Yeti and Other Hudgemoors Stories

Yeti and Other Hudgemoors Stories

Fann Ardian

5

Floyd hampir saja terpeleset di tikungan licin yang tertutupi salju. Ia berlari menuju sebuah bangunan dengan halaman luas. Pada akhir semester, biasanya sekolah-sekolah akan mengadakan karyawisata sebelum liburan musim dingin yang akan diikuti oleh murid-murid. Itulah yang sedang Floyd lakukan sekarang. Ia menggendong ransel besar di pundaknya, kedua lengan jaket terikat di pinggang. Floyd menghampiri barisan para murid, menunggu namanya dipanggil oleh Bu Utick, koordinator karyawisata ini. 

“Floyd Rivera!” seru Bu Utick, ia mendongakkan kepalanya.

“Hadir, Bu!” jawab Floyd seraya mengangkat tangan kanannya ke atas. 

Bu Utick melihatnya, lalu menuliskan sesuatu di papan klip yang ia pegang, dan kembali menyebutkan nama-nama lagi.

Floyd berbalik dan berusaha membawa dirinya untuk berjalan. Ia masih sangat mengantuk, bisa dibilang saat ini mungkin dirinya setengah tertidur. Tadi malam Floyd baru saja menyelesaikan satu musim penuh salah satu serial TV yang ditontonnya di Netflix, dan itu menghabiskan banyak energi mengingat dirinya baru tidur pukul tiga pagi.

Anak-anak berhamburan di halaman sekolah. Mereka berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Tipikal stereotipe SMA. Kutu buku, anak-anak populer, atlet, penggila teknologi, ratu drama. Floyd sudah hafal sekali dengan hal itu. Tetapi ia sendiri tidak termasuk dalam kategori-kategori tersebut. Ia adalah gadis normal dan sedikit unik yang menjalani hidupnya dengan melakukan berbagai hal yang disenanginya.

Setelah berkeliling beberapa saat, Floyd akhirnya menemukan teman-temannya. Seperti dirinya, teman-temannya adalah gadis-gadis normal. Mereka tidak terlalu mencolok sehingga bisa masuk salah satu kategori tertentu. Mereka hanya normal.

Floyd menghampiri mereka. “Jadi, what’s up.” Ia menganggukkan kepala kepada mereka sambil menyeringai.

Meera adalah orang pertama yang menyahut. “Kau tahu, tadi Monroe baru saja mengobrol asyik dengan Rani McLain,” tukasnya. Kejengkelan tergambar jelas di wajah Asianya.

“Kenapa?” tanya Floyd dengan kening berkerut. “Bukankah dia sekarang pacarmu?”

Meera langsung berseru. “Tepat sekali!” ia melipat kedua lengannya, lalu mendengus “Aku tidak suka Monroe masih berhubungan baik dengan mantan pacarnya.”

“Santai, Meera.” Floyd menenangkan. Ia tertawa melihat sikap temannya itu. “Kau pacar Monroe. Lagipula, Monroe sangat tertarik dengan gadis Korea, dan kau salah satunya.” 

Meera adalah keturunan Korea dari keluarga ayahnya. Nama aslinya adalah Park Min Ra. Tetapi sejak menetap di Amerika dia mengubah namanya menjadi Meera Park. Meera sudah lama sekali menyukai Monroe, seorang anak teladan di sekolah, dan akhirnya sekarang mereka berpacaran.

Di sebelah Meera, Zizzy sedang sibuk mengetik di ponselnya. Anak itu selalu bermain ponsel, bahkan saat sedang liburan karyawisata seperti ini. Ponselnya sudah seperti bagian dari diri Zizzy.

Floyd tidak bisa menahan diri untuk tidak mengganggunya.

“Hei!” seru Floyd. Ia mengetuk layar ponsel Zizzy, membuat gadis itu terlonjak. “Kau ini. Kita sekarang mau karyawisata, dan kau masih saja sibuk dengan ponselmu? Kemari, berikan ponsel itu kepada Mama,” perintah Floyd sambil mengulurkan tangannya, meminta ponsel.

