Yang Fana Adalah Waktu

Yang Fana Adalah Waktu

Puisi Di Ujung Malam

5

1


Pagi itu, aku terbangun sambil menangis, seperti biasa. Aku tak tahu lagi apakah aku sedih atau tidak—perasaanku mengalir deras bersama air mata. Aku terbaring lesu di tempat tidur sampai ibuku masuk dan menyuruhku bangun.


Saat itu cuaca cerah dan tidak turun hujan, namun jalanan berwarna putih seperti genangan air. Aku menyetir sepeda motor milik teman, menatap ke kiri dan kanan pada pemandangan yang terlewat. Toko di kiri-kanan jalan tertutup debu sejauh mata memandang. Sinar matahari menembus awan, turun ke punggung gunung yang jauh.


Cuaca semakin dingin saat aku hampir sampai. Untuk menghangatkan badan, aku berhenti di makam Cindy, meletakan satu buah stroberi di atas makamnya. Di sisi lain area pemakaman ada rerimbunan pepohonan. Embun yang tak terinjak menutupi semak-semak, sedangkan tetesan embun yang menumpuk di puncak pohon jatuh ke tanah dengan suara kering


“Aamiin” Aku cium nisannya setelah selesai mendoakan lalu melanjutkan perjalanan.


Di sepanjang area jalan Ada dahan-dahan yang patah dan tumbuh-tumbuhan yang keras seperti tunggul sehingga sulit untuk berjalan, seekor burung liar menjerit keras dan terbang. Aku berhenti dan mendengarkan suara-suara lain, tapi suasananya senyap seolah tak ada seorang pun yang tersisa di dalamnya. Namun, ketika aku memejamkan mata, aku dapat mendengar suara rantai mobil di jalan terdekat, seperti suara bel. Aku mulai tidak tahu di mana aku berada atau siapa aku sebenarnya.


Setelah melewati bukit, sisa perjalanan berjalan lancar. Aku tiba di sebuah rumah, bersebelahan dengan masjid yang di cat berwarna hijau


“Terima kasih atas segalanya,” kata orang tua Cindy kepadaku


“Bara yang seharusnya berterima kasih,” jawabku sambil tersenyum. “Umi yakin Cindy senang Bara membuat buku ini”


Aku melirik buku kecil di tangan ibu Cindy. Buku itu terletak di dalam tas brokatnya yang indah… apakah Cindy benar-benar ada di sana?


Setelah pulang dan sampai rumah, Aku tertidur dan bermimpi. Itu tentang Cindy saat dia masih sehat, dan di dalam mimpi dia tersenyum, dengan senyumannya yang sedikit malu. Dia memanggilku-“Bara.” Suaranya masih melekat di telingaku. Aku berharap mimpi itu nyata, dan kenyataannya itu hanya mimpi. Tapi bukan itu masalahnya. Dan itulah sebabnya, setiap kali aku bangun, aku menangis. Bukan karena aku sedih. Namun ketika Anda kembali dari mimpi bahagia ke kenyataan menyedihkan, ada jurang yang harus Anda lewati, dan Anda tidak bisa melewatinya tanpa menitikkan air mata. Tidak masalah berapa kali Anda melakukannya.


2


Aku tiba di tempat yang tertutup kenangan, sebuah daerah yang terik di bawah sinar matahari musim panas: PTIK, sebuah daerah indah di Kecamatan Cigombong. Kawasan edukasi bagi pelajar dengan pepohonan palem dan vegetasi tropis yang menyesakkan menyebarkan tanaman hijau di sekitar aula mewah yang menghadap ke pegunungan.


“Seperti Hawai,” kataku seolah berbicara sendiri


Bagiku, tempat itu terkutuk. Tidak ada yang berubah dari tujuh tahun lalu, kecuali musim. Bogor telah beralih dari awal musim hujan ke pertengahan musim panas. Itu saja. Hanya itu yang terjadi.


Setelah makan malam, aku berbaring di tempat tidur aula dan menatap langit-langit. Dan aku berkata pada diriku sendiri bahwa Cindy tidak ada di sini.


