memandang ke bangunan kecil di depannya. Bangunan yang dihimpit oleh rumah-rumah dengan gang yang lebih sempit dari sebelumnya. Ia membaca ulang ponsel dan tulisan besar di depan bangunan rumah itu. 'Warung Geprek Jenaka'

Windy melangkah masuk warung itu. Matanya memindai sekeliling sambil dalam hatinya yakin, jika tempat ini lebih baik ia tutup saja. Pengunjungnya juga sepi dan tempatnya begitu kumuh. Tidak layak dipakai untuk usaha kuliner. Yang pertama orang lihat pasti kehigienisannya. Sementara yang ia lihat ini? Sungguh seperti sarang penyamun dengan kelambu pembatas antara ruangan belakang yang penuh debu dan lantai yang kotor.

Kakinya tak sengaja menabrak meja kayu yang ditata berjejer.

Seorang lelaki berlari ke arahnya mendengar bunyi meja bergeser itu. "Selamat datang di Geje, mau pesan apa?" Lelaki bergigi gingsul itu menyambut Windy dengan ramahnya.

"Kumpulkan semua pegawai warung ini, saya mau bicara." ujar Windy to the point.

Tentu saja waktunya tidak banyak. Semakin cepat masalah yang satu ini selesai, semakin Windy bisa mengurus yang lain-lain. Lelaki di depannya itu tampak bingung, tapi kemudian dengan gerakan serampangan, berjalan cepat ke arah dapur atau entahlah itu ruangan apa. 

Beberapa menit setelahnya, lelaki itu muncul dari dapur bersama satu lelaki dan satu perempuan. Mereka bertiga menghampiri Windy dengan wajah yang sama-sama bingung. Ya bagaimana tidak bingung. Windy belum pernah datang kesini, dan dengan otoriternya memerintahkan untuk mereka berkumpul.

"Ada apa ini?!" ujar seorang lelaki dengan hoodie warna hitam yang terlihat sudah memudar warnanya jadi abu-abu.

Windy mengabaikan pertanyaan itu. Satu tangan Windy menopang di meja yang ada di sebelahnya. Sebisa mungkin ia harus terlihat relaks dan berwibawa. "Karyawannya cuma tiga orang?" tanyanya. 

Hanya satu-satunya perempuan diantara ketiga orang itu yang merespon dengan anggukan. 

"Saya Windy Herlambang, anak dari Haidar Herlambang, kalian pasti udah tahu papa saya." ujarnya memperkenalkan diri yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Ketiganya saling berpandangan dan membentuk mulutnya dengan huruh o, lalu ketiganya tersenyum. Mereka tidak tahu saja sebentar lagi akan jadi pengangguran.

"Perkenalkan, saya Cako. Tapi kalau pengen tahu artinya, bisa dibaca tiga kali disambung." ujar Cako, lelaki bergingsul itu dengan ramahnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Cakocakocako." 

Entah mengapa, Windy menuruti saja perintah Cako yang menurutnya aneh seperti mantra itu. Alisnya terangkat dua-duanya.

"Nah! Ayah saya dulunya komedian, jadi saya dinamain cako alias kocak kalau dibalik." 

Ketiganya lalu tertawa terbahak, sementara Windy tetap seperti orang asing yang tidak relate dengan candaan begini.

"Perkenalkan bu boss, saya Miya..."

"Miyabi?" sahut Windy reflek.

"Bukan, bukan... Miyaw aja. Aslinya Mirabella, tapi karena waktu kecil gak bisa bilang er, jadinya Miyawbella, gitu."

"Oh..." mulut Windy ber-oh ria. "Kamu?"

"Bas." ujar lelaki berhoodie itu dengan singkat. Tidak seperti kedua temannya yang langsung berceloteh panjang tentang nama yang menurut merepa epic.

"Bastian? Sebastian or..."

"Basuki." lanjut Bas.

Kening Windy mengernyit. Jujur, ia agak tidak percaya ada nama seperti itu. Nama yang terdengar jadul di telinganya. Maksudnya, jika dilihat Bas ini lebih muda darinya, agak aneh jika namanya sejadul itu. Apa mungkin orang tuanya nge-fans dengan tokoh komedi Basuki di serial si doel anak sekolahan? Bisa jadi.

Windy lantas mengangguk saja. Ia tidak mau bertele-tele hanya soal nama karyawan yang sebentar lagi ia kasih pesangon ini. Ketiganya berkasak-kusuk tidak jelas. 