“Tidak.” Zizzy menggeleng-gelengkan kepala. Ia menyelesaikan apapun yang sedang dilakukannya dengan cepat di ponselnya, lalu memasukkan benda persegi panjang itu ke saku dalam celana. “Lihat? Aku tidak punya ponsel lagi.” 

Floyd menjawab tidak acuh. “Lebih baik.”

Bu Utick meniup peluit dan menyuruh anak-anak berbaris untuk masuk ke dalam bus. Floyd duduk bersama Karin dan Nuna, dua teman baiknya, di bagian tengah bus. Dua orang teman menyapanya, yang dibalasnya dengan lambaian tangan dan anggukan dagu. 

“Flo, kau lihat sarung tanganku?” tanya Nuna. Ia sedang melihat-lihat ke sana-kemari.

“Tidak.” Seseorang menepuk pundaknya. Floyd berbalik. “Hei, Sally! Aku tidak melihatmu di luar. Kau baru datang?”

Yeah.” Sally hanya mengangkat bahu. Ia duduk di barisan kursi di sebelah barisan Floyd. “Eh, Flo, bagaimana kabar permainan gitarmu?” Sally dan Floyd senang berbicara tentang gitar dan cara yang keren untuk memainkannya.

“Sama saja. Aku masih berusaha menciptakan bunyi yang benar,” sahut Floyd. Ia menoleh ke sebelah kanan. Nuna masih celingak-celinguk. “Kau belum menemukan sarung tanganmu?”

“Belum, Flo.”

“Terakhir kali kau menaruhnya di mana?” Floyd mulai melihat ke sana-kemari juga. Karin yang duduk di pojok di dekat jendela sama sekali tidak terusik dengan keadaan sekitarnya. Floyd menengok ke bawah dan melihat sesuatu berwarna biru dan putih di bawah kaki Karin. “Sarung tanganmu ada di bawah kaki Karin,” beritahunya. 

Bus melaju meninggalkan halaman sekolah. Mereka akan bermain ski di pegunungan salju. Daerah tempat penginapan mereka bernama Courtney Woods. Tempatnya berada di tengah lembah, tepat di depan sebuah hutan. Courtney Woods berhadapan dengan lereng pegunungan. Ada dua lereng di sana yang bisa digunakan untuk bermain ski dan snowboard. Lereng di sebelah kiri adalah lereng barat, jauh lebih terjal dan berbatu dibandingkan lereng timur di sebelah kanan. Maka dari itu lereng timur lebih banyak diminati oleh para wisatawan dan keluarga.

Floyd merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi. “Udaranya segar sekali! Dan membeku,” serunya. Ia menarik tudung jaketnya menutupi kepala. “Kalian tidak ada yang ingin bermain snowboard?”

“Aku mau menghangatkan diri dulu,” ujar Nuna. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya, hidungnya memerah. Pipinya yang tembam terlihat berwarna pink pucat menahan hawa dingin. Nuna menarik koper kecilnya ke arah pintu rumah penginapan. “Ayo masuk.”

“Aku masih mau melihat-lihat sebentar.”

“Karin, kau masuk atau tidak?” tanya Nuna.

“Ya.” Karin segera berbalik, lalu berkata kepada Floyd sebelum pergi. “Kenapa kau tidak masuk ke dalam dulu dan menaruh barang-barangmu? Kau tampak seperti orang aneh berdiri di sini dengan bawaanmu yang banyak itu.” Ia menunjuk barang-barang yang terikat di ransel Floyd, yang membawa kedua perlengkapan ski dan snowbordnya.

“Tapi pemandangannya memang sangat indah, bukan?” Floyd malah bertanya, tetapi Karin sudah melangkah masuk ke dalam rumah penginapan. Kemudian ia melihat Meera dan Monroe berjalan berdampingan sambil bergandengan tangan. “Hei, kalian. Dari mana saja?”

“Hanya berjalan-jalan di sekitar sini,” jawab Monroe. Rambut hitamnya disisir rapi ke samping.

“Sedang apa kau di sini?” tanya Meera.