Saat aku datang ke PTIK tujuh tahun lalu, Cindy belum pernah ke sini juga. Kelas kami datang untuk perjalanan perkenalan murid baru SMA, dan karena alasan aneh ini, tempat ini telah memasuki hidupku. Aku pikir itu adalah tempat yang indah. Semuanya terasa aneh, baru, dan menarik, karena semua yang kulihat, Cindy lihat bersamaku, melalui diriku. Tapi sekarang, apa pun yang kulihat, aku tidak merasakan apa pun. Apa yang harus saya lihat di sini?


Itulah arti kepergian Cindy, arti kehilangan dirinya yang sekaligus membawa pergi jiwaku. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk dilihat, baik di PTIK atau Bogor, Cibogo atau Puncak Ke mana pun aku pergi, semuanya tetap sama: tidak ada pemandangan yang dapat menggerakkanku, tidak ada keindahan yang dapat menyenangkanku. Orang yang memberiku kemampuan untuk melihat, mendengar, mengetahui, dan merasakan keinginan untuk hidup—telah tiada. Dia tidak bersamaku lagi.


Empat Tahun. Segala sesuatu telah terjadi dalam waktu satu musim untuk berubah ke musim berikutnya. Saat itu, seorang gadis telah menghilang dari dunia ini. Jika Anda menganggapnya sebagai satu dari enam miliar orang, itu tidak berarti apa-apa. Tapi saya tidak ada di sana dengan enam miliar itu. Saya berada di tempat di mana satu kematian telah menghapuskan setiap emosi. Di situlah saya berada. Saya tidak melihat apa pun, mendengar apa pun, atau merasakan apa pun. Tapi apakah di sanalah aku sebenarnya berada? Jika tidak, lalu di manakah Aku?


3


Tadinya aku mau ke Megamendung, ziarah ke makam Cindy, tapi gak jadi karena kebetulan hujan, sekarang memang sedang musimnya, karena dingin dan tidak tahu mau ngapain, aku masuk ke kamar lalu tidur dan tiga jam kemudian terbangun karena mendengar di luar ada tamu, ibu masuk dan memberitahu “itu ada tamu, nyari kamu” katanya. Aku beranjak dari kasur, pergi keluar menemui tamu itu, sebetulnya si malas, karena dia mengacaukan mimpiku yang berhasil menguasai jurus menghilang, ah sial! Tapi itu tamuku, sudah semestinya kutemui, setelah mengambil belek di ujung-ujung mata, aku keluar dan memandang orang itu, ternyata itu adalah Taufik, teman lamaku saat masih sekolah, dia mampir karena tak sengaja lewat katanya.


“Dari mana emang?” Tanyaku.


“Itu, habis beli flashdisk di depan.”


“Asup-asup” (masuk-masuk)


Kami ngobrol cukup lama, sampai akhirnya dia bilang maksud sebenarnya kenapa ia datang, katanya dia ingin menjadikan kisahku bersama Cindy menjadi sebuah novel, “hah? Kenapa? Emang bisa?” Aku bertanya setelah ia selesai mengucapkan tujuannya. Maksudku bertanya seperti itu bukan tak percaya Dia bisa menulis novel, tapi mengapa harus kisah aku dengan Cindy? Mengapa tak ia tulis kisahnya dengan Melan, mantan dia dulu. Dia bilang katanya dia banyak belajar dengan kisah kami, dan dia ingin bukan hanya dia yang bisa mempelajari itu, aku semakin terheran mendengar itu, padahal aku merasa tak ada hal yang layak menjadi pelajaran dalam diriku, apalagi di masa lalu, aku merasa tak sehebat yang dia katakan, tapi Taufik tetap membujuk, oke, baiklah! Aku akan bercerita, tapi aku benar-benar tidak punya jadwal atau kemampuan jika harus duduk dan menulis seperti Dia, jika dia hanya meminta masukan bagaimana garis besar aku dan Cindy bertemu lalu menjalin hubungan, mungkin aku bisa membantu. Baiklah mungkin akan coba kuceritakan sebisaku saja, dan akan ada beberapa yang tetap menjadi rahasia.