"Kalau karyawannya cuma tiga, bagus deh, jadi saya gak akan banyak menyusahkan orang. Jadi gini, papa saya udah meninggal seminggu lalu. Karena udah gak ada yang akan jadi bos kalian, mulai besok, warung ini resmi ditutup."

Ketiga orang itu melongo, lalu setelahnya mereka seperti mau mengumpat dengan keputusan Windy yang sepihak ini. Sebenarnya Windy berhak melakukannya karena ini kan usaha papanya yang otomatis sekarang menjadi miliknya. Semua kendali ada di tangannya.

"Apa-apaan ini? Gak bisa!!" seru Bas dengan nada kesal.

Windy menoleh dan menatap Bas dengan angkuh. "Kenapa gak bisa? Sekarang tempat ini punya saya dan saya berhak memutuskan mau buka atau tutup?" sergahnya sambil mengerling sombong.

"Bos, kasihanilah kami. Setelah ini tutup kami mau kerja dimana?" rayu Miyaw dengan memelas.

"Ya cari kerja yang baru." 

Cako bahkan sampai menekuk lututnya dan memohon. Lalu diikuti Miyaw yang air matanya sudah tumpah ruah seperti sungai.

Bas yang masih berdiri, menghela nafasnya kasar. Ia lalu menarik kerah baju belakang Cako dan Miyaw untuk kembali berdiri dan tidak merendahkan diri seperti ini.

Dengan raut wajah yang begitu datar, Bas bertanya. "Bisa kita bicara berdua?" 

Windy yang sudah mengira bahwa Bas ini adalah leader dari mereka, menyetujui untuk membicarakan ini berdua. Kepalanya bergerak miring, mempersilakan Bas membawanya entah kemana.

Di ruangan dapur kotor itulah, Bas memicingkan matanya. Kedua tangannya sudah berkacak pinggang. Persetan tentang kesopanan kepada Windy yang adalah anak Haidar —seorang yang sangat berjasa dalam berdirinya warung geprek jenaka ini—.

"Gue gak peduli ya, lo mau anak pak Haidar atau siapapun. Lo gak bisa menutup warung ini." Bas masih sabar.

Windy memutar bola matanya, "Oke, gini. Saya bakal kasih kalian pesangon, lumayan kan bisa buat hidup sementara sambil nyari kerja yang baru?"

Bas mulai emosi. "Lo pikir nyari kerja kayak nyari kacang di pasar?! Lo gak lihat mereka mohon-mohon tadi? Mereka butuh uang buat nafkahi keluarganya. Lo mikir sejauh itu gak sih? Jangan mentang-mentang anak orang kaya, hidup nyaman dan duit gak bakal habis, lo bisa seenaknya begini sama kami!" 

Lagi-lagi, Windy menghembuskan nafasnya jengah. "Gini ya Bas, Basuki ... Mungkin uang seperak aja bisa sangat berarti buat kalian semua. Tapi buat saya, yang tahu cara berbisnis, warung ini gak worth it lagi dipertahankan. Pengunjung aja gak ada, tempatnya juga kotor kayak begini, terus ruangannya sempit, bau..."

"Tapi usaha ini yang udah bisa kasih makan keluarga kita selama ini!" potong Bas dengan geram, tangannya mulai mengepal erat di sisi tubuhnya.

Setelahnya, suasana menjadi hening. Keduanya menatap tajam satu sama lain, sama-sama memendam kesal. Entah apa yang akan terjadi nanti, Bas tidak yakin. Jelas ia tidak terima warung ini akan di tutup, apalagi Windy juga mengkritik dengan kasar dan tanpa etika. Bas benci orang kaya seperti Windy.

Tatapan itu terputus tatkala Cako masuk ke dapur dengan tergopoh-gopoh dibarengi dengan suara ramai di luar sana. 

"Bas, pelanggan datang dari dinas pertanian." Cako menintip keluar kelambu itu untuk berkoordinasi dengan Miyaw, lalu kembali menghadap Bas. "10 level sedang, 3 level setan." ujarnya memberikan informasi.

Bas langsung menyambar dan memakai celemeknya. "Oke, langsung goreng lagi. Gue kedepan."

Setelah kepergian Bas keluar dapur, Cako pun juga langsung bergegas menepungi ayam dan menggorengnya, meninggalkan Windy yang hanya melongo dan bertahan dengan kebingungannya.

Apa yang terjadi?

***