“Menikmati pemandangan.”

Meera memutar bola matanya. “Ayo masuk,” ujarnya seraya berjalan bersama Monroe. “Flo, apa kau ingin main snowboard di lereng barat? Aku sudah membawa papan seluncur kesayanganku.”

Floyd, atau yang biasa disapa orang-orang dengan Flo, mengangguk mantap. “Tentu saja.” Ia berbalik mengikuti Meera dan Monroe masuk ke dalam penginapan.

“Kalian akan bermain di lereng barat?” tanya Monroe ketika mereka melewati pintu utama. “Di sana kan sangat terjal.”

“Ya. Flo dan aku sering bermain snowboard,” jawab Meera.

Kamar penginapan mereka berada di lantai dua. Area kamar laki-laki dan kamar perempuan dipisahkan oleh ruang duduk yang nyaman. Terdapat sofa panjang serta bantal-bantal dan meja untuk minum kopi di sana, dan juga TV. Di depan ruang duduk ada balkon cukup besar yang menyajikan pemandangan langsung lereng pegunungan.

“Apa kalian sudah pernah mendengar cerita tentang Courtney Woods?”

Flo dan Meera menoleh secara bersamaan kepada Monroe. Kalau ini hal-hal berbau misteri dan petualangan, serahkan saja pada Flo dan Meera. Mereka akan melahapnya sampai habis. 

“Belum. Cerita apa?”

“Cerita tentang apa?”

Monroe mengusap-usap dagunya. “Well, apa kalian pernah mendengar tent ang yeti?”

“Maksudmu makhluk berbulu putih seperti primata raksasa itu?” tembak Flo langsung.

Monroe menjentikkan jarinya. “Nah! Betul sekali.”

Meera mengerutkan dahi. “Jadi? Apa hubungannya?”

Sebelum Monroe sempat menjawab, Flo sudah menyela duluan. “Bukankah makhluk itu berada di pegunungan Himalaya, atau Tibet? Aku pernah membaca artikel tentang itu.”

Flo gemar membaca. Selain membaca novel fiksi, ia juga suka membaca kisah mitologi dan cerita-cerita rakyat di dunia.

“Kalian tahu, aku mengikuti acara survei untuk karyawisata ski kita tahun ini. Ada sebuah desa penduduk tidak jauh dari sini, tepatnya berada di sisi lain lereng barat. Desa Hudgemoors. Aku dan anak-anak yang lain mampir untuk melihat-lihat dan minum. Di sana, aku mendengar orang-orang berbicara tentang cerita masyarakat setempat. Cerita tentang cahaya di dalam hutan, terowongan rahasia, hantu, yeti, bahkan cerita bunyi di dalam hutan yang terdengar seperti nyanyian. Tapi, yang paling populer adalah cerita tentang yeti. Beberapa orang pernah melihat makhluk raksasa berbulu itu berjalan di bagian lereng yang tinggi. Mereka pernah melakukan pencarian, tapi yeti itu seperti hilang begitu saja,” cerita Monroe panjang lebar.

Flo dan Meera bertatapan. Kedua gadis itu mulai tertarik.

“Aku sempat mengobrol dengan seseorang di kedai minum tentang cerita itu,” lanjut Monroe. “Aku bertanya apakah itu benar atau hanya cerita belaka. Katanya, itu benar. Masyarakat sendiri yang melihatnya dari waktu ke waktu.”

“Wow. Menarik sekali,” gumam Flo. “Kau tidak bertanya seperti apa rupa yeti itu? Atau menanyakan asal-usul ceritanya lebih lanjut? Aku jadi penasaran tentang Hutan Courtney. Penginapan kita tepat berada di depan hutan.”

“Bagaimana tentang cahaya di dalam hutan?” Meera bertanya pada Monroe.

“Tidak ada yang pernah melihatnya dengan jelas. Yeti itu hanya terlihat sesekali, paling sering saat badai,” jawab Monroe. “Dan soal cahaya di dalam hutan, atau bunyi yang seperti nyanyian, itu hanyalah karangan orang-orang tua Hudgemoors, yang diceritakan kepada anak-anak untuk menakuti mereka agar tidak keluyuran di dalam hutan. Hutan Courtney bisa dibilang luas tetapi rapat. Kau bahkan mungkin tetap tidak bisa melihat ujung lain hutan walaupun sudah berjalan jauh.”

“Tapi apakah menurutmu masyarakat benar-benar melihat yeti itu?” tanya Flo.

Monroe mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Setiap daerah punya cerita masyarakatnya masing-masing.”

“Kau tadi menyebutkan tentang terowongan rahasia,” kata Meera, tampangnya seperti orang yang baru saja menemukan sebuah ide. “Dari mana terowongan itu dimulai? Maksudku, dari mana kita bisa masuk ke dalam terowongan itu, dan apa gunanya?”

“Terowongan itu mungkin semacam pertambangan tua.”  

Flo mengerutkan mulutnya. “Omong-omong, kalau peduduk desa sendiri yang melihat yeti itu, apa mereka tidak takut? Seharusnya mereka merasa terancam, dong?”

Monroe terdiam sebentar. “Aku juga sempat menanyakan itu. Katanya, selama yeti itu tidak mengganggu, tidak masalah. Dia hanya terlihat sesekali. Lagipula, ada kemungkinan bahwa sebenarnya yeti itu benar-benar tidak ada. Hanya prasangka orang-orang saja yang melihat sesuatu dalam badai.”

“Benar juga.” Meera menyetujui.

“Bagaimana dengan cerita hantu?” Flo tiba-tiba bertanya, lebih seperti berseru.

Meera menatapnya sambil menelengkan kepala. “Jangan bilang kau takut.”

“Tidak.” Flo menjawab dengan nada sedikit terlalu keras.

Meera menatapnya datar dengan ekspresi seolah mengatakan, “Ayolah.”

“Tapi kita harus selalu mengantisipasi apapun,” tuntas Flo. Ia melipat kedua lengannya sambil manggut-manggut.

Monroe melihat arloji di pergelangan tangannya. “Aku harus pergi,” katanya. “Ada pertemuan badan siswa.”

“Aku dan Flo juga ingin menaruh barang-barang kami ke dalam kamar dan membersihkan diri.” Meera melepas jaket dan menyampirkannya di bahu. Ia menyeret papan seluncurnya. “Apa kau akan ikut bermain snowboard setelah kau selesai?”

“Tentu.” Monroe tersenyum. “Jadi, sampai nanti? Oh iya, temui aku di lobi dua jam lagi. Kita akan minum cokelat panas bersama.”

Kalau Meera berusaha menyembunyikan senyum atau wajah tersipunya, itu tidak berhasil. “Oke.”

Monroe langsung menuruni anak tangga setelah dia selesai berbicara dengan Meera.

Flo menyikut temannya itu. “Hei, merasa lebih baik?”

Meera nyengir malu. “Aku rasa begitu.”

“Sudah kubilang kau seharusnya jangan terlalu berburuk sangka,” cemooh Flo.

“Ya, ya.” Meera berjalan sambil menenteng papan snowboardnya. “Kita di kamar nomor berapa?” tanyanya ketika mereka berdua berjalan di lorong penginapan.

Flo mengecek ponselnya. “Hm. Kita satu kamar dengan Karin dan Nuna, kan.” Satu pesan muncul di layar. “Kamar 26. Kata Karin mereka sedang bersantai sembari makan cemilan.”

“Kuharap cemilannya banyak karena aku lapar.”

Mereka berdua hampir tiba di depan pintu kamar ketika Flo bertanya. “Bagaimana pendapatmu tentang cerita yang diceritakan Monroe?” selama mereka melakukan karyawisata dari tahun ke tahun, menurut Flo ini baru pertama kalinya ada cerita masyarakat seperti itu. “Aku ingin mampir ke Desa Hudgemoors.”

“Seru,” jawab Meera, lalu wajahnya berseri. “Yuk! Monroe sempat bilang kedai minuman di daerah ini menjual butterbeer yang enak